Opini
Wayang kulit oleh sebagian masyarakat Indramayu ada yang menyebutnya wayang lumping, mungkin istilah ini lahir karena terbuat dari kulit binatang yang disamak, kemudian dikeringkan. Fungsinya, selain untuk bahan utama wayang kulit, bisa juga digunakan untuk kendang, atau bedug.
Wayang Kulit Indramayu sebenarnya tak ada bedanya dengan wayang kulit Jawa dan Cirebon. Perbedaannya terletak pada perbedaan bahasa yang dipergunakan. Penggunaan bahasa ibu (setempat) menjadi khas pula di dalam berbagai tuturannya, baik lakon maupun sempal guyonnya. Bahasa ibu menjadi bahasa sosial dan komunikatif.
Makna Wayang Bagi Warga Indramayu
Wayang Kulit Dalang Ki Raswan dalam acara Unjungan Buyut Tugu tahun 2012. Photo by Septian Eka |
Wayang Kulit Indramayu sebenarnya tak ada bedanya dengan wayang kulit Jawa dan Cirebon. Perbedaannya terletak pada perbedaan bahasa yang dipergunakan. Penggunaan bahasa ibu (setempat) menjadi khas pula di dalam berbagai tuturannya, baik lakon maupun sempal guyonnya. Bahasa ibu menjadi bahasa sosial dan komunikatif.
Periwayatan tentang Wayang Kulit di daerah Indramayu tak terlalu berbeda dengan di daerah Cirebon, hanya saja terdapatnya pengakuan bahwa wayang sebagai media dakwah oleh Wali Sunan Kalijjaga atas perintah Sunan Gunung Jati lebih sering kita dengar. Dengan tambahan tokoh panakawan yang berjumlah sembilan, sebagai manifestasi dari wali sanga di tatar Pulau Jawa.
Semar sebagai orangtua dari Bagong, Gareng, Cungkring, Curis, Bagal Buntung, Bitarota, Ceblok, Abdul Wala. Adapun ceritanya, tak jauh berbeda, masih menggunakan dua cerita Babon yakni Ramayana dan Mahabharata, tetapi munculnya cerita carangan menjadikan para dalang di daerah Indramayu memiliki daya tarik tersendiri.
Cerita carangan oleh ki Dalang diramu sedemikian rupa menjadi tontonan yang di-Guru(digugu dan ditiru). Untuk fans fanatik dalang tertentu malah kadang sering jadi rujukan untuk menghadapi prahara kehidupan. Semuanya cerita dan pesan dalam lakon tertentu menjadi ngelmu urip. Masyarakat Indramayu merupakan masyarakat yang menghargai dan taat pada tradisinya.
Loyalitas itu bisa dilihat Tontonan dan hiburan pada saat mereka duegawe* begitu mewah dan sunya* juga penontonya yang tidak pernah sepi. Dewasa ini pertunjukan Wayang Kulit Indramayu ditampilkan pada acara-acara, seperti: Ruwatan*, Ngunjung*, Mapag Sri*, Nadran*, Mapag Tamba*, Khitanan dan perkawinan.
Musik pengiring tak jauh berbeda dengan umumnya wayang kulit, yakni gamelan Pelog salendro yang ditambah dengan Kemanak serta Bedug yang cukup dominan, untuk efek tertentu. Adapun susunan adegan wayang kulit Indramayu sama dengan umumnya pola pengadegan wayang yang lain di Jawa Barat, antara lain :
1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara;
2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan;
3) Nagarasejen;
4) Patepah;
5) Perang gagal;
6) Panakawan/goro-goro;
7) Perang kembang;
8) Perang raket; dan
9) Tutug.
Salah satu fungsi wayang di masyarakat Indramayu adalah ngaruwat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat (sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba (empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra); 6) Pandawi (lima putri); 7)Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan sebagainya.
Makna yang terkandung dalam pertunjukkan wayang kulit, antara lain: Makna spiritual, pertunjukan wayang Kulit di manapun terkait dengan sistem kepercayaan yang diyakini oleh komunitas tertentu, demikian juga masyarakat Indramayu di lokasi Ngunjung.
Dengan mengambil lakon leluhur Pandawa mengingatkan tentang rasa hormat terhadap leluhur desa; Makna teatrikal, sosok-sosok wayang kulit pada umumnya sangat teatrikal, ditambah bentuk Blencong yang berbeda dengan wayang kulit Jawa.
Makna sosial, pertunjukan Wayang Kulit indramayu dalam upacara Ngunjung, sebagai proses interaksi antara anggota masyarakat yang masih percaya bahwa menghormati leluhur adalah perbuatan yang baik dan terpuji. Semua pertunjukan dan segala keperluan upacara Ngunjung ditanggung oleh masyarakat, tanpa bantuan pemerintah.
*Duegawe : Punya Hajat
*Sunya : Merasa mumpung lagi mampu dan gengsi tersendiri.
*Ruwatan : Upacara tolak bala. ada juga ruwatan desa (sedekah bumi)
*Ngunjung : Acara adat Haul bagi leluhur atau Ki Geden/Buyut, dengan serangkaian upacara sakral dan hiburan (setahun sekali)
*Mapag Sri : Upacara adat Desa menyambut panen raya segera tiba.
*Nadran : Istilah lain pesta laut sebagai ungkapan rasa syukur.
*Mapag Tamba : Upacara adat Desa menyambut datangnya musim tandur, dengan harapan supaya panenya jadi.
Via
Opini
Posting Komentar