Cermis
Pedalaman Kalimantan sangat angker diantara pulau-pulau lain di Indonesia. Keangkerannya sudah menjadi rahasia umum khususnya di kalangan pekerja proyek jalur lintas Kalimantan Selatan maupun para transmigran.
Wingit dan keangkeran belantara Kalimantan Selatan tidak dapat bisa dijumpai hutan manapun di Pulau Jawa. Masyarakat di daerah Sungai Nyamuk, Desa Lampahan, Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan sudah tidak aneh berpapasan maupun dihampiri jin berwujud aneh baik pada malam hari maupun di siang bolong.
Diantara lebatnya pohon-pohon tua berpostur raksasa, diyakini menjadi pusat Kerajaan Jin. Wilayah kekuasaannya sangat luas hingga memakan separuh lebih daratan Pulau Borneo ini. Gaung kebesaran raja jin masa lampau bergelar Pangeran Agung Borneo ini jauh lebih populer dibanding presiden Indonesia di alam manusia.
Usianya tidak ada yang tahu persis, namun diyakini sudah ada sebelum orang bule (Belanda) mendarat di Bumi Jamrud Katulistiwa itu bahkan jauh sebelum Kalimantan dihuni bangsa manusia.
Sebagian anak-anak Dayak, bahkan menjalin persahabatan dengan jin sudah bukan barang aneh. Anak dari suku pedalaman ini punya bahasa sandi tersendiri untuk memanggil “sahabatnya” agar bersedia datang dari alam gaib ke alam manusia.
Beda dengan mantera para supranatural yang panjang berkelok-kelok, bagi anak Dayak hanya cukup menyebutkan beberapa kata ke arah batang pohon tua dan besar, hanya dalam hitungan menit, dari dalam batang pohon raksasa itu keluar jin dalam wujud anak sebaya anak manusia yang mengundangnya.
Kedua bocah dari dua alam berbeda itupun terlibat permainan tanpa rasa takut ataupun jengah hingga berjam-jam. Mereka menghentikan permainan manakala di tempat itu melintas manusia dewasa ataupun orangtua si anak manusia. Tetapi, sepanjang pemantauannya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, aktivitas permainan kedua bocah dari dua alam berbeda itupun tidak akan terusik.
Bagaimana jadinya jika ada manusia yang secara tidak disengaja memasuki ataupun tersesat ke alam kerajaan jin? Tentu ada dua kemungkinan. Jika masih beruntung, manusia bersangkutan akan menemukan jalan keluar dari alam jin ke alam manusia. Tetapi jika apes, bisa-bisa sepanjang sisa umurnya terjebak di alam jin. Lalu bagaimana jadinya jika manusia tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran sehingga dianggap layak untuk dihukum?
Ikuti peristiwa mencekam yang dialami Nuryanto, 45 tahun, seorang transmigran asal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang mengadu nasib di daerah Sungai Nyamuk, Desa Lampahan, Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan.
Kang Nur, biasa dia disapa, diadili di hadapkan hakim wilayah di kerajaan Pangeran Agung Borneo. Mampukah dia selamat dari vonis hakim pengadilan bangsa jin dan menemukan jalan keluar ke alam manusia? Ikuti kisah lengkapnya yang berhasil dirangkum Misteri.
Kang Nur terlahir dari keluarga buruh nelayan di Desa Ujung Gebang, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sejak kanak-kanak dia sudah akrab dengan pekerjaan sebagai nelayan.
Tetapi ganasnya gelombang Pantai Utara (Pantura) secara tragis “melahap” nyaris dua per tiga daratan Desa Ujung Gebang. Rumah Kang Nur termasuk menjadi korban ganasnya gelombang Laut Jawa Pantura.
Tanpa sisa apapun, Kang Nur dan istri serta seorang anaknya didaftarkan pamongdesa setempat menjadi peserta transmigran yang dibiayai Dinas Kependudukan setempat. Tanpa keluar biaya sepeserpun, Kang Nur diberangkatkan ke daerah Sungai Nyamuk, Desa Lampahan, Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan.
Di Desa Lampahan dia menerima satu rumah sederhana dengan dinding dari papan kayu dan atap dari lembaran seng. Sebagai sumber penghasilan, dia mendapat hak mengelola 2 hektare lahan yang sudah dibuka pemerintah daerah setempat. Sebelum mendapatkan penghasilan, selama dua tahun, Kang Nur maupun para transmigran lain menerima jatah hidup (jadup) dari Pemkab Indramayu berupa beras, lauk dan kebutuhan dapur lainnya.
Secara sekilas, Kang Nur tidak lagi terbelit kesulitan seperti yang membelitnya selama tinggal di Desa Ujung Gebang. Tetapi, situasi dan kondisi transmigran yang jarak antar rumah penduduknya saling berjauhan mengundang malapetaka.
Suatu siang di awal Maret 2000, Kang Nur uring-uringan, pasalnya biasanya pada jam-jam itu Rokmah, 40 tahun, sudah datang ke ladang mengantar makan pagi, entah kenapa hampir tengah hari istrinya itu masih belum juga datang.
Sambil menahan dongkol disertai deraan lapar yang melilit, Kang Nur meninggalkan ladangnya maksudnya hendak mendamprat sang istri yang telat mengantar makan pagi. Satu jam perjalanan membelah perkebunan, Kang Nur tiba juga di rumah sederhananya itu.
Rumahnya terlihat sepi. Dia sengaja muncul dari pintu dapur. Keheningan rumah memancing kecurigaan. Laki-laki berpostur kurus itupun beranjak meninggalkan dapur menuju ruang tengah. Saat melintas di depan pintu kamar tidur, detak jantung Kang Nur nyaris terhenti.
Sangat jelas dia menyaksikan tubuh polos istrinya terkapar di lantai dengan beralaskan kain pakaiannya sendiri. Kang Nur langsung menubruk seraya menanyakan peristiwa yang dialami.
Terbata-bata Rokmah menjelaskan kalau dirinya selama dua jam lebih jadi bulan-bulanan aksi pemerkosaan lima orang pria tak dikenal. Setelah menjelaskan, wanita beranak satu itupun langsung pingsan dalam pelukan suaminya.
Kang Nur murka. Tapi karena yakin kelima pria pemerkosa istrinya itu kelompok penjahat yang biasa bersembunyi dari kejaran polisi di dalam hutan, Kang Nur tidak bernyali untuk melakukan pengejaran.
Dia sadar, pengejarannya bukan saja sia-sia bahkan akan mengundang bahaya besar terhadap dirinya. Apa jadinya jika dirinya tewas dibantai kelompok penjahat itu? Bagaimana nasib istri dan anaknya? Atas pertimbangan itulah, aib yang dialami istrinya itu hanya dicatat dalam batinnya sendiri.
Tetapi, tiap kali membayangkan tubuh istrinya jadi “santapan” lima pria bejat, amarahnya langsung naik ke kepala. Pada puncaknya, kejiwaan Kang Nur mulai terguncang. Selang satu bulan setelah peristiwa itu, Kang Nur meninggalkan rumahnya menuju ladang.
Anehnya, lajur ladang seluas dua hektare itu dia tinggalkan dan makin lama langkahnya makin jauh meninggalkan daerah Sungai Nyamuk dimana lokasi tersebut sudah dibuka pemerintah setempat buat aktivitas para transmigran.
Beberapa jam berikutnya, langkah Kang Nur memasuki belukar setinggi paha dengan pepohonan raksasa sangat rapat di sekelilingnya. Kini Kang Nur sudah melangkah memasuki belantara Kalimantan yang tersohor itu.
Goresan duri pada betis dan paha sedikitpun tidak dia rasakan bahkan darah yang mulai memenuhi telapak kakinya akibat goresan duri dia abaikan. Seharian penuh tanpa henti dia melangkah menerobos rapatnya belukar.
Dia menghentikan langkah saat tenaganya sudah terkuras habis disertai perutnya yang sudah kandas. Dia duduk di bawah pohon ukuran sedang di samping pohon berpostur raksasa menjulang langit.
Selama mengayun langkah, laki-laki kurus itu lebih banyak menunduk mengamati belukar yang akan dilalui. Hanya beberapa kali saja mendongakkan wajah ke langit yang sebagian terhalang rimbunnya dedaunan.
Pada saat mendongak ke atas, sontak langkah kakinya terhenti bahkan nyaris berhenti bernafas manakala dia menyaksikan pohon kantil yang menaungi kepalanya. Tetapi bukan karena daunnya yang rimbun sehingga menyontakkan langkah kakinya melainkan ada keganjilan pada bentuk kembangnya.
Diantara ratusan bahkan ribuan kuntum kembang yang mekar itu, diantaranya ada dua kuntum kembang kantil yang unik, ganjil dan horor, dimana satu kuntum bentuknya berupa perempuan bugil secara utuh sebesar lengan orok manusia dan satu kuntum lainnya hanya sebatas pantat hingga ke ujung kaki yang juga telanjang.
Begitu kesimanya hingga Kang Nur belasan menit lamanya mengamati keganjilan kembang kantil dan saat menurunkan wajahnya, dia terlonjak mundur. Apa lagi yang telah terjadi.
Kening Kang Nur berkerut tiga lipatan. Betapa tidak, di bawah kakinya kini tak ada lagi belukar. Ditoleh ke penjuru angin, tak ada batang-batang pohon sebesar gajah itu semuanya lenyap secara misterius selain hanya pohon kantil yang masih bertahan pada posisinya.
Tanah yang dia injak terasa empuk agak berpasir. Sekali lagi diamati jarak di kejauhan sana. Sejauh mata memandang hanya ada gurun pasir sangat senyap. Di langit tak tampak bola matahari, sehingga situasinya cukup temaram. Begitu juga saat pandangan diedarkan ke belakang tubuhnya, sejauh mata memandang hanya ada gurun pasir dengan lembahnya yang landai di antara bukit-bukit gundul.
Keputusanpun sangat sulit untuk diambil. Apakah melangkah kembali ke belakang atau melanjutkan langkah ke depan menuju daerah yang sama-sama asing bagi Kang Nur. Tetapi apapun yang akan terjadi, laki-laki diambang putus asa itu memutuskan tetap melanjutkan langkah meninggalkan pohon kantil yang misterius itu.
Tak kenal lelah dan haus, langkah kaki Kang Nur terus terayun tanpa arah hingga satu lembah sudah dilalui dan kini bergerak mendaki bukit gundul setinggi ratusan meter. Pada puncak bukit, Kang Nur menghentikan langkah menatap lembah di depannya.
Kali ini perasaan yang semula kalut berubah agak girang. Di lembah sana terlihat kesibukan manusia menyerupai kota kecil. Tidak menunggu lama, bukit gundul ditinggalkan dan tergesa-gesa menghampiri keramaian penduduk.
Perjalanan menyusuri lembah memancing datangnya rasa lapar. Dia raba saku celana panjangnya. Tak selembarpun dia bawa uang. Lalu pakai apa beli makanan disana. Dalam kondisi panik, langkah Kang Nur sudah memasuki hilir mudik…orang?
“Astighfirullah…dimanakah aku sekarang? Mahluk macam apa mereka?” Kang Nur membathin.
Orang dalam jumlah banyak yang berada di sekelilingnya terkesan cuek ataukah mereka tidak melihat keberadaannya. Tetapi yang membuat Kang Nur takjub, bentuk mereka kurang lazim dalam arti bentuknya tidak proporsional.
Ada orang kurus tetapi perutnya sebesar pedaringan tempat penyimpanan beras. Ada orang kurus kepalanya besar menyerupai balon. Ada juga yang sebaliknya, badannya gemuk luar biasa tetapi kepalanya hanya sebesar butiran kelapa gading.
Mereka mondar-mandir dengan berbagai aktivitasnya masing-masing. Sekian lama tercenung, tak sadar laparpun mendera perutnya. Akibat sangat lapar, jari jemari tangan mulai gemetar. Pada puncak deraan lapar, ekor mata Kang Nur membentur bongkahan roti di atas gerobak yang ditarik laki-laki berbadan besar dengan kepala mungil.
Saat gerobak tepat melintas di sisinya, satu bongkah roti disambar secepat kilat. Baru saja menyembunyikan bongkahan roti sebesar bata merah itu ke balik baju, gerobak langsung berhenti. Laki-laki besar itu menghampiri seraya membentak sangat kasar sambil menggeledah baju hingga ditemukan bongkahan roti.
Dengan barang bukti di tangannya, laki-laki itu teriak-teriak maling hingga puluhan laki-laki berbagai bentuk mengepung dan meringkus Kang Nur. Tidak berapa lama, tiga laki-laki berjubah mengendarai kuda putih muncul dari kejauhan.
Kedatangan ketiga laki-laki perlente itu, orang-orang yang meringkus Kang Nur langsung menjelaskan kasus pencurian yang dilakukan Kang Nur. Ternyata tiga laki-laki berkuda itu tak lain hakim wilayah.
Tiga laki-laki itu berdiri berhimpit-himpitan menghadap Kang Nur. Laki-laki yang berdiri di tengah mengeluarkan buku tebal lalu membacakan pasal-pasal yang kurang dipahami Kang Nur.
Selesai membaca pasal-pasal dari buku tebal, hakim ketua itupun menjatuhkan vonis potong tangan kanan. Atas perintah hakim, Kang Nur diarak menuju gedung kokoh yang tidak lain gedung penjara.
Kang Nur didorong ke dalam ruangan penuh orang-orang yang kemungkinan tahanan lalu pintu jeruji digembok dari luar. Diamati puluhan laki-laki dan perempuan yang ada di ruangan cukup temaram itu. Tak sadar Kang Nur bergidik penuh ketakutan.
Pasalnya anggota badan orang-orang yang menghuni ruang itu tidak utuh lagi. Ada yang buntung lengan kanannya, ada yang lengan kirinya atau kedua tangan seluruhnya buntung. Ada yang tanpa hidung, tanpa bibir bahkan ada yang tanpa kaki. Tentu saja mereka tidak cacat lahir melainkan akibat hukuman yang dijatuhkan hakim atas perbuatan jahat yang dilakukan.
“Ya Allah, tidak rela hamba harus kehilangan tangan hanya karena mencuri sebongkah roti…,” rintih Kang Nur penuh uraian air mata.
Entah berapa jam dia tercenung dengan air mata sesekali membasahi pipinya yang tirus. Lamunan itupun sontak buyar manakala langkah berat berhenti di depan pintu jeruji. Kang Nur tak bernyali mendongak, karena pasti yang datang itu seorang algojo yang akan memotong tangan kanannya.
“Siapa diantara kalian yang bernama Nuryanto bin Carmadi?”
Bulu kuduk Kang Nur langsung meremang mendengar namanya disebut. Karena tak ada sahutan, laki-laki di depan pintu jeruji kembali melempar pertanyaan yang sama.
Saat itulah Kang Nur berani mendongak menatap laki-laki di depan jeruji. Ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Laki-laki di depannya sangat tenang, bahkan ada sorot kasih dari sorot matanya.
“Jangan takut. Aku sudah diizinkan Baginda Pangeran Agung Borneo untuk membawamu keluar dari kerajaan ini…” kata laki-laki jumawa itu.
“Apakah tanganku tidak jadi dipotong, Tuan?” tanya Kang Nur.
“Ya. Atas permintaan Baginda Raden Werdinata, putusan hakim dicabut dan kamu akan aku bawa ke alammu kembali.”
“Tuan sendiri siapa?” tanya Kang Nur.
“Aku Patih Jongkara utusan Baginda Raden Werdinata penguasa Raja Pulomas Indramayu,” urai Patih Jongkara.
Usai bercakap-cakap, petugas sipir membuka gembok pintu jeruji dan menyuruh Kang Nur untuk keluar. Baru saja berdiri di luar pintu jeruji, tangan Patih Jongkara langsung menggambit ketiak kiri Kang Nur laksana tengah membetot. Susah dipercaya, tubuh Kang Nur terlempar jauh dan punggungnya membentur sesuatu.
Sambil merintih kesakitan, Kang Nur berjuang untuk duduk. Dia celingukan kesana kemari. Saat itu baru sadar kalau dia kini duduk di antara sela akar timbul pohon raksasa. Beberapa langkah di depannya tampak belukar dan…pohon kantil.
“Alhamdulillah…sekarang sudah kembali ke alamku,” bisik Kang Nur.
Saat itu hari masih pagi, Kang Nur melangkah tertatih-tatih memutar badan menuju ke arah rumahnya. Pasti semalaman tadi istrinya sibuk melakukan pencarian, pikirnya. Memasuki ladangnya,
Kang Nur dibuat kaget, sebab tanaman kelapa sawit di ladangnya sudah tumbuh tinggi bahkan sedang berbuah lebat. Lalu muncul dua laki-laki sebayanya. Kang Nur langsung menyapa mereka.
“Maaf Pak, apakah ini ladang sawit punyaku?” tanya Kang Nur.
Kedua laki-laki itu saling berpandangan satu sama lain. Lalu salah satunya menjawab. “Maaf, Bapak ini siapa? Sudah enam tahun aku mengelola ladang sawit ini.”
“Bapak jangan gurau. Biarpun ada yang aneh, aku sangat hafal dan yakin sebab akulah yang menanam sawit di ladang ini,” bantah Kang Nur.
“Sekali lagi minta maaf, siapakah Bapak ini?”
“Aku Nuryanto pemilik ladang ini. Bapak siapa dan alasan apa Bapak mengaku sebagai pemilik ladang ini?” Tanya Kang Nur.
Keduanya kelihatan tambah bingung campur kaget. “Ini sulit diterima akal. Aku memang beli ladang ini berikut surat-surat atas nama Nuryanto.”
“Lalu Bapak beli ladang ini lewat siapa?”
“Aku beli dari Bu Rokmah enam tahun lalu.”
“Loh, dia kan istriku? Dimana dia sekarang?”
“Rokmah dinikahi sopir perusahaan pupuk Kaltim kini tinggal di daerah Kutai Kertanegara Kalimantan Timur,” jelas laki-laki itu.
Kang Nur giliran yang terlonjak kaget. “Ah, Bapak bergurau terus. Kapan istriku menikah?”
“Setelah menjual ladang, Bu Rokmah diboyong suaminya ke Kutai, ya kira-kira enam tahun silam.”
Kang Nur tidak percaya. Bergegas dia lari meninggalkan dua laki-laki tadi menuju rumahnya. Kembali dia dibuat bingung. Rumah yang dia tuju sudah berbeda jauh. Kini sudah ada tiga rumah cukup mewah dengan dinding bercat kuning dan di teras dijumpai seorang wanita paruh baya tak dikenal bersama dua anak kecil.
“Ya Allah, apa sesungguhnya yang telah terjadi? Mana mungkin aku meninggalkan istriku selama itu? Padahal aku masuk tahanan hanya semalam?”
Lamunan Kang Nur buyar bersama mendaratnya tepukan pada pundaknya. “Bukankah kamu Kang Nur?”
Kang Nur membalikkan badan dan di depannya berdiri Arsyad sesama transmigran dari Indramayu. Tapi kondisi Arsyad jauh lebih tua dibanding saat Kang Nur meninggalkan rumahnya.
“Mohon dijawab Kang Arsyad, kemana istriku sekarang?” tanya Kang Nur setengah menangis.
“Aku sendiri kaget, kamu ternyata masih hidup,” jawab Arsyad.
Dituturkan Arsyad, delapan tahun silam Kang Nur dinyatakan meninggal disantap binatang buas di tengah hutan. Segala pencarian gagal total. Selang dua tahun setelah hilangnya Kang Nur, datang sejumlah armada truk mengangkut pupuk untuk dijual di perkebunan ladang sawit. Dari sekian banyak sopir, salah satunya naksir Rokmah yang dinyatakan janda kembang hingga keduanya sepakat untuk menikah.
Karena statusnya sopir pabrik pupuk Kaltim, Rokmah diajak pindah ke Kutai untuk tinggal disana. Sebelum berangkat ke Kutai, seluruh ladang sawit dijual kepada penduduk lain yang berminat.
Mendengar penjelasan Arsyad lemaslah sepasang dengkuk Kang Nur, sebab ternyata dia sudah delapan tahun meninggalkan alam manusia. Karena iba, Arsyad mengajak Kang Nur untuk tinggal di rumahnya yang hanya berselang beberapa petak dari ladang sawit miliknya.
***
Cermis | Warga Ujung Gebang tentang Kerajaan Jin Pulomas
Muara Cangkring, Pulomas. Sumber : Suta Wijaya. |
Wingit dan keangkeran belantara Kalimantan Selatan tidak dapat bisa dijumpai hutan manapun di Pulau Jawa. Masyarakat di daerah Sungai Nyamuk, Desa Lampahan, Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan sudah tidak aneh berpapasan maupun dihampiri jin berwujud aneh baik pada malam hari maupun di siang bolong.
Diantara lebatnya pohon-pohon tua berpostur raksasa, diyakini menjadi pusat Kerajaan Jin. Wilayah kekuasaannya sangat luas hingga memakan separuh lebih daratan Pulau Borneo ini. Gaung kebesaran raja jin masa lampau bergelar Pangeran Agung Borneo ini jauh lebih populer dibanding presiden Indonesia di alam manusia.
Usianya tidak ada yang tahu persis, namun diyakini sudah ada sebelum orang bule (Belanda) mendarat di Bumi Jamrud Katulistiwa itu bahkan jauh sebelum Kalimantan dihuni bangsa manusia.
Sebagian anak-anak Dayak, bahkan menjalin persahabatan dengan jin sudah bukan barang aneh. Anak dari suku pedalaman ini punya bahasa sandi tersendiri untuk memanggil “sahabatnya” agar bersedia datang dari alam gaib ke alam manusia.
Beda dengan mantera para supranatural yang panjang berkelok-kelok, bagi anak Dayak hanya cukup menyebutkan beberapa kata ke arah batang pohon tua dan besar, hanya dalam hitungan menit, dari dalam batang pohon raksasa itu keluar jin dalam wujud anak sebaya anak manusia yang mengundangnya.
Kedua bocah dari dua alam berbeda itupun terlibat permainan tanpa rasa takut ataupun jengah hingga berjam-jam. Mereka menghentikan permainan manakala di tempat itu melintas manusia dewasa ataupun orangtua si anak manusia. Tetapi, sepanjang pemantauannya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, aktivitas permainan kedua bocah dari dua alam berbeda itupun tidak akan terusik.
Bagaimana jadinya jika ada manusia yang secara tidak disengaja memasuki ataupun tersesat ke alam kerajaan jin? Tentu ada dua kemungkinan. Jika masih beruntung, manusia bersangkutan akan menemukan jalan keluar dari alam jin ke alam manusia. Tetapi jika apes, bisa-bisa sepanjang sisa umurnya terjebak di alam jin. Lalu bagaimana jadinya jika manusia tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran sehingga dianggap layak untuk dihukum?
Ikuti peristiwa mencekam yang dialami Nuryanto, 45 tahun, seorang transmigran asal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang mengadu nasib di daerah Sungai Nyamuk, Desa Lampahan, Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan.
Kang Nur, biasa dia disapa, diadili di hadapkan hakim wilayah di kerajaan Pangeran Agung Borneo. Mampukah dia selamat dari vonis hakim pengadilan bangsa jin dan menemukan jalan keluar ke alam manusia? Ikuti kisah lengkapnya yang berhasil dirangkum Misteri.
Kang Nur terlahir dari keluarga buruh nelayan di Desa Ujung Gebang, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sejak kanak-kanak dia sudah akrab dengan pekerjaan sebagai nelayan.
Tetapi ganasnya gelombang Pantai Utara (Pantura) secara tragis “melahap” nyaris dua per tiga daratan Desa Ujung Gebang. Rumah Kang Nur termasuk menjadi korban ganasnya gelombang Laut Jawa Pantura.
Tanpa sisa apapun, Kang Nur dan istri serta seorang anaknya didaftarkan pamongdesa setempat menjadi peserta transmigran yang dibiayai Dinas Kependudukan setempat. Tanpa keluar biaya sepeserpun, Kang Nur diberangkatkan ke daerah Sungai Nyamuk, Desa Lampahan, Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan.
Di Desa Lampahan dia menerima satu rumah sederhana dengan dinding dari papan kayu dan atap dari lembaran seng. Sebagai sumber penghasilan, dia mendapat hak mengelola 2 hektare lahan yang sudah dibuka pemerintah daerah setempat. Sebelum mendapatkan penghasilan, selama dua tahun, Kang Nur maupun para transmigran lain menerima jatah hidup (jadup) dari Pemkab Indramayu berupa beras, lauk dan kebutuhan dapur lainnya.
Secara sekilas, Kang Nur tidak lagi terbelit kesulitan seperti yang membelitnya selama tinggal di Desa Ujung Gebang. Tetapi, situasi dan kondisi transmigran yang jarak antar rumah penduduknya saling berjauhan mengundang malapetaka.
Suatu siang di awal Maret 2000, Kang Nur uring-uringan, pasalnya biasanya pada jam-jam itu Rokmah, 40 tahun, sudah datang ke ladang mengantar makan pagi, entah kenapa hampir tengah hari istrinya itu masih belum juga datang.
Sambil menahan dongkol disertai deraan lapar yang melilit, Kang Nur meninggalkan ladangnya maksudnya hendak mendamprat sang istri yang telat mengantar makan pagi. Satu jam perjalanan membelah perkebunan, Kang Nur tiba juga di rumah sederhananya itu.
Rumahnya terlihat sepi. Dia sengaja muncul dari pintu dapur. Keheningan rumah memancing kecurigaan. Laki-laki berpostur kurus itupun beranjak meninggalkan dapur menuju ruang tengah. Saat melintas di depan pintu kamar tidur, detak jantung Kang Nur nyaris terhenti.
Sangat jelas dia menyaksikan tubuh polos istrinya terkapar di lantai dengan beralaskan kain pakaiannya sendiri. Kang Nur langsung menubruk seraya menanyakan peristiwa yang dialami.
Terbata-bata Rokmah menjelaskan kalau dirinya selama dua jam lebih jadi bulan-bulanan aksi pemerkosaan lima orang pria tak dikenal. Setelah menjelaskan, wanita beranak satu itupun langsung pingsan dalam pelukan suaminya.
Kang Nur murka. Tapi karena yakin kelima pria pemerkosa istrinya itu kelompok penjahat yang biasa bersembunyi dari kejaran polisi di dalam hutan, Kang Nur tidak bernyali untuk melakukan pengejaran.
Dia sadar, pengejarannya bukan saja sia-sia bahkan akan mengundang bahaya besar terhadap dirinya. Apa jadinya jika dirinya tewas dibantai kelompok penjahat itu? Bagaimana nasib istri dan anaknya? Atas pertimbangan itulah, aib yang dialami istrinya itu hanya dicatat dalam batinnya sendiri.
Tetapi, tiap kali membayangkan tubuh istrinya jadi “santapan” lima pria bejat, amarahnya langsung naik ke kepala. Pada puncaknya, kejiwaan Kang Nur mulai terguncang. Selang satu bulan setelah peristiwa itu, Kang Nur meninggalkan rumahnya menuju ladang.
Anehnya, lajur ladang seluas dua hektare itu dia tinggalkan dan makin lama langkahnya makin jauh meninggalkan daerah Sungai Nyamuk dimana lokasi tersebut sudah dibuka pemerintah setempat buat aktivitas para transmigran.
Beberapa jam berikutnya, langkah Kang Nur memasuki belukar setinggi paha dengan pepohonan raksasa sangat rapat di sekelilingnya. Kini Kang Nur sudah melangkah memasuki belantara Kalimantan yang tersohor itu.
Goresan duri pada betis dan paha sedikitpun tidak dia rasakan bahkan darah yang mulai memenuhi telapak kakinya akibat goresan duri dia abaikan. Seharian penuh tanpa henti dia melangkah menerobos rapatnya belukar.
Dia menghentikan langkah saat tenaganya sudah terkuras habis disertai perutnya yang sudah kandas. Dia duduk di bawah pohon ukuran sedang di samping pohon berpostur raksasa menjulang langit.
Selama mengayun langkah, laki-laki kurus itu lebih banyak menunduk mengamati belukar yang akan dilalui. Hanya beberapa kali saja mendongakkan wajah ke langit yang sebagian terhalang rimbunnya dedaunan.
Pada saat mendongak ke atas, sontak langkah kakinya terhenti bahkan nyaris berhenti bernafas manakala dia menyaksikan pohon kantil yang menaungi kepalanya. Tetapi bukan karena daunnya yang rimbun sehingga menyontakkan langkah kakinya melainkan ada keganjilan pada bentuk kembangnya.
Diantara ratusan bahkan ribuan kuntum kembang yang mekar itu, diantaranya ada dua kuntum kembang kantil yang unik, ganjil dan horor, dimana satu kuntum bentuknya berupa perempuan bugil secara utuh sebesar lengan orok manusia dan satu kuntum lainnya hanya sebatas pantat hingga ke ujung kaki yang juga telanjang.
Begitu kesimanya hingga Kang Nur belasan menit lamanya mengamati keganjilan kembang kantil dan saat menurunkan wajahnya, dia terlonjak mundur. Apa lagi yang telah terjadi.
Kening Kang Nur berkerut tiga lipatan. Betapa tidak, di bawah kakinya kini tak ada lagi belukar. Ditoleh ke penjuru angin, tak ada batang-batang pohon sebesar gajah itu semuanya lenyap secara misterius selain hanya pohon kantil yang masih bertahan pada posisinya.
Tanah yang dia injak terasa empuk agak berpasir. Sekali lagi diamati jarak di kejauhan sana. Sejauh mata memandang hanya ada gurun pasir sangat senyap. Di langit tak tampak bola matahari, sehingga situasinya cukup temaram. Begitu juga saat pandangan diedarkan ke belakang tubuhnya, sejauh mata memandang hanya ada gurun pasir dengan lembahnya yang landai di antara bukit-bukit gundul.
Keputusanpun sangat sulit untuk diambil. Apakah melangkah kembali ke belakang atau melanjutkan langkah ke depan menuju daerah yang sama-sama asing bagi Kang Nur. Tetapi apapun yang akan terjadi, laki-laki diambang putus asa itu memutuskan tetap melanjutkan langkah meninggalkan pohon kantil yang misterius itu.
Tak kenal lelah dan haus, langkah kaki Kang Nur terus terayun tanpa arah hingga satu lembah sudah dilalui dan kini bergerak mendaki bukit gundul setinggi ratusan meter. Pada puncak bukit, Kang Nur menghentikan langkah menatap lembah di depannya.
Kali ini perasaan yang semula kalut berubah agak girang. Di lembah sana terlihat kesibukan manusia menyerupai kota kecil. Tidak menunggu lama, bukit gundul ditinggalkan dan tergesa-gesa menghampiri keramaian penduduk.
Perjalanan menyusuri lembah memancing datangnya rasa lapar. Dia raba saku celana panjangnya. Tak selembarpun dia bawa uang. Lalu pakai apa beli makanan disana. Dalam kondisi panik, langkah Kang Nur sudah memasuki hilir mudik…orang?
“Astighfirullah…dimanakah aku sekarang? Mahluk macam apa mereka?” Kang Nur membathin.
Orang dalam jumlah banyak yang berada di sekelilingnya terkesan cuek ataukah mereka tidak melihat keberadaannya. Tetapi yang membuat Kang Nur takjub, bentuk mereka kurang lazim dalam arti bentuknya tidak proporsional.
Ada orang kurus tetapi perutnya sebesar pedaringan tempat penyimpanan beras. Ada orang kurus kepalanya besar menyerupai balon. Ada juga yang sebaliknya, badannya gemuk luar biasa tetapi kepalanya hanya sebesar butiran kelapa gading.
Mereka mondar-mandir dengan berbagai aktivitasnya masing-masing. Sekian lama tercenung, tak sadar laparpun mendera perutnya. Akibat sangat lapar, jari jemari tangan mulai gemetar. Pada puncak deraan lapar, ekor mata Kang Nur membentur bongkahan roti di atas gerobak yang ditarik laki-laki berbadan besar dengan kepala mungil.
Saat gerobak tepat melintas di sisinya, satu bongkah roti disambar secepat kilat. Baru saja menyembunyikan bongkahan roti sebesar bata merah itu ke balik baju, gerobak langsung berhenti. Laki-laki besar itu menghampiri seraya membentak sangat kasar sambil menggeledah baju hingga ditemukan bongkahan roti.
Dengan barang bukti di tangannya, laki-laki itu teriak-teriak maling hingga puluhan laki-laki berbagai bentuk mengepung dan meringkus Kang Nur. Tidak berapa lama, tiga laki-laki berjubah mengendarai kuda putih muncul dari kejauhan.
Kedatangan ketiga laki-laki perlente itu, orang-orang yang meringkus Kang Nur langsung menjelaskan kasus pencurian yang dilakukan Kang Nur. Ternyata tiga laki-laki berkuda itu tak lain hakim wilayah.
Tiga laki-laki itu berdiri berhimpit-himpitan menghadap Kang Nur. Laki-laki yang berdiri di tengah mengeluarkan buku tebal lalu membacakan pasal-pasal yang kurang dipahami Kang Nur.
Selesai membaca pasal-pasal dari buku tebal, hakim ketua itupun menjatuhkan vonis potong tangan kanan. Atas perintah hakim, Kang Nur diarak menuju gedung kokoh yang tidak lain gedung penjara.
Kang Nur didorong ke dalam ruangan penuh orang-orang yang kemungkinan tahanan lalu pintu jeruji digembok dari luar. Diamati puluhan laki-laki dan perempuan yang ada di ruangan cukup temaram itu. Tak sadar Kang Nur bergidik penuh ketakutan.
Pasalnya anggota badan orang-orang yang menghuni ruang itu tidak utuh lagi. Ada yang buntung lengan kanannya, ada yang lengan kirinya atau kedua tangan seluruhnya buntung. Ada yang tanpa hidung, tanpa bibir bahkan ada yang tanpa kaki. Tentu saja mereka tidak cacat lahir melainkan akibat hukuman yang dijatuhkan hakim atas perbuatan jahat yang dilakukan.
“Ya Allah, tidak rela hamba harus kehilangan tangan hanya karena mencuri sebongkah roti…,” rintih Kang Nur penuh uraian air mata.
Entah berapa jam dia tercenung dengan air mata sesekali membasahi pipinya yang tirus. Lamunan itupun sontak buyar manakala langkah berat berhenti di depan pintu jeruji. Kang Nur tak bernyali mendongak, karena pasti yang datang itu seorang algojo yang akan memotong tangan kanannya.
“Siapa diantara kalian yang bernama Nuryanto bin Carmadi?”
Bulu kuduk Kang Nur langsung meremang mendengar namanya disebut. Karena tak ada sahutan, laki-laki di depan pintu jeruji kembali melempar pertanyaan yang sama.
Saat itulah Kang Nur berani mendongak menatap laki-laki di depan jeruji. Ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Laki-laki di depannya sangat tenang, bahkan ada sorot kasih dari sorot matanya.
“Jangan takut. Aku sudah diizinkan Baginda Pangeran Agung Borneo untuk membawamu keluar dari kerajaan ini…” kata laki-laki jumawa itu.
“Apakah tanganku tidak jadi dipotong, Tuan?” tanya Kang Nur.
“Ya. Atas permintaan Baginda Raden Werdinata, putusan hakim dicabut dan kamu akan aku bawa ke alammu kembali.”
“Tuan sendiri siapa?” tanya Kang Nur.
“Aku Patih Jongkara utusan Baginda Raden Werdinata penguasa Raja Pulomas Indramayu,” urai Patih Jongkara.
Usai bercakap-cakap, petugas sipir membuka gembok pintu jeruji dan menyuruh Kang Nur untuk keluar. Baru saja berdiri di luar pintu jeruji, tangan Patih Jongkara langsung menggambit ketiak kiri Kang Nur laksana tengah membetot. Susah dipercaya, tubuh Kang Nur terlempar jauh dan punggungnya membentur sesuatu.
Sambil merintih kesakitan, Kang Nur berjuang untuk duduk. Dia celingukan kesana kemari. Saat itu baru sadar kalau dia kini duduk di antara sela akar timbul pohon raksasa. Beberapa langkah di depannya tampak belukar dan…pohon kantil.
“Alhamdulillah…sekarang sudah kembali ke alamku,” bisik Kang Nur.
Saat itu hari masih pagi, Kang Nur melangkah tertatih-tatih memutar badan menuju ke arah rumahnya. Pasti semalaman tadi istrinya sibuk melakukan pencarian, pikirnya. Memasuki ladangnya,
Kang Nur dibuat kaget, sebab tanaman kelapa sawit di ladangnya sudah tumbuh tinggi bahkan sedang berbuah lebat. Lalu muncul dua laki-laki sebayanya. Kang Nur langsung menyapa mereka.
“Maaf Pak, apakah ini ladang sawit punyaku?” tanya Kang Nur.
Kedua laki-laki itu saling berpandangan satu sama lain. Lalu salah satunya menjawab. “Maaf, Bapak ini siapa? Sudah enam tahun aku mengelola ladang sawit ini.”
“Bapak jangan gurau. Biarpun ada yang aneh, aku sangat hafal dan yakin sebab akulah yang menanam sawit di ladang ini,” bantah Kang Nur.
“Sekali lagi minta maaf, siapakah Bapak ini?”
“Aku Nuryanto pemilik ladang ini. Bapak siapa dan alasan apa Bapak mengaku sebagai pemilik ladang ini?” Tanya Kang Nur.
Keduanya kelihatan tambah bingung campur kaget. “Ini sulit diterima akal. Aku memang beli ladang ini berikut surat-surat atas nama Nuryanto.”
“Lalu Bapak beli ladang ini lewat siapa?”
“Aku beli dari Bu Rokmah enam tahun lalu.”
“Loh, dia kan istriku? Dimana dia sekarang?”
“Rokmah dinikahi sopir perusahaan pupuk Kaltim kini tinggal di daerah Kutai Kertanegara Kalimantan Timur,” jelas laki-laki itu.
Kang Nur giliran yang terlonjak kaget. “Ah, Bapak bergurau terus. Kapan istriku menikah?”
“Setelah menjual ladang, Bu Rokmah diboyong suaminya ke Kutai, ya kira-kira enam tahun silam.”
Kang Nur tidak percaya. Bergegas dia lari meninggalkan dua laki-laki tadi menuju rumahnya. Kembali dia dibuat bingung. Rumah yang dia tuju sudah berbeda jauh. Kini sudah ada tiga rumah cukup mewah dengan dinding bercat kuning dan di teras dijumpai seorang wanita paruh baya tak dikenal bersama dua anak kecil.
“Ya Allah, apa sesungguhnya yang telah terjadi? Mana mungkin aku meninggalkan istriku selama itu? Padahal aku masuk tahanan hanya semalam?”
Lamunan Kang Nur buyar bersama mendaratnya tepukan pada pundaknya. “Bukankah kamu Kang Nur?”
Kang Nur membalikkan badan dan di depannya berdiri Arsyad sesama transmigran dari Indramayu. Tapi kondisi Arsyad jauh lebih tua dibanding saat Kang Nur meninggalkan rumahnya.
“Mohon dijawab Kang Arsyad, kemana istriku sekarang?” tanya Kang Nur setengah menangis.
“Aku sendiri kaget, kamu ternyata masih hidup,” jawab Arsyad.
Dituturkan Arsyad, delapan tahun silam Kang Nur dinyatakan meninggal disantap binatang buas di tengah hutan. Segala pencarian gagal total. Selang dua tahun setelah hilangnya Kang Nur, datang sejumlah armada truk mengangkut pupuk untuk dijual di perkebunan ladang sawit. Dari sekian banyak sopir, salah satunya naksir Rokmah yang dinyatakan janda kembang hingga keduanya sepakat untuk menikah.
Karena statusnya sopir pabrik pupuk Kaltim, Rokmah diajak pindah ke Kutai untuk tinggal disana. Sebelum berangkat ke Kutai, seluruh ladang sawit dijual kepada penduduk lain yang berminat.
Mendengar penjelasan Arsyad lemaslah sepasang dengkuk Kang Nur, sebab ternyata dia sudah delapan tahun meninggalkan alam manusia. Karena iba, Arsyad mengajak Kang Nur untuk tinggal di rumahnya yang hanya berselang beberapa petak dari ladang sawit miliknya.
***
Via
Cermis
seru, terharu, tragis. neer.. hehe mantapb
BalasHapusnebruk nebruk
siap man!
Hapusklanjutan critae priwe. rang wong drmayu pgn wruh lanjutane
BalasHapustamat bos
Hapus