Cerpen
Siang belum menutup matanya. Masih panas susana di luar. Sondet merapatkan diri pada pacarnya. Nunung dengan segera mengerti, pacarnya
ingin dipeluk. Dan dia tak pernah keberatan untuk meluluskan keinginan
itu.
Dengan senang hati, Sondet menikmati kehangatan pelukan kekasihnya. Lalu, tiba- tiba saja dia teringat pada sebuah film yang ditontonnya di televisi kemarin malam.
"Yang… “ Sondet mengajak Nunung mengobrol
"Mmm… “ jawab Nunung
"Membuat pilihan itu memang tidak pernah mudah, ya… “ kata Sondet.
Nunung melirik sang kekasih. Mencoba menebak, mengapa Sondet mengajaknya bicara tentang sebuah pilihan?
“Ya ... “ jawab Nunung.
"Tidak mudah terutama kalau pilihannya sulit. Dua- duanya menyenangkan, misalnya, atau keduanya tidak menyenangkan… “ Sondet mengangguk.
“Itu… seperti yang di film kemarin itu…”
“Film?”
Oh, Nunung mengerti kini. Walau dia sendiri hanya melihat sekilas- sekilas apa yang ditonton kemaren di Bioskop, dia dapat menangkap jalan ceritanya.
Ada bumbu cerita cinta dalam film itu. Melibatkan dua orang gadis dan seorang pemuda lajang. Ada rencana pernikahan yang terhambat karena lebih dari dua orang yang terlibat dan pilihan siapa yang akan menikah dengan siapa menjadi rumit.
Terdengar suara Sondet kembali berkata-kata.
“ Itu sebabnya ‘yang, selama ini aku tak pernah percaya pada faham ‘selama janur kuning belum melengkung’ itu… “
Nunung tersenyum. Bahwa Sondet tak sependapat dengan faham ‘selama janur kuning belum melengkung’ bagi para lajang atau faham populer lain ‘everything is fair in love and war’, tentu saja Nunung sudah tahu sejak lama.
Ribuan kali Sondet mengatakan hal itu. Ribuan kali pula Sondet selalu mengatakan bahwa menurut pendapatnya, selalu ada batas antara yang fair dan tidak. Sebab menurutnya, selalu ada aturan tentang suatu kepantasan.
"Sepanjang janur kuning belum melengkung" menurut Sondet adalah pendapat yang kurang tepat. Dalam hubungan antar manusia yang melibatkan rasa, maka setiap orang harus mempertimbangkan kepentingan orang lain serta menghormati komitmen yang pernah diberikan.
“Pada akhirnya“ terdengar suara Sondet, “hubungan cinta segitiga seperti yang diceritakan dalam film itu hanya akan menyakiti semua pihak “
“Jika ketiganya adalah orang- orang baik yang halus perasaannya, maka kesakitan dan luka itu akan menjadi lebih dalam. Karena itulah, hal- hal seperti itu seharusnya dihindarkan sejak awal…” Sondet melanjutkan komentarnya.
Nunung tersenyum.
“Tapi tidak selalu mudah untuk mengendalikan perasaan ... Yayang Sondet" kata Nunung.
“Kadang- kadang tanpa disadari, orang jatuh cinta begitu saja pada seseorang, dan jatuh cintanya dalam. Begitu saja terjadinya, tanpa rencana.“ Sondet mengangguk.
"Aku mengerti“ katanya.
"Cinta memang bisa muncul begitu saja. Aku mengerti… Tapi… manusia juga diberi logika. Dan saat jatuh cinta, orang tak boleh membutakan diri dan mematikan nalarnya. Pada saat- saat seperti ini, logika seharusnya bisa berperan dan menjadi rem untuk mengendalikan tindakan".
Ah… pikir Sondet, membuat pilihan memang tak pernah mudah. Apalagi jika menyangkut urusan- urusan hati.
***
Suasana menjadi sunyi sejenak. Tak ada yang berkata- kata. Dan setelah sekian lama, terdengar suara Nunung.
“Sondet" kata Nunung.
“Ingat nggak cerita yang kamu pernah tulis dulu?"
“Yang mana?" tanya Sondet. Dia menulis banyak cerita, dan entah yang mana yang dimaksud oleh Sondet.
“Tentang seseorang yang mempertanyakan mengapa mereka tak dipertemukan lebih awal itu“
Oh itu.
Sondet mengangguk. Ya, tentu saja dia ingat cerita berseri itu. Ingat pula beberapa baris kalimat yang dia tuliskan ketika itu. Long long time ago, in a galaxy far far away. Suara ombak berdebur di pantai. Bintang gemerlapan di atas langit.
Dua hati, milik seorang gadis dan seorang lelaki gagah mempertanyakan hal yang sama : kalau saja mereka dipertemukan lebih dahulu, akankah ceritanya berbeda? Atau, haruskah saat ini, mereka berusaha merancang akhir kisah mereka sendiri? Bolehkah? Atau tidak?
“Ingat nggak komentar aku dulu?" kata Nunung lagi.
Sondet mengingat- ingat apa kata tentang tulisan itu, dan dia tersenyum. Saat itu, Nunung mengatakan bahwa tulisan Sondet akan tampak aneh di jaman seperti ini. Sondet menulis tentang seorang gadis lajang yang gelisah sekali sebab dia mencintai dan dicintai oleh seorang lelaki yang kebetulan telah memiliki kekasih, padahal…
“Hari gini, Sondet… “ kata Nunung. “ Orang banyak bicara tentang selingkuh dalam pernikahan, kamu masih nulis kegelisahan para lajang begitu. Yang mungkin sudah tak lagi dipikirkan oleh kebanyakan orang. Sebab saat lajang, bisa dikatakan orang masih tidak terikat secara formal kan, walau dia memiliki kekasih. Artinya jika dia berpaling pada orang lainpun… “
Nunung membiarkan kalimatnya menggantung. Tapi bagaimanapun, Sondet mengerti apa yang dimaksud. Dan Sondet ingat bagaimana dia bersikeras bahwa bagaimanapun menurutnya hal itu tak dapat dibenarkan. Sebab tetap saja itu akan menyakiti hati seseorang.
“ Entahlah, “ kata Sondet, “ Orang mungkin beda-beda. Tapi aku tak dapat membayangkan menikah dengan seseorang yang direbut dari kekasihnya seperti itu. Jangan- jangan sepanjang pernikahan ada perasaan bersalah yang akan terus menghantui? “
Ah, pikir Sondet, menurutnya, bagaimanapun, selalu ada etika yang harus dipatuhi ketika orang dihadapkan pada pilihan dan langkah yang sulit. Dan seringkali keinginan harus dikalahkan untuk suatu kepatutan sikap.
Bagaimanapun, Sondet selalu percaya, saat seseorang berusaha untuk meluruskan sikap, walau mungkin ada nyeri di hati, tak pernah hal tersebut menjadi sia- sia. Selalu ada jalan terang di depan. Selalu akan ada ganti yang lebih baik menanti.
***
Di luar, suara kicau burung Kuntul terdengar. Sore telah datang. Sebentar lagi mereka semua sudah harus kembalike rumahnya
Tapi…
“yang… “ terdengar suara Sondet
“Ya? “ tanya Nunung
“Sudah sore. Tapi… “
“Tapi apa? “ tanya Sondet
“Jangan langsung pulang dulu. Peluk aku dulu sebentar lagi. Semenit lagiiii saja… “
Sondet tertawa. Dia memeluk Nunung lebih erat sambil diacak-acaknya rambut kekasihnya seraya tersenyum hangat penuh rasa sayang.
***
Cerpen | Kamidangdung, Cinta Segitiga
Ilustrasi Cinta Segitiga. Sumber : The Liriks |
Dengan senang hati, Sondet menikmati kehangatan pelukan kekasihnya. Lalu, tiba- tiba saja dia teringat pada sebuah film yang ditontonnya di televisi kemarin malam.
"Yang… “ Sondet mengajak Nunung mengobrol
"Mmm… “ jawab Nunung
"Membuat pilihan itu memang tidak pernah mudah, ya… “ kata Sondet.
Nunung melirik sang kekasih. Mencoba menebak, mengapa Sondet mengajaknya bicara tentang sebuah pilihan?
“Ya ... “ jawab Nunung.
"Tidak mudah terutama kalau pilihannya sulit. Dua- duanya menyenangkan, misalnya, atau keduanya tidak menyenangkan… “ Sondet mengangguk.
“Itu… seperti yang di film kemarin itu…”
“Film?”
Oh, Nunung mengerti kini. Walau dia sendiri hanya melihat sekilas- sekilas apa yang ditonton kemaren di Bioskop, dia dapat menangkap jalan ceritanya.
Ada bumbu cerita cinta dalam film itu. Melibatkan dua orang gadis dan seorang pemuda lajang. Ada rencana pernikahan yang terhambat karena lebih dari dua orang yang terlibat dan pilihan siapa yang akan menikah dengan siapa menjadi rumit.
Terdengar suara Sondet kembali berkata-kata.
“ Itu sebabnya ‘yang, selama ini aku tak pernah percaya pada faham ‘selama janur kuning belum melengkung’ itu… “
Nunung tersenyum. Bahwa Sondet tak sependapat dengan faham ‘selama janur kuning belum melengkung’ bagi para lajang atau faham populer lain ‘everything is fair in love and war’, tentu saja Nunung sudah tahu sejak lama.
Ribuan kali Sondet mengatakan hal itu. Ribuan kali pula Sondet selalu mengatakan bahwa menurut pendapatnya, selalu ada batas antara yang fair dan tidak. Sebab menurutnya, selalu ada aturan tentang suatu kepantasan.
"Sepanjang janur kuning belum melengkung" menurut Sondet adalah pendapat yang kurang tepat. Dalam hubungan antar manusia yang melibatkan rasa, maka setiap orang harus mempertimbangkan kepentingan orang lain serta menghormati komitmen yang pernah diberikan.
“Pada akhirnya“ terdengar suara Sondet, “hubungan cinta segitiga seperti yang diceritakan dalam film itu hanya akan menyakiti semua pihak “
“Jika ketiganya adalah orang- orang baik yang halus perasaannya, maka kesakitan dan luka itu akan menjadi lebih dalam. Karena itulah, hal- hal seperti itu seharusnya dihindarkan sejak awal…” Sondet melanjutkan komentarnya.
Nunung tersenyum.
“Tapi tidak selalu mudah untuk mengendalikan perasaan ... Yayang Sondet" kata Nunung.
“Kadang- kadang tanpa disadari, orang jatuh cinta begitu saja pada seseorang, dan jatuh cintanya dalam. Begitu saja terjadinya, tanpa rencana.“ Sondet mengangguk.
"Aku mengerti“ katanya.
"Cinta memang bisa muncul begitu saja. Aku mengerti… Tapi… manusia juga diberi logika. Dan saat jatuh cinta, orang tak boleh membutakan diri dan mematikan nalarnya. Pada saat- saat seperti ini, logika seharusnya bisa berperan dan menjadi rem untuk mengendalikan tindakan".
Ah… pikir Sondet, membuat pilihan memang tak pernah mudah. Apalagi jika menyangkut urusan- urusan hati.
***
Suasana menjadi sunyi sejenak. Tak ada yang berkata- kata. Dan setelah sekian lama, terdengar suara Nunung.
“Sondet" kata Nunung.
“Ingat nggak cerita yang kamu pernah tulis dulu?"
“Yang mana?" tanya Sondet. Dia menulis banyak cerita, dan entah yang mana yang dimaksud oleh Sondet.
“Tentang seseorang yang mempertanyakan mengapa mereka tak dipertemukan lebih awal itu“
Oh itu.
Sondet mengangguk. Ya, tentu saja dia ingat cerita berseri itu. Ingat pula beberapa baris kalimat yang dia tuliskan ketika itu. Long long time ago, in a galaxy far far away. Suara ombak berdebur di pantai. Bintang gemerlapan di atas langit.
Dua hati, milik seorang gadis dan seorang lelaki gagah mempertanyakan hal yang sama : kalau saja mereka dipertemukan lebih dahulu, akankah ceritanya berbeda? Atau, haruskah saat ini, mereka berusaha merancang akhir kisah mereka sendiri? Bolehkah? Atau tidak?
“Ingat nggak komentar aku dulu?" kata Nunung lagi.
Sondet mengingat- ingat apa kata tentang tulisan itu, dan dia tersenyum. Saat itu, Nunung mengatakan bahwa tulisan Sondet akan tampak aneh di jaman seperti ini. Sondet menulis tentang seorang gadis lajang yang gelisah sekali sebab dia mencintai dan dicintai oleh seorang lelaki yang kebetulan telah memiliki kekasih, padahal…
“Hari gini, Sondet… “ kata Nunung. “ Orang banyak bicara tentang selingkuh dalam pernikahan, kamu masih nulis kegelisahan para lajang begitu. Yang mungkin sudah tak lagi dipikirkan oleh kebanyakan orang. Sebab saat lajang, bisa dikatakan orang masih tidak terikat secara formal kan, walau dia memiliki kekasih. Artinya jika dia berpaling pada orang lainpun… “
Nunung membiarkan kalimatnya menggantung. Tapi bagaimanapun, Sondet mengerti apa yang dimaksud. Dan Sondet ingat bagaimana dia bersikeras bahwa bagaimanapun menurutnya hal itu tak dapat dibenarkan. Sebab tetap saja itu akan menyakiti hati seseorang.
“ Entahlah, “ kata Sondet, “ Orang mungkin beda-beda. Tapi aku tak dapat membayangkan menikah dengan seseorang yang direbut dari kekasihnya seperti itu. Jangan- jangan sepanjang pernikahan ada perasaan bersalah yang akan terus menghantui? “
Ah, pikir Sondet, menurutnya, bagaimanapun, selalu ada etika yang harus dipatuhi ketika orang dihadapkan pada pilihan dan langkah yang sulit. Dan seringkali keinginan harus dikalahkan untuk suatu kepatutan sikap.
Bagaimanapun, Sondet selalu percaya, saat seseorang berusaha untuk meluruskan sikap, walau mungkin ada nyeri di hati, tak pernah hal tersebut menjadi sia- sia. Selalu ada jalan terang di depan. Selalu akan ada ganti yang lebih baik menanti.
***
Di luar, suara kicau burung Kuntul terdengar. Sore telah datang. Sebentar lagi mereka semua sudah harus kembalike rumahnya
Tapi…
“yang… “ terdengar suara Sondet
“Ya? “ tanya Nunung
“Sudah sore. Tapi… “
“Tapi apa? “ tanya Sondet
“Jangan langsung pulang dulu. Peluk aku dulu sebentar lagi. Semenit lagiiii saja… “
Sondet tertawa. Dia memeluk Nunung lebih erat sambil diacak-acaknya rambut kekasihnya seraya tersenyum hangat penuh rasa sayang.
***
Via
Cerpen
Posting Komentar