esai
Desa Tuguku yang (tak lagi) Permai
Guyubnya pribadi-pribadi desa pada tahun 1980'an (dok. pribadi) |
Tak banyak yang bisa aku ceritakan kini, tentang desaku yang indah permai, kecuali senyum mengembang jika mengingat akan desaku dulu. Ya, kebahagiaan masa kecil yang natural, jauh dari hiruk-pikuk kota, jauh dari ambisi yang sampai ribut dengan tetangga. Rutinitas orang tua kami sebagian besar petani, pedagang, dan beberapa jadi pegawai negeri, kami tak merasa kekurangan materi, hajat hidup kami cukup dari hasil sawah, karena kami hidup tak mewah.
Sepanjang jalan terlihat dengan jelas sebuah pemandangan pedesaan. Kanan-kiri dipenuhi areal pesawahan, terlihat bagai karpet hijau menghampar. Lalu-lalang petani di bahu jalan dengan perlengkapannya, sebilah pedang, cangkul dan sebotol air minum, baik dengan sepeda maupun motor, saat jam-jam segini begitu ramai.
Kalau terus berjalan menyisiri sekeliling kampung, banyak akan tuan temui sesuatu yang selama ini belum pernah tuan duga-duga. Para ibu sedang sibuk didapur. Anak-anak berduyun-duyun dengan setelan merah-putih bersemangat pamit minta doa restu kepada orangtuanya, siap dengan palajaran barunya disekolah.
Kalau kalian datang ke kampung kami sangat terasa nuansa kampung sudah berubah menjadi setengah kota. Kehidupan di kampung sudah tidak lagi seperti dulu. Rumah tidak lagi seperti Pangken—rumah panggung—atau bangunan semi permanen. Rumah kami sekarang sudah terbuat dari beton semen, lantainya dari ubin atau keramik, atapnya tidak lagi dari rumput welingi melainkan dari genting Jatiwangi.
Hiasan di dinding tidak lagi memakai duplikasi gambar tokoh pewayangan atau kepala kidang melainkan poster artis atau band ngetop. Lampu petromak dan patrol sudah jarang terlihat dan dipakai, sebagai gantinya banyak kita lihat lampu neon dan lampu kristal—penerang ketika gelap menyapa. Kursi yang dulu risbang dengan meja bundarnya diganti dengan kursi ukiran atau sofa.
Kasur yang dulu diisi dengan kapuk sudah dianggap kuno, springbad atau kasur busa menjadi pilihannya. Jikalau dulu banyak orang buang hajat di got atau jamban pinggir kali sekarang hampir semua rumah memiliki toilet di dalamnya. Meski tak semua begitu tapi seisi warga desa hampir sudah merasakan fasilitas itu.
Sungguh sebuah kejutan bagi desa yang 20 tahun lalu masih banyak rumah terbuat dari pagar bambu yang dianyam. Lantainya beralaskan tanah, masih sedikit yang sudah dipasangi ubin. Karena listrik belum merata, warga desa masih suka menggunakan petromak dan lampu patrol sebagai penerangnya. Listrik memang sudah bisa dinikmati warga desa walau dengan swadaya pakai tenaga accu yang terangnya hanya sampai jam 12 malam.
Kami tak butuh AC meski panas dihantam terik sang matahari yang menyengat, pohon yang rimbun, angin sepoi yang bebas keluar masuk rumah, sungguh menyejukkan suasana. Selain pintu dan jendela yang selalu terbuka dan banyaknya lubang ventilasi lainya, terutama dari lobang pagar gribig.
Tanpa takut akan ada orang jahat yang akan masuk, apa yang akan di curi? kami tidak punya barang antik atau elektronik berharga, radiopun numpang punya tetangga yang di setel keras-keras dengan musik tarling Yoyo Suwaryo.
Yang pasti kami semua warga punya alat senter, satu-satunya alat penerangan darurat saat di butuhkan, itupun kalau ada baterainya, karena kami lebih sering pakai obor. Saat itu belum ada listrik masuk desa, yang ada AMD (ABRI Masuk Desa), berbaur dengan warga, bersama sama membangun desa, membuat para gadis berbunga bunga menaruh harapan tersandung cinta, dan menjadi nyonya tentara .
Sungguh menyenangkan dan terasa hidup desa kami. Kegiatan posyandu, PKK, Karang taruna yang aktif, masjid dan tajug yang ramai menjelang saat ibadah terutama waktu mahgrib tiba. Semaraknya bulan puasa bersambung lebaran, juga semarak dan meriahnya agustusan atau moment-moment yang tak kalah seru seperti unjungan, mapag sri, mapag tamba, dan sedekah bumi.
Merefleksikan rasa kekerabatan dan gotong royong yang erat antar sesama yang di miliki warga. Begitu juga anak anak yang mudah di temui berkumpul bermain bersama di halaman warga yang luas dan terbuka, sarana interaksi antar mereka entah siang atau malam hari saat bulan purnama.
Permainan tradisional nan alami mewarnai keceriaan hari-hari kami, ucak-ucakan, bentengan, ban bin ban ta, patah colong, patah iglong, glatik, slodoran, congklak, klacian, kasti, atau beramai ramai ceburan-adus-adusan di kali yang membelah desa kami.
Sekian Tahun Berlalu
Listrik telah menerangi ke pelosok negeri. Pembangunan insfrastruktur, sarana transportasi telah masuk sampai gang gang kecil. Barang-barang elektronik mewabah masuk ke setiap rumah, Tempat tinggal bak istana kecil tumbuh bagai jamur di musim hujan. Ekonomi telah jauh lebih baik. Banyak kemajuan di sana sini, di segala bidang. Turut bangga, turut bahagia.
Namun ada sisi lain yang terasa hilang. Mungkin karena perubahan jaman. Suasana menjadi hampa dan gersang. Tak ada lagi teriakan ramai khas anak anak kecil bermain. Bahkan tempat bermain itu kini menjadi rimbun, tak ramah dan terkesan seram.
Anak anak remaja lebih senang ber ha-ha hi-hi dengan komunitasnya di dunia maya. Dampak dari gadget yang canggih di tangan para remaja, jika tidak bijak dalam pantauan orang tua, akan menjerumuskan mereka pada ha hal yang tidak seharusnya dan belum waktunya.
***
Via
esai
Posting Komentar