esai
Sastra Sufistik dalam Karya Ahmad Fauzi
Photo by arrahmah.com. Editor Meneer Pangky |
Surga & Neraka
oleh
Ahmad Fauzi
Neraka tercipta untuk siapa
tercipta untuk para pendosa
yang terlena kenikmatan dunia
surga tercipta untuk siapa
tercipta untuk para ahli ibadah
yang taat menjalankan perintah
***
Bait
diatas adalah sesobek luka dari seorang penyair sufi tentang keadaan
lingkungannya, ya seorang Ahmad Fauzi, seorang penyair sufi dari Indramayu.
Bagi
seorang hamba, kesendirian adalah saat teristimewa untuk “menyanyi” dengan-Nya.
Ada melodi yang tiba-tiba mengalun, bersamaan dengan kesedihan manusiawi, dan
tiba saja sang hamba ingat, trenyuh, dan rindu pada Khalik.
Kenapa
yang melintas Dia? Itulah anugerah bagi para penyair dan sufi. Erat sangat
kaitan antara cinta pada Yang Tak Terbatas, dengan lekuk goresan sajak, yang
membuat para pembaca puisi tersebut, tiba saja terseret dalam kerinduan
spiritual itu.
Seperti
kita tahu, sebagian sufi adalah penyair, dan sebagian penyair adalah sufi.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Yang pertama karena spiritualitas, tasawuf itu
kaitannya dengan ruh, jiwa, kalbu. Seni sastra kaitannya dengan proses
bersasatra, kata-kata indah, yang berkaitan dengan kalbu, ruh, dan jiwa.
Ada
kesamaan sumber disana, karena kebersihan para sufi, sehingga sebetulnya tidak
ada jarak bersastra-sastra, tapi otomatis apa yang diucapkan menjadi sastra.
Jadi,
ketika seseorang sastrawan membuat karya sastra, tentu tidak lepas dari
kepribadian si sastrawan itu sendiri. Sastrawan yang hanya bergelimang dengan
daging akan mengeluarkan sastra daging, tapi kalau orang yang bergelimang
dengan kalbu, dia akan menciptakan karya sastra nuansa kalbu. Jika pribasa wong
dermayu bilang, "yen kirik ya tetep
mangane balung, yen wedus ya tetep doyane suket".
***
Meneer
Panqi
Indramayu
Historia Foundation
Via
esai
Posting Komentar