Opini
Warga Indramayu pada bulan Ramadhan lumrah “dibangunkan” dari tidurnya untuk melaksanakan makan sahur dengan bunyi musik yang khas, yakni Obrog. Fenomena obrog, sebagai sebuah seni tradisi sangat menarik untuk ditelisik, khususnya pada perubahan media (alat musik), bentuk, dan pergeseran fungsinya.
Apa itu obrog? Nama obrog berasal dari bunyi alat musik yang sering ditabuh, semacam kendang/gendang atau lainnya. Tidak diketahui dengan pasti kapan kesenian ini tercipta. Obrog merupakan kesenian yang banyak ditemui selama bulan Ramadhan. Selama sebulan penuh, rombongan musik obrog berkeliling dari desa ke desa guna membangunkan warga untuk segera bergegas makan sahur.
Menurut Ahmad Yunus (1980), obrog ini justru berasal dari daerah pedesaan. Dolanan ini bahkan sudah dikenal oleh masyarakat Jawa lebih dari ratusan tahun yang lalu. Kamus “Baoesastra Djawa” karangan WJS. Poerwadarminta (1939) pun merekam istilah ini, dan pada halaman 449 dikatakan sebagai “araning dolanan bocah (nganggo gacuk watu totohane gendhongan)” yang artinya kurang lebih “nama permainan anak (menggunakan media bermain berupa batu dan dengan taruhan gendongan)”.
Namun, bisa diambil sebuah kesimpulan soal penamaan kesenian ini, ketika tabuhan tadi dipukul akan menghasilkan bunyi “brog...brog”. Lambat-laun dari bunyi tadi, akhirnya muncul kosakata “obrog” sebagai bentuk penyebutan kesenian ini. Karena pada awal kemunculannya, kesenian ini menggunakan alat-alat musik berupa alat-alat musik tradisional.
Sekarang rombongan obrog bermain dengan menggunakan alat musik modern. Mulai dari gitar elektrik, bass, organ, tamborin, dilengkapi dengan sound system yang didorong di atas gerobak beroda. Ada juga rombongan obrog yang menyediakan panggung mini yang didorong di atas roda.
Para biduannya juga banyak yang membawakan tembang-tembang tarling. Mirip sebuah grup organ tunggal. Pada dekade 1980-an, obrog banyak dimainkan oleh grup kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap. Teknologi karaoke yang marak pada dekade berikutnya yakni 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog. Belakangan ini, obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal.
Pada saat bulan puasa tiba, grup obrog menjamur di sebagian besar wilayah Indramayu. Satu grup obrog biasanya masih terikat hubungan kerabat. Dahulu para pelakunya, dikuasai oleh kaum laki-laki. Ini disebabkan karena kaum perempuan dianggap tabu untuk keluar malam oleh masyarakat. Namun sekarang rombongan obrog banyak menyertakan perempuan di dalamnya, terutama yang bertindak sebagai seorang biduan.
Perubahan
Perubahan-perubahan ini memang wajar. Obrog bukanlah produk kesenian yang sakral. Ia dapat berubah sesuai dengan keadaan dan tuntutan zaman, serta keinginan/selera masyarakat pendukungnya. Penggunaan alat-alat musik modern adalah bentuk tuntutan zaman yang diikuti oleh para pelaku seni ini.
Hal lain yang unik dari obrog, yaitu saat Idul Fitri (Lebaran) tiba, masyarakat akan memberi uang, beras, atau makanan sebagai ucapan terima kasih karena mereka telah dibangunkan sahur selama bulan puasa. Ini adalah wujud hubungan timbal-balik antara pelaku seni obrog dan masyarakat.
Setiap kegiatan seni memiliki sebuah fungsi. Edi Sedyawati (2006: 366) menyebutkan fungsi seni, yaitu: sebagai penyalur kekuatan adi-kodrati; penyalur bakti kepada Tuhan (religius); melestarikan warisan nenek moyang; sarana atau komponen pendidikan; kegiatan bersenang dan berhibur; sarana pencaharian hidup. Di masa lalu obrog erat sekali dengan fungsi penyalur bakti pada Tuhan (religius).
Tujuan utama obrog adalah membangunkan orang untuk bersantap sahur. Secara langsung mereka juga berperan mengajak orang untuk beribadah. Selain itu, obrog menjadi media komunikasi sosial masyarakat. Namun, kini fungsi tersebut perlahan telah bergeser. Fungsinya kini selain hal diatas juga ada business oriented.
Kebanyakan rombongan obrog berkeliling untuk meraup penghasilan. Biasanya mereka menarik uang/saweran untuk permintaan sebuah lagu. Terlepas dari itu semua, kesenian ini sudah jadi bagian dari bulan Ramadhan. Rasanya, bagi warga Indramayu, tak lengkap bulan puasa tanpa kehadiran obrog.
Apa itu Obrog?
Warga Indramayu pada bulan Ramadhan lumrah “dibangunkan” dari tidurnya untuk melaksanakan makan sahur dengan bunyi musik yang khas, yakni Obrog. Fenomena obrog, sebagai sebuah seni tradisi sangat menarik untuk ditelisik, khususnya pada perubahan media (alat musik), bentuk, dan pergeseran fungsinya.
Apa itu obrog? Nama obrog berasal dari bunyi alat musik yang sering ditabuh, semacam kendang/gendang atau lainnya. Tidak diketahui dengan pasti kapan kesenian ini tercipta. Obrog merupakan kesenian yang banyak ditemui selama bulan Ramadhan. Selama sebulan penuh, rombongan musik obrog berkeliling dari desa ke desa guna membangunkan warga untuk segera bergegas makan sahur.
Menurut Ahmad Yunus (1980), obrog ini justru berasal dari daerah pedesaan. Dolanan ini bahkan sudah dikenal oleh masyarakat Jawa lebih dari ratusan tahun yang lalu. Kamus “Baoesastra Djawa” karangan WJS. Poerwadarminta (1939) pun merekam istilah ini, dan pada halaman 449 dikatakan sebagai “araning dolanan bocah (nganggo gacuk watu totohane gendhongan)” yang artinya kurang lebih “nama permainan anak (menggunakan media bermain berupa batu dan dengan taruhan gendongan)”.
Namun, bisa diambil sebuah kesimpulan soal penamaan kesenian ini, ketika tabuhan tadi dipukul akan menghasilkan bunyi “brog...brog”. Lambat-laun dari bunyi tadi, akhirnya muncul kosakata “obrog” sebagai bentuk penyebutan kesenian ini. Karena pada awal kemunculannya, kesenian ini menggunakan alat-alat musik berupa alat-alat musik tradisional.
Sekarang rombongan obrog bermain dengan menggunakan alat musik modern. Mulai dari gitar elektrik, bass, organ, tamborin, dilengkapi dengan sound system yang didorong di atas gerobak beroda. Ada juga rombongan obrog yang menyediakan panggung mini yang didorong di atas roda.
Para biduannya juga banyak yang membawakan tembang-tembang tarling. Mirip sebuah grup organ tunggal. Pada dekade 1980-an, obrog banyak dimainkan oleh grup kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap. Teknologi karaoke yang marak pada dekade berikutnya yakni 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog. Belakangan ini, obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal.
Pada saat bulan puasa tiba, grup obrog menjamur di sebagian besar wilayah Indramayu. Satu grup obrog biasanya masih terikat hubungan kerabat. Dahulu para pelakunya, dikuasai oleh kaum laki-laki. Ini disebabkan karena kaum perempuan dianggap tabu untuk keluar malam oleh masyarakat. Namun sekarang rombongan obrog banyak menyertakan perempuan di dalamnya, terutama yang bertindak sebagai seorang biduan.
Perubahan
Perubahan-perubahan ini memang wajar. Obrog bukanlah produk kesenian yang sakral. Ia dapat berubah sesuai dengan keadaan dan tuntutan zaman, serta keinginan/selera masyarakat pendukungnya. Penggunaan alat-alat musik modern adalah bentuk tuntutan zaman yang diikuti oleh para pelaku seni ini.
Hal lain yang unik dari obrog, yaitu saat Idul Fitri (Lebaran) tiba, masyarakat akan memberi uang, beras, atau makanan sebagai ucapan terima kasih karena mereka telah dibangunkan sahur selama bulan puasa. Ini adalah wujud hubungan timbal-balik antara pelaku seni obrog dan masyarakat.
Setiap kegiatan seni memiliki sebuah fungsi. Edi Sedyawati (2006: 366) menyebutkan fungsi seni, yaitu: sebagai penyalur kekuatan adi-kodrati; penyalur bakti kepada Tuhan (religius); melestarikan warisan nenek moyang; sarana atau komponen pendidikan; kegiatan bersenang dan berhibur; sarana pencaharian hidup. Di masa lalu obrog erat sekali dengan fungsi penyalur bakti pada Tuhan (religius).
Tujuan utama obrog adalah membangunkan orang untuk bersantap sahur. Secara langsung mereka juga berperan mengajak orang untuk beribadah. Selain itu, obrog menjadi media komunikasi sosial masyarakat. Namun, kini fungsi tersebut perlahan telah bergeser. Fungsinya kini selain hal diatas juga ada business oriented.
Kebanyakan rombongan obrog berkeliling untuk meraup penghasilan. Biasanya mereka menarik uang/saweran untuk permintaan sebuah lagu. Terlepas dari itu semua, kesenian ini sudah jadi bagian dari bulan Ramadhan. Rasanya, bagi warga Indramayu, tak lengkap bulan puasa tanpa kehadiran obrog.
***
Via
Opini
Posting Komentar