esai
Warangan - Senjata Khas dari Indramayu.
NAMA Warangan selama ini sudah
dikenal secara luas. Terutama dilingkungan wangsa cerbon-dermayu. Banyak yang mengenal Warangan seperti halnya sampyong yang sudah identik dengan Indramayu. Popularitas Warangan memang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari nama Indramayu.
Sebab,
kalau merujuk pada riwayat yang berkembang dimasyarakat, menunjukan bahwa
munculnya Warangan ada getok tular (keterkaitan) dengan perkembangan Keadipatian
Dermayu itu sendiri. Pedang adalah sejenis
senjata yang banyak digunakan pada masa lalu, termasuk ketika melawan penjajah.
Pedang, didalam kamus umum bahasa Indonesia,
diartikan sebagai benda sebangsa parang. Untuk benda semacam itu, didaerah Indramayu
dikenal dua nama. Yakni Pedang dan Warangan. Secara fisik keduanya sama dan
sebangun. Namun, keduanya memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda.
Pedang adalah peralatan yang penting
dalam keperluan sehari- hari, terutama bagi mereka yang bekerja dikebun atau
disawah. Memangkas pohon, rerumputan,
dan terutama
ranting. Semua
menggunakan Pedang. Ada juga sejenis Pedang yang bentuknya agak berbeda. Bagian
ujungnya melengkung kebawah. Biasa disebut congkrang.
Fungsinya lebih banyak digunakan untuk menyabit rumput atau keperluan dikebun
lainnya.
Sedangkan warangan, umumnya difungsikan
sebagai senjata yang dipakai untuk membela diri atau untuk keperluan darurat
saja. Pedang tidak digunakan dalam menebang pohon atau keperluan dirumah.
Dijaman perjuangan atau jaman penjajahan, warangan banyak digunakan sebagai
senjata untuk melawan penjajah.
Para pendekar didaerah Indramayu dan sekitarnya
juga dikenal sebagai Jawara- biasanya memiliki senjata utama berupa warangan.
Mereka biasanya memberi nama khusus terhadap warangan yang dimiliki para
pendekar. Nama itu biasanya menunjukan keistimewaannya.
Ketika zaman kolonial dan kerajaan di Indonesia bisa
diketahui persamaan jenis warangan dengan jenis pedang sabet. Pedang Sabet
adalah senjata pusaka bagi para ksatria untuk bertempur melawan musuh dalam
peperangan, biasanya pedang dibuat dengan kuat dan kokoh dengan besi yang lebih
kuat dan pilihan. Biasanya ada kesatuan khusus yang dipersenjatai dengan pedang
sabet ini.
Di Eropa khususnya dikenal istilah Sabel atau sabre (
dibaca : saber) adalah pedang bermata satu melengkung yang berasal dari Eropa
yang memiliki pelindung tangan yang besar. Kata sabel berasal dari kata
Hongaria szablya "alat untuk memotong). Asal-usul saber kurang jelas,
mungkin diturunkan dari falchion dan shamshir yang digunakan di zaman
pertengahan oleh kavaleri Asia tengah seperti Turki, Tatar, dan Mongol. Saber
pertama kali muncul di abad ke-10 dengan kedatangan orang-orang Magyar.
Pada awalnya sabel digunakan sebagai senjata kavaleri,
menggantikan pedang lurus. Awal sabel digunakan secara besar-besaran pada awal
abad ke-19, terutama pada Perang Napoleon, Napoleon menggunakannya untuk
serangan kavaleri. Sampai saat ini sabel masih digunakan sebagai status
kepangkatan di dalam ketentaraan.
Sampai saat ini jika kita melihat defile prajurit Keraton Yogyakarta kita akan melihat ada prajurit
yang mengenakan senjata jenis ini, meski zaman dahulu di Jawa sudah dikenal
pedang sabet yang mirip dengan senjata ini. Sabel dipakai sebagai salah satu
nomor dalam olah raga anggar, selain floret
dan degen, meskipun bentuk pedang
untuk sukan ini lebih langsing.
Perkembangan
Warangan
Tugu, sebuah desa yang berjarak sekitar 20 Km selatan
Kota Indramayu, dikenal memiliki sebuah tradisi warangan yang khusus. Produksinya
berada disebelahnya, yaitu desa Sudimampir. Sedangkan desa Tugu adalah desa
penempaan prajurit kala dulu. Warangan, yang dikenal memiliki banyak
keistimewaan. Sejak dulu bagi wong Tugu warangan dikenal memiliki keistimewaan “isi” sendiri yang
tidak sembarangan. Dalam istilah masyarakat, ada perkataan, “Yen warangan dudu sembarang pedang, kien
tah Warangan”.
Sama halnya dengan Keris di Jawa atau Kujang di
Sunda, Warangan
diyakini memiliki nilai mistis. Banyak yang mempercayai bahwa Warangan sangat
ampuh untuk “menaklukan” musuh. Tapi pengertian “menaklukan” tidak berarti Pedang
itu digunakan untuk menyakiti fisik musuh. Bahkan kadang musuh bisa
“ditaklukan” tanpa harus mengeluarkan warangan dari werangka-nya.
Kedatangan orang yang memiliki Warangan
ketempat yang tengah terjadi perselisihan, konon bisa meredakan perselisihan
itu. Warangan juga bisa meredakan suasana hati yang panas, kemarahan,
kejengkelan, dan amarah lainnya. Bahkan, dengan nada sedikit bergurau, ada juga
yang berbisik soal keistimewaannya: “ yen
arep nagih utang gah kalah bli sida” (yang mau menagih hutang saja bisa
tidak jadi).
Ada juga keistimewaan dari segi fungsi.
Konon, karena dibuat secara khusus, kulit yang terluka oleh Warangan, sedikit
saja, akan sukar sekali sembuh. Bahkan kalau disayatkan ke pohon pisang muda,
pohon itu akan membusuk dan mati.
Padahal pohon pisang, selain karena
penyakit, biasanya tidak akan mati sebelum berbuah. Sehingga dikenal bahwa pohon pisang itu tidak mati sebelum memberi
arti bagi kehidupan lainnya. Ditebang berkali- kali dengan pedang biasa, pohon
pisang akan hidup dan muncul tunas
baru. Begitu seterusnya, sampai ia berbuah. Setelah berbuah pasti akan mati.
Lain halnya apabila terkena Warangan,
jangankan ditebang, tersayat saja akan menyebabkan ia mati dan membusuk. Seolah
pedang itu memiliki racun yang maha dahsyat, yang merupakan buatan mpu/pande yang sakti, seorang ahli metalurgi yang mumpuni.
Tak ubahnya kisah dibuku- buku cerita masa silam. Keyakinan itu berkembang
begitu luas dimasyarakat. Adapun kebenarannya, wallahualambishawab.
Yang pasti setiap orang yang memiliki Warangan
memiliki cerita sendiri- sendiri. Ada seratus orang, ya seratus cerita. Seribu
orang, seribu cerita. Kalau para pemilik Warangan berkumpul, akan banyak cerita
yang bisa menjadi bahan pembicaraan dan menyebabkan satu sama lain merasa
dekat. Hal demikian makin merekatkan tali silaturrahmi diantara mereka.
Banyak persahabatan yang muncul
kemudian, menurut syariatnya lantaran
Warangan. Seorang tokoh pemilik Warangan,
menceritakan, dirinya sedang angon
bebek.
Sesampainya di tempat “buaran”,
ada jawara yang ia kenal karena sama- sama
memiliki koleksi Warangan, akhirnya obrolannya jadi mesra hingga terjadi
persahabatan diantara mereka.
Banyaknya kisah juga karena model Warangan
tidak ada yang sama persis. Masing- masing memiliki perbedaan dan keunikan
sendiri- sendiri. Namun demikian, ada hal pasti yang dijadikan pakem,
bahwa warangan yang asli atau kuna, bisa dilihat dari desain warangan dimana
bentuk yang tidak tajamnya seperti wuwungan – atap rumah.
***
Via
esai
Posting Komentar