Sejarah
Asal-usul Lomba 17-an
Logo resmi HUT RI tahun 2015 |
Ada
tradisi yang sudah berjalan puluhan tahun di Indonesia, tak terkecuali di
Indramayu. Masyarakat Indramayu juga saban tahunnya merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) yang jatuh setiap 17 Agustus, perayaan
17-an kerap diwarnai oleh berbagai lomba yang seru dan mengasyikkan serta
mengundang gelak tawa.
Bagaimana
tidak, kebanyakan lomba yang digelar tersebut memiliki keunikan tersendiri yang mengundang gelak tawa para penontonnya? Sebut saja lomba panjat pinang,
balap karung, makan kerupuk, tarik tambang, enggrang, dan masih banyak lagi.
Ya,
pesta rakyat ini memang sangat menyenangkan dan membuat peserta lomba dan
penonton terhibur dibuatnya. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana
tradisi lomba ini muncul dan selalu diperingati saban tahun setiap 17 Agustus?
Mengutip
dari Sejarawan JJ Rizal, mengatakan bahwa tradisi lomba yang kerap menghiasi
perayaan HUT Kemerdekaan RI itu muncul pada tahun 1950-an. Masyarakat sendiri
yang memunculkan lomba-lomba itu sejak perayaan HUT Kemerdekaan RI yang ke-5. Sebelumnya tidak
ada lomba.
Bahkan
presiden pertama Indonesia, Soekarno, adalah salah satu orang yang
paling bersemangat dengan lomba 17 Agustus ini. Masyarakat kala itu begitu
antusias ingin memeriahkan perayaan HUT Kemerdekaan RI yang berhasil
diperjuangkan dengan cara yang menyenangkan.
Inilah
yang membuat tradisi lomba 17 Agustus semakin menyebar luas di seluruh Tanah
Air. Dan perlu diketahui, bahwa dibalik kemeriahan perayaan HUT RI lewat berbagai
lomba tersebut, ada filosofi atau makna yang terkandung di setiap jenis lomba.
Makna Lomba-lomba 17-an
Lomba Enggrang - photo by Meneer Panqi - |
Lomba
enggrang, lomba tersebut memiliki makna menghina atau mengejek kolonialisme
Belanda, yang mana orang-orang Belanda tubuhnya tinggi (jangkung). Mereka main
engrang untuk mengejek orang jangkung (Belanda).
Lomba balap karung - photo by Meneer Panqi - |
Sedangkan
lomba balap karung, mengingatkan rakyat Indonesia saat masa-masa sulit dijajah
Jepang. Saat Indonesia dijajah Jepang, mayoritas rakyat ketika itu pakaiannya
adalah karung goni.
Lomba makan krupuk - photo by Meneer Panqi - |
Simbol
keprihatinan tentang kondisi rakyt Indonesia saat zaman penjajahan ditunjukkan
pula lewat lomba makan kerupuk yang dijadikan simbol pangan. Lomba makan
krupuk, mengingatkan kita jika dahulu bangsa Indonesia dalam keadaan kelaparan,
setiap kali makan tak pernah kenyang. Seperti makan kerupuk, sebanyak apapun
makannya tak akan pernah kenyang.
Lomba tarik tambang - photo by Sigit Amir - |
Nah,
kalau lomba tarik tambang, memiliki makna gotong royong, kebersamaan, dan
solidaritas masyarakat Indonesia. Bangsa kita bisa merdeka dari Belanda dan
Jepang, itu tidak gampang. Penuh perjuangan, apalagi setelah semua suku-suku di
Indonesia bersatu, kemerdekaan cepat diraih.
Panjat Pinang zaman Belanda - photo by KITLV - |
Lantas,
bagaimana pula sejarah dari lomba panjat pinang? Mengutip dari laman Wikipedia,
Panjat Pinang disebutkan perlombaan ini menjadi objek bahan tertawaan penjajah
Belanda. Panjat pinang berasal dari zaman penjajahan Belanda yang sering
digelar acara besar seperti hajatan, pernikahan, dan lain-lain.
Pesertanya
orang-orang pribumi yang memperebutkan 'barang mewah' waktu itu, biasanya bahan
makanan seperti keju, gula, pakaian kemeja. Ketika orang pribumi bersusah payah
untuk memperebutkan hadiah, para orang-orang Belanda menonton sambil tertawa.
Tata cara permainan ini belum berubah sejak dulu.
Bisa
dibayangkan bagaimana kondisi rakyat Indonesia pada masa penjajahan. Sementara
kebanyakan rakyat Indonesia bersusah payah untuk bisa bertahan hidup, tetapi
para Penjajah Belanda justru hidup dalam kesenangan.
Lomba bakiak - photo by Meneer Panqi - |
Lomba balap kelereng - photo by Meneer Panqi - |
Semoga
dengan mengetahui makna dibalik lomba-lomba 17-an, hati kita tergugah untuk lebih
menghargai makna kemerdekaan. Jangan sia-siakan kemerdekaan yang sudah
diperoleh ini. Merdekaaaaaaaaaaaaa ... merdekaaaaaaaaaaaaaa ... merdeka, bung !
***
Via
Sejarah
Posting Komentar