Opini
Dana Desa, Dewa Kemakmuran kah?
Untuk
mempercepat pembangunan desa, mulai tahun 2015 ini pemerintah mulai
menggulirkan kebijakan dengan mengalokasikan dana dari APBN sebesar Rp 20
Triliun, yang disebut Dana Desa. Dana tersebut akan ditransfer langsung ke
rekening Kepala Desa.
Untuk
melihat hasilnya, tentu bisa terlihat pada tiga tahun mendatang. Apakah dana
tersebut bisa menciptakan desa-desa semakin baik dan sejahtera? Atau desa masih
stagnasi, meski Kades dan aparat desa makin gendut rekeningnya, dikarenakan
dana desa bukan diserap untuk pembangunan desa malah diserap masuk ke
pundi-pundi para pamong desa.
Begitupun
tak berbeda dengan kondisi di Kabupaten Indramayu, pada 2015 ini dana desa yang
dikucurkan Pemerintahan Jokowi masih sekitar
Rp 250 – 300-an juta. Tahun depan akan meningkat menjadi Rp 500-an juta.
Pada 2018, dana desa akan menjadi minimal Rp 1 milyar, sesuai amanat UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa. Lalu untuk apa dana sebesar itu?
Dana
desa tentunya seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi,
pendidikan, dan sosial di desa. Seperti jalan dan jembatan, sekolah, taman
bermain anak-anak, dan sebagainya.
Jembatan desa yang rusak bisa diperbaiki. Jalanan desa yang penuh lobang
dan berlumpur juga bisa diperbaiki.
Jika
ada sekolah atau madrasah yang masih berlantai tanah dan berdinding bambu, maka
dana desa bisa digunakan untuk memperbaiki atau bahkan membangun baru sekolah
itu. Jika dana desa tidak cukup, maka sisa pekerjaan bisa dilakukan tahun
depan. Toh, akan ada lagi dana desa pada tahun depan.
Kendala
yang menjadi tantangan dalam pengucuran dan pemanfaatan dana desa itu adalah
korupsi. Kuwu dengan pamongnya, bisa melihat dana desa untuk dikuras, sehingga
sebagian dana masuk ke kantong mereka. Apalagi, berbagai program yang dilakukan
di desa selama ini, termasuk PNPM Mandiri Pedesaan, telah mengajarkan kepada
mereka bagaimana teknik korupsi yang aman dan tidak ketahuan.
Indikasi
dari akan ada praktek korupsi pada dana desa salah satunya adalah jika berbagai
jenis kegiatan dan pekerjaan dilaksanakan bukan oleh rakyat desa, tetapi
di-tenderkan kepada kontraktor. Rakyat desa yang miskin akan dipekerjakan
sebagai buruh padat karya.
Biasanya,
ada pembicaraan rahasia antara kuwu dan kontraktor tentang uang komisi yang
akan diberikan kepada Pak Kuwu jika ingin memenangkan tender. Maka sekian
persen dana desa untuk pembangunan infrastuktur itu akan masuk ke kantong
pribadi kuwu dan ataupun pamong.
Pada
hal pembangunan infrastruktur itu sebenarnya
bisa dikerjakan langsung oleh para tukang dan rakyat yang menganggur di
desa itu. Bahkan masyarakat sebenarnya
bisa dan mau ikut berkontribusi melalui gotong royong dan kerja bhakti. Karena mereka yang akan memperoleh manfaat
dari dibangunnya infrastruktur tersebut.
Untuk
membangun desa secara benar, Pemdes bisa memulainya dengan melancarkan kampanye
menumbuh-kembangkan sikap mental asli desa yang sudah beratus tahun hidup dalam
masyarkat desa. Hal itu ditujukan untuk mendidik dan menumbuhkan semangat etos
kerja dalam bentuk kewekelan (diligently), tekad urip (willpower), gotog royong
(cooperation).
Setelah
itu, masyarakat desa dilibatkan dalam merancang pembangunan desa mereka, dengan
bentuk partisipasi serta kontribusi swadaya mereka untuk melaksanakan rancangan
pembangunan desa itu.
Misalnya,
dalam membangun perumahan di desa. Dibuatlah perdes, yang melarang membangun
rumah di lahan produktif sawah. Tujuannya, melindungi lahan sawah sebagai mata
pencaharian masyarakat desa.
Perumahan
baru boleh dibangun di lahan yang tidak subur dan atas izin dari Pemdes terlebih
dahulu, tujuannya ke depan agar ketersediaan pangan masih terjaga. Keuntungan
lainnya pengelolaan tata ruang desa akhirnya mudah ditata.
Selanjutnya
usaha pesawahan subur, dijalankan secara modern menggunakan traktor dan
peralatan lainnya. Didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, betonisasi
baik irigasi maupun jalan-jalan sawahnya. Sehingga kegiatan usahatani lebih
dimudahkan aksesnya.
Selain
di atas,dalam usaha perekonomian rakyat juga didasarkan atas prinsip kerja sama
(gotong royong). Mendirikan usaha peternakan ayam, usaha perikanan, perkebunan,
dan berbagai jenis usaha ekonomi lain. Semuanya untuk meningkat kesejahteraan
penduduk desa.
Pemdes
dan masyarakat desa dalam sepuluh tahun mendatang akan bangga dengan pencapaian
mereka dalam membangun desa. Desa-desa di Indramayu khususnya akan berubah
menjadi desa-desa modern. Tapi tidak mengubah ciri pribadi desa, meski desanya
sudah mulai makmur tetap menampilkan gaya hidup sederhana.
Kemana-mana
tetap naik sepeda, sepeda motor dan mobil hanya digunakan ketika bepergian ke
luar desa maupun akan pergi ke kota. Sikap seperti ini perlu
ditumbuh-kembangkan, karena apa yang sekarang terjadi adalah antitesis dari
cerita diatas, masyarakat desa khususnya di Indramayu sedang gandrung memamerkan kekayaan dengan membeli motor dan mobil terbaru, meski harus kredit.
Kami
amati, perkembangan pengucuran dana hanya berbuah pujian kepada desa-desa yang
mampu menyerap dana desa lebih tinggi. Jadi, kentara sekali program dana desa
masih sekedar proyek-proyek untuk menghabiskan dana yang disediakan.
Tidak
pernah terdengar pernyataan pejabat tentang program dana desa sebagai
implementasi dari revolusi mental yang diharapkan Presiden Jokowi dari tingkat
bawah ke atas (bottom up). Tidak mendengar bagaimana dana desa dikaitkan dengan
partisipasi dan kemampuan swadaya rakyat desa?
Kami
berharap dana desa tidak habis hanya untuk pembangunan infratruktur, tapi
dibagi menjadi dua, menghidupkan perekonomian desa. Dana desa bisa diambil
untuk keperluan membangun Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dalam bentuk
penyertaan modal.
Misalnya,
dalam musrembang desa untuk pendirian Bumdes, diperlukan modal sebesar Rp 1 milyar
yang akan dibagi menjadi 1000 lembar saham. Separuhnya diambilkan dari dana
desa atau 500 lembar saham. Sisanya, akan dibeli oleh masyarakat desa, bisa
berdasarkan kemampuan setiap warga, lembaga-lembaga ekonomi masyarakat di desa,
seperti Kelompok Tani (tanaman pangan), kelompok peternak, koperasi dan
sebagainya.
Karena
modal yang diperlukan cukup besar, bisa pula pemenuhan kewajiban membayar saham
tidak dilakukan sekaligus, tetapi bertahap. Dengan demikian, Pemdes dan
masyarakat desa memiliki bumdes yang beroperasi untuk memberdayakan berbagai
usaha ekonomi rakyat yang potensial.
Bumdes
dapat melakukan kegiatan penampungan dan pemasaran hasil produksi, pengadaan
sarana produksi, pengolahan hasil produksi dan sebagainya. Tentunya untuk setiap jenis usaha itu perlu
dilakukan studi kelayakannya. Jika layak dalam pengertian menguntungkan, maka
usaha tersebut bisa dijalankan.
***
Via
Opini
Posting Komentar