Opini
Materialistis VS Realistis
Rasanya
suka ingin marah setiap kali harus berhadapan dengan seseorang yang sering
secara tidak sadar dan enggan mengakui. Meski perilaku menunjukkan bahwa
dirinya seorang materialistis.
Meski
tak mau juga mengakui, tetapi segala sesuatunya dinilai dari materi. Malah
merasa benci bila mendapatkan pasangan materialistis. Pada fakta dan
kenyataannya, kesuksesan seseorang, baginya, diukur dari hitungan materi yang
dimiliki walaupun tidak secara langsung.
Kasihan,
deh! Mau sampai kapan sadar bahwa semua itu hanya merusak dirinya sendiri dan
merusak yang lain tentunya? Cinta kepada bangsa dan negara pun dihitung lewat
materi yang didapatkan. Sampai kapan kita harus hidup seperti ini?
Alih-alih
ingin realistis, padahal memang kalo jujur, itu materialistis. Bukan realistis.
Kalo realistis kan sesuai dengan fakta yang ada. Kalo materialistis kan
faktanya dibuat-buat. Hahahhaha.
***
Kata
materialistis selalu diidentikkan dengan kaum perempuan, sepertinya ini paham
hanya dimonopoli oleh mereka kaum gelungan.
Aku
kira, ini anggapan salah besar. Berdasarkan penelitian Prof. Talkiban, dengan
sampel di desa Tegal Grubug. Banyak juga kaum kumis dan jenggot yang sebenarnya
juga berpaham materialistis.
Banyak
pria melihat kesempatan dan jika ada celah, dimana pasangannya memiliki
penghasilan, jabatan, serta status sosial yang lebih. Malah, lalu dimanfaatkan
oleh mereka untuk akhirnya menjadi malas dan berpangku tangan kepada
pasangannya tersebut.
Kalian
para pria jujur saja akui, ngaku ya? jangan memalukan kaum berkumis seperti
aku. Hahhaha. Kalo nggak ngaku juga, aku beberkan borok kalian nih. Ngaku
nggak?
Tapi,
entahlah apa yang ada di dalam benak mereka? Pastinya, salah satu dari pria
seperti ini pernah aku minta untuk memakai onder saja. Supaya ia jadi berpikir
kembali tentang perilakunya tersebut.
Diatas
dijelaskan bahwa sikap materialistis pelakunya tidak hanya perempuan tapi juga
oleh lelaki. Mereka dua jenis kelamin ini ternyata sudah tertular penyakit
panastis --fans materialistis.
Parahnya,
ini penyakit materialistis juga sudah menular kepada anak muda dan anak tua,
maksudnya orangtua juga. Hahhaha.Bukan hanya yang muda yang sikapnya seperti
ini, tetapi orang tua justru lebih banyak lagi yang materialistis.
Bayangkan,
cinta dan bakti serta pengabdian anak kepada orang tua dinilai dari jumlah
materi yang diberikan kembali kepadanya, bila anaknya itu sudah berpenghasilan.
Jika
tak diberi, bisa sampai dikutuk segala. Apa tidak berpikir bahwa anak juga
punya keinginan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Bila sudah
berkeluarga, memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya.
Masa
uang yang seharusnya bisa digunakan untuk memberi kehidupan yang lebih baik
bagi cucu-cucunya, yang jelas-jelas merupakan masa depan, harus dikorbankan?
Bila anaknya berlebih, mungkin tak bermasalah, tapi kalau pas-pasan? Aduuuuh
ini bagaimana ya?
Prof.
Talkiban pernah bercerita kepadaku. Cerita ini menggambarkan penyakit
materialistis pada orang-orangtua. Beginilah ceritanya.
Konon
ada sebuah keluarga yang mendapati anak perempuannya hamil di luar nikah.
Mereka marah besar sekali sampai kemudian pria yang menghamili anaknya itu
datang.
Pria
itu ternyata sudah berkeluarga tetapi mau bertanggung jawab. Dia bahkan
berjanji, bila anak yang dilahirkan itu perempuan, dia akan memberikannya rumah
mewah, mobil mewah, sebidang tanah yang luas, dan sejumlah perhiasan.
Bila
anak yang dilahirkan itu laki-laki, lebih hebat lagi. Dia akan memberikan salah
satu perkebunan, pesawahan, dan kapal nelayan besarnya. Jika keguguran, ya
sudah, semua itu tidak akan diberikan.
Lalu,
apa yang dikatakan mereka kepada anak perempuannya?
“Kalau
keguguran, usaha lagi ya untuk hamil, ya nak!!!” Hehehe…
***
Keadaan
seperti ini, menurutku sudah sangat merusak. Pantas saja pendidikan di desa Tegal
Grubug, menurut Prof. Talkiban akhirnya tidak berkembang dan semakin merosot
saja.
Anak
diberikan pendidikan di sekolah hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Kalau sudah
sekolah, maka harus bekerja dengan pendapatan yang sebanding pula. Makanya,
banyak yang dituntut atau disarankan untuk masuk sekolah yang mudah mencari
kerja saja.
Lihat
saja di kampus-kampus, jurusan apa yang paling berjubel mahasiswanya?! Pasti
ekonomi jurusan akuntansi. Coba jurusan antropologi, sejarah, bahasa, dan
filsafat. Berapa banyak orang tua yang rela anaknya mengambil jurusan itu? Nol.
Berapa
banyak juga kampus yang beriklan dengan menawarkan janji jaminan bisa cepat
dapat kerja? Sangat Banyak.
Nggak
penting ya, belajar ilmu-ilmu seperti itu?! Nggak bisa menghasilkan uang banyak
dan mendapatkan kerja yang layak? Memangnya sekolah itu apa?
Jangan
heran kalau kemudian banyak yang ingin segera lulus saja tanpa mempedulikan
kualitasnya. Yang dikejar hanya titel dan ijasah saja, sih !!
Lebih
parahnya lagi, sarjana hukum kerjanya sebagai debt collector. sarjana
pendidikan kerjanya di bank, sarjana pertanian kerjanya di asuransi. Kacau
balau. Kan ilmunya jadi mubadzir, lalu mengapa dia kerja bukan pada bidangnya,
kalo bukan materialistis. Hahhaha, udah jujur aja ngaku?
Menurut
pandanganku, masalah pendidikan, itu bukan saja soal materi. Dana pendidikan
untuk menyekolahkan anaknya dengan layak. Akan tetapi jauh lebih penting,
adalah soal pola pikir dan cara pandang.
Bayangkan,
untuk mengadakan pesta sunatan dan pesta pernikahan, kenapa bisa sampai
sedemikian mewah dan besarnya? Hiburannya mulai dari depok sampai biduan semok.
Sembelehannya mulai dari kambing sampai kebo guling. Nilainya dari puluhan juta
sampai ratusan juta, Kok bisa ya?
Kenapa
giliran untuk menyekolahkan anaknya tidak bisa? Bila jumlah uang yang
dikeluarkan untuk acara-acara tersebut ditabung untuk menyekolahkan anaknya
seharusnya bisa.
Kenapa
malah sekolahnya akhirnya berhenti lantaran tidak ada materi, lalu bekerja di
kota dan di luar negeri untuk menjadi Pembantu Rumah Tangga dan buruh? Ini
masalah keinginan jadinya kan?
Sudah
kacau balau dan sangat tak karuan pola pikir & cara pandang kita nih!
Pantas saja negara ini harus mengalami sedih, pahit, dan menderita seperti
sekarang ini.
Satu
hal saja, soal materialistis, masih banyak juga yang belum mau sadar ataupun
mengakuinya. Bila tidak sadar dan tidak mau mengakuinya, bagaimana bisa menjadi
lebih baik?
Sudah
jelas semua ini merusak, kenapa juga tidak mau ngaku? Takut, ya? Malu? Takut
dan malu jangan kepada manusia lainnya, takut dan malulah kepada Sang Pencipta!
Bisa
jadi banyak yang nekat dan bilang beran! Buktinya, karena materialistis, doa
dan surga pun dijual untuk mendapatkan materi. Tuhan, kebenaran, dan tuntunan
yang jelas-jelas adalah dari-Nya dan untuk semua, dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kepentingan pribadi.
Masa
untuk berdoa saja setiap orang harus membayar sampai Rp. 2 juta? Jaminannya apa
doa itu sampai? Memangnya kalau berdoa sendiri tidak sampai? Tidak bisa masuk
surga? Hebat betul! Siapa manusia, siapa Dia?
Seandainya
saja semua mau menjadi jujur dan rendah hati, pasti kehidupan kita menjadi
lebih baik lagi. Hanya dengan jujur dan rendah hatilah kita bisa belajar dan
terus belajar juga bisa mengenal apa dan siapa diri kita yang sebenarnya.
Semakin
kita tahu apa dan siapa kita, semakin juga kita dekat dengan-Nya. Diri kita pun
akan semakin penuh dengan cinta sehingga memiliki banyak cinta untuk selalu
diberikan juga kepada yang lainnya.
Tembung
pamungkas, tidak akan pernah berhenti mengutarakan ini semua meski mulut aku
sampai harus berbusa dan jemari linu-linu karena menulis.
Meski
mungkin tidak berarti dan bermanfaat secara langsung, tetapi tidak ada salahnya
kan? Berusaha! Soal bagaimana kemudian diterima atau tidaknya. Itu semua hanya
masalah pilihan. Yang tahu apa dan siapa diri sendiri, materialistis atau tidak
hanya diri sendiri juga yang bisa mengubahnya?
***
Sumber gambar :
http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/20131224_155829_warga-menghitung-uang-rupiah.jpg
http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/20131224_155829_warga-menghitung-uang-rupiah.jpg
Via
Opini
Posting Komentar