Indramayu
Pendahuluan
'Rumah Gribig' Rumah Khas Indramayu
Gambar 1. Rumah Gribig. Foto/Meneer Pangky |
Setiap daerah yang ada di wilayah
Indonesia memiliki konsep rumah adat masing-masing. Konsep rumah adat tersebut
sangat kental dengan tradisi dan kebiasaan masyarakat setempat. Demikian juga
dengan Indramayu, yang memiliki rumah gribig, arsitekturnya lahir dari kultur
bahari dan agrarinya.
Arsitektur Rumah Gribig
Rumah Gribig merupakan salah satu
kenekaragaman arsitektur rumah yang dimiliki Indonesia. Secara umum, arsitektur
rumah Gribig dipengaruhi oleh arsitektur luar, khususnya Belanda. Wajar karena rumah
gribig berkembang sejak masa penjajahan
Belanda di Indramayu.
Rumah Gribig awalnya terbuat dari kayu
dan bambu. Seiring perkembangan zaman, rumah gribig menggunakan tembok sebagai pondasinya. Ciri khas rumah gribig selalu menggunakan atap dari genteng, apapun
material rumahnya.
Rumah Gribig terdiri dari beberapa
ruangan. Ruangan yang ada dalam rumah Gribig tidak berbelit-belit, hanya dibagi lima ruangan. Ada ruang tamu yang disebut “Blandongan”, tak hanya blandongan yang bisa
digunakan sebagai ruang tamu.
Teras rumah yang disebut sebagai “Ambal”
juga kadang bisa disulap menjadi ruang keluarga dan ruang tamu. Intinya,
arsitektur dalam rumah gribig, mengedepankan keterbukaan dan fleksibel. Khas
watak dalam budaya agrari dan bahari. Nelayan dan petani itu orang yang sangat
tinggi jiwa sosialnya, sense of social.
Kemudian, ada ruang tidur yang terdiri
dari dua sampai tiga kamar, kamar tidur orang tua, anak laki-laki, dan anak
perempuan. Ruang tidur disebut juga “Kamer”. Lalu, apakah rumah gribig tidak memiliki ruang keluarga?
Ya, rumah gribig memiliki ruang keluarga, tetapi konsep ruang
keluarga dalam rumah gribig sangat flesksibel. Bisa di Blandongan, Ambal,
maupun di Gembol. “Gembol” itu jenis ruangan yang tidak wajib. Tidak semua
rumah gribig ada gembolnya. Posisi ruang gembol itu, biasanya ada di sebelah
kiri atau kanan rumah. Ruangannya kecil, semacem koridor.
Gambar 2. Rumah Gribig. Foto/Meneer Pangky |
Selain, Ambal, Blandongan, Kamer, dan
Gembol. Rumah-rumah gribig juga menyediakan satu ruang khusus yang digunakan
sebagai gudang. Istilahnya adalah Jobong. “Jobong” ini fungsinya mirip
gudang, sebagai ruang penyimpanan gabah, perkakas tani maupun perabotan rumah
tangga yang jarang dipakai.
Ruang terakhir adalah “Pedangan”.
Maksud pedangan disini bukan tempat bermain pedang, tapi ruangan yang
difungsikan sebagai dapur. Pedangan itu berasal dari kata “adang” yang
maknanya adalah memasak. Lalu, mendapatkan imbuhan pe-an menjadi pe-adang-an.
Pada rumah-rumah gribig yang dijumpai,
pedangan selain difungsikan sebagai dapur, juga merangkap menjadi kamar mandi
dan cuci-mencuci. Ada yang sumurnya langsung didalam rumah, ada yang diluar
rumah.
Selain beratapkan genteng, yang menjadi
ciri khas rumah gribig adalah memiliki pelataran rumah yang luas, sebagian besar ditanami dengan pohon mangga. Fungsi halaman
yang luas juga sebagai tempat menjemur padi jika musim panen. Selain genteng
dan halaman luas, ciri khas lainnya adalah jendela yang lebar dan terbuka. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya budaya
agrari dan bahari di Indramayu terhadap pendatang.
Ornamen Rumah Gribig
Rumah Gribig meskipun terkesan
sederhana dan terbuat dari bahan-bahan sederhana, memiliki ornamen khas.
Sebagai contoh, konsep rumah tradisional atau etniknya mengedepankan
elemen kayu dan bambu. Dari saka, lakaran, pengerat, usuk, dan reng semuanya menggunakan kayu. Sedangkan dinding rumah dari anyaman bambu, yang disebut juga dengan "gribig".
Gambar 3. Jendela Geometris-Simetris. Foto/Meneer Pangky |
Ornamen ukiran tradisi yang bisa
dilihat ada pada jendela, pintu, kusen, atau lubang angin, yang terpengaruh
oleh konsep-konsep Islam
dan
Belanda. Jendela dan pintu yang lebar itu terpengaruh oleh gaya
arsitektur Eropa yang dibawa oleh Belanda, baik art deco maupun art
nouveu. Sedangkan konsep simetris, baik dalam ornamen dan jumlahnya itu
terpengaruh oleh konsep-konsep Islam.
Arsitektur Islam memang mengedepankan
konsep simetris dan geometris yang mana konsep ini lahir atas dasar larangan
menggambar makhluk hidup yang bernyawa. Ajaran Islam memang melarang hal ini, namun
hal itu tidak menyurutkan ilmuwan-ilmuwan muslim untuk tidak berkreasi. Dari
larangan ini malah melahirkan warisan yang luar biasa indah dan adiluhung dalam
dunia seni. Konsep simetris, geometris, dan floral ini adalah seni yang tinggi
dan indah.
Gambar 4. Pintu Simetris. Foto/Meneer Pangky |
Keistimewaan rumah gribig tidak hanya
itu. Meski secara arsitektur banyak mengakomodasi gaya dari Islam dan Belanda.
Rumah gribig tetap tidak menghilangkan rasa Jawa-nya. Rumah gribig menggunakan
pilar empat sebagai saka guru rumahnya. Sebutan populernya adalah gaya
limasan. Karena bentuknya yang seperti limas jika dilihat dari jauh.
Gambar 5. Bentuk Limas. by madematika.com |
Komposisi warna juga berasal dari kombinasi Islam dan kultur Indramayu. Putih adalah lambang tertinggi spiritualisme dalam Islam. Maka tak heran pakaian ihram dalam ibadah haji menggunakan warna putih. Sedangkan warna "trolasin" begitu orang Indramayu menyebutnya adalah warna favorit masyarakat Indramayu. Nama trolasin adalah serapan dari bahasa Belanda yakni "turkoois".
Gambar 6. Telur Asin. by visitjawatengah.com |
Dalam bahasa Inggris disebut dengan "turquoise", yakni sebutan untuk warna hijau yang kebiruan. Mengapa warna ini begitu difavoritkan oleh masyarakat Indramayu? Ini disebabkan warna ini berasal dari "endog asin". Yang notabene menjadi lauk favorit mereka, telur asin adalah kuliner paling disukai orang Indramayu.
Selain itu, warna trolasin juga melambangkan kesuburan dan keseimbangan. perpaduan antara hijau dan biru. Karenanya, rumah gribig ini merupakan perpaduan yang sangat hebat dan indah. Antara arsitektur Jawa, Arab, dan Belanda.
Aturan Membangun Rumah
Ada beberapa pertimbangan yang dipakai,
di antaranya segi biaya, bahan material bangunan, lahan di mana rumah akan
dibangun, dan berbagai pertimbangan yang sifatnya mistik.
Untuk yang bersifat mistik, di beberapa wilayah, masyarakat Indramayu
memiliki aturan tersendiri jika membangun rumah berdasarkan pada Primbon. Banyak rumus yang
digunakan, bisa dengan balungan, panca telu, panca papat, panca lima, panca
pitu, panca sanga, maupun dengan panca rolas.
Selain harus dihitung dengan petungan
diatas. Ada juga semacam tradisi turun-temurun yang harus dipatuhi sebelum membangun rumah. Jangan
sekali-kali membangun rumah di atas lahan yang telah dikeramatkan atau lahan yang anyeb, jika terpaksa biasanya hal ini harus dilakukan dengan
ruwatan (dipunah dengan “kidung”).
Juga ada mitos, tidak boleh membangun rumah yang
posisinya berada di sisi kiri rumah orang tuanya. Masyarakat Indramayu memiliki
kepercayaan bila membangun rumah yang posisinya berada di sisi kiri rumah orang
tua, menyebabkan keluarga anaknya akan menderita sakit dan rezekinya tidak
lancar.
Gambar 7. Prosesi install Usunan-Susuhunan. Foto/Nang Sadewo |
Tidak hanya, mitos dan aturan petungan
diatas. Soal hari pertama membangun rumah dan mengangkat
suhunan-usunan-susunan, juga harus diperhitungkan dulu. Mencari hari baiknya.
Meski terlihat ribet, tapi demikianlah adanya. Orang Indramayu memang sangat
berhati-hati dan teliti untuk membangun istana keluarganya, tidak asal-asalan.
Setelah dirasa semuanya sudah siap
sedia, lalu dilakukanlah slametan, sebagai sarana permintaan do’a kepada
Allah, agar selama pembangunan tidak ada halangan berarti. Hal ini ditandai
dengan upacara
“puputan”. Bentuk acara puputan ini dengan melekan, sambil begadang berkumpullah semua anggota keluarga.
Dalam pertemuan ini, mereka bergotong royong untuk memberikan
bantuan sesuai kemampuannya. Dan ditutup dengan pembacaan doa. Dan disempurnakan
dengan makan bersama. Indah sekali bukan, keintiman dan rasa silaturahminya.
***
***
Via
Indramayu
Posting Komentar