Cerpen
Cerpen | Bokong Tepos dan Banci SC
Peristiwa
ini terjadi waktu masih sekolah di SMA 1 Indramayu. Saat itu habis ashar, aku
baru selesai ujian praktek semester di Sport Centre Indramayu, untuk
ujian lari keliling lapangan enam kali putaran.
Biasanya
aku bawa motor bututku, tapi dua hari yang lalu nasib naas menimpaku, pas baru
keluar pintu gerbang sekolah dari arah timur ada mobil elpiji dengan kecepatan
penuh menyenggol motorku.
Tak
nyana aku terpental sejauh dua meter di depan motorku, rem belakang dan persneling
motor bengkok. Motorpun kuparkir di bengkel langganan temanku, Bustami.
Gara-gara
hal ini juga aku sering diledek sama temen.
“Neer, dikelangi Nok
Elpi kah”.
“Elpi Sukesih dudu,
lamon Nok Elpi G mah musuh reang”.
Begitu emang becandanya orang
Indramayu. Coba bayangin, aku yang sedang kena musibah juga dijadikan lelucon.
Parah ya! Kadang yang dower bibirnya ya dipanggil si dower, yang pitak
kepalanya ya dipanggil si pitak, yang denggol kepalanya ya dipanggil si
denggol.
Tapi lucunya memang disitu, orang
yang dibecandain biasa-biasa saja. Bahkan yang bikin ketawa tuh, si dower, si
pitak, dan si denggol tadi nyaman dengan panggilannya itu. Heran kan! Hahhaha.
Karena
hal ini, terpaksa aku pulang naik elf bersama teman-teman.
Kebersamaan di elf membuat kami bisa diskusi berbagi cerita seputar kejadian di
sekolah.
Lagi
asyik-asyik ngomongin ujian semester, tiba-tiba perhatian kami terusik oleh
seorang banci yang naik ke atas elf. Semua mata penumpang pun tertuju oleh
penampilan manusia donat—duwure wadon esore sunat—ini.
Kenapa?
Karena penampilannya aneh banget. Aku suka heran kalo lagi melihat dandanan
banci. Buatku nggak ada pantes-pantesnya pake baju perempuan seperti yang
dikenakannya.
Walaupun
tingginya cuma sekitar 160-an cm, badannya kekar banget! Dia lebih pantes jadi
petinju daripada jadi perempuan. Baju atasnya you can see, model lekton
–keleke katon—lengannya berotot persis Ade Rai.
Roknya
mini banget padahal betisnya gede persis pemain sepakbola. Akibatnya pakaian
yang dikenakan bukannya bikin dia jadi feminin malahan jadi semakin macho.
Rambutnya
pake wig yang sama sekali nggak terpelihara. Acak-acakan banget. Di pundaknya
dia menyandang tas perempuan bergambar bunga-bunga beraneka wana, sedangkan di
jari-jari tangan kirinya terselip sebatang rokok dji sam soe yang sedang
menyala.
Raut
mukanya garang seperti preman yang siap berkelahi dengan siapa pun yang berani
menantangnya. Nggak ada pantes-pantesnya.
**
Banci
itu nggak dapet tempat duduk. Jadi dia berdiri memegang pegangan besi yang
memanjang sepanjang pintu atap elf. Setiap kali elf ngerem, banci itu memegang besi
dengan kuat supaya nggak jatuh.
Nah
yang bikin lucu, setiap kali elf ngerem, otot lengannya menegang dan membentuk dua
telor seperti yang dimiliki oleh para binaragawan. Temen-temenku ngakak tiap
kali ngeliat pemandangan itu.
Biasanya
kami sebel sama supir elf yang suka ngerem mendadak. Tapi sekarang justru
terhibur karena setiap kali elf ngerem, mata kami langsung tertuju ke dua telor
di lengan si banci. Jadi, saat itu kami selalu berharap supaya supir elf lebih
sering ngerem mendadak. Hahahhaa.
Lama-lama
si banci curiga kalo kami lagi ngetawain dia, beberapa kali dia menoleh pada
kami dengan tatapan mengerikan. Tentu saja nyali kami langsung ciut. Lalu
pura-pura ngeliat ke luar jendela seakan-akan kejadian lucu tadi ada di luar
elf.
Ngeliat
si banci ngerokok begitu nikmatnya, aku jadi pengen ngerokok. Sambil nyelipin
rokok di bibir, aku tanya ke temenku Bustami. Dia juga seorang perokok,
"Eeee ana
kerek bli, Bus?"
"Langka, Neer." sahut Bustami
sambil ngoprek-ngoprek isi kantongnya.
"Sira sih,
Dris, ana kerek?" Sekarang aku tanya ke Andris, temen aku yang satu
lagi.
"Pada langka,
kayane ketinggalan ning SC." jawab Andris.
Waduh!
Nggak bisa ngerokok nih. Mau nanya ke Juwandi pasti nggak ada, soalnya dia
emang nggak ngerokok. Lagi bingung-bingungnya nyari korek api tiba-tiba kami
mendengar suara-suara bentakan.
Serempak
kami menengok ke arah keributan itu. Rupanya banci tadi sedang bertengkar
dengan kernet elf. Semua mata penumpang tertuju pada yang sedang adu
mulut.
Pangkal
keributan adalah hal yang biasa terjadi di elf. Ya betul! Si banci menolak
membayar ongkos elf dengan alasan tujuannya sangat dekat. Sementara si kernet
nggak mau kalah, terus menagih ongkos pada penumpang nakal itu.
Karena
kernetnya juga takut pada penampilan si banci maka dia berdebat dengan suara
tetep halus.
"Maap
ya! Yayu. Wacaen kuh, ‘parek
Rp 500 perak’. Jadi Yayu tetep harus bayar."
Si
banci pun nggak kalah gertak. Dan lucunya, tahu nggak? Suaranya sama sekali
nggak ada perempuan-perempuannya. Nggak ada usaha sama sekali memiripkan suara
biar mirip perempuan. Aneh! Minat nggak sih jadi banci? Suaranya ngebas, macho
bahkan jauh lebih macho dari aku.
"Pokoke
ora arep bayar! Titik! Numpak sing Singaraja meng Prapatan Balongan bae, bayar
sih?"
katanya galak banget.
"Soale
kan buat kejar setoran, yu”. Sahut kernet dengan suara makin memelas.
Si
banci makin murka, dia nyedot rokoknya dalem-dalem lalu disemburkannya ke muka
kernet sambil membentak.
"Aja
akeh cocot, pengen tek pecah tah kaca elf-e. Pengeeeeen?".
Dengan
senyum kecut, si kernet pun mengalah. Dia meninggalkan lawannya lalu menagih
ongkos pada penumpang-panumpang lainnya.
“Neer,
nyulud ning banci bae, kan lagi ngudud." Tiba-tiba Juwandi memberi usul.
Temen-temen
aku pada ngakak denger ucapan Juwandi. Sinting tuh anak! Aku sebenernya juga
udah kepikir mau minjem api dari orang itu tapi gara-gara ngeliat dia galak
banget sama kernet, aku jadi gentar.
Ngeliat
aku ragu-ragu, Juwandi mencoba manas-manasin aku.
"Yen wani nyulud
udud ning banci, tek pai Rp. 20.000."
"Misale Rp. 50.000
ya reang wani, nrima tantangannira." Jawabku asal ceplos. Oooppss.
"OK
deal! Rp. 50.000,-“.
Di
luar dugaan Juwandi juga nekat dengan tantangannya. Sudah kadung basah,
akhirnya aku pun mendekati banci itu untuk meminta api. Tapi baru satu langkah
tiba-tiba Juwandi ngomong lagi.
"Eits! Engko
dingin, Neer. Ana maning sarate”.
"Waduh! Syarat
apamaning?".
Tanya aku langsung was-was.
"Neer, sira
nyulude aja ngundang ‘yayu’ tapi ngundange ‘mas’". Juwandi makin gila
aja dengan syaratnya.
"Edaaaaaaaaaaaaan!
bisa mati ditekek reang ning banci." Jawabku ciut.
"Pujare! Ora
wani ya perjanjiane batal”.
Sialan
nih Si Juwandi. Cuma gara-gara mau rokok aja, kok jadi ribet gini ya? Daripada
berantem sama banci lebih baik berantem sama preman. Emang pasti kalah sih tapi
karena lawannya preman masih ada harga diri kan?
Nah,
kalo berantem sama banci sekekar dan segalak itu? Udah pasti babak belur terus
anak-anak sekolah pada tanya lagi. Ngledekin lagi.
“Kenapa
Neer, raine pada babak belur mengkonon?”.
Masa
aku harus jawab, kemaren sore digebukin banci di elf. Tobaaaaaaat, ampun! Malu-maluin banget.
Menang malu, kalah apalagi dong? Serba salah dan serba kagok.
"Cemeeeeeeeen
temen, Neer”. Juwandi mula meledek aku.
"Iyaaaa ...
cemen temen, Neer. Wong Tugu kecing”. Samber yang lain manas-manasin.
Wongedan! Nggak terima aku
dibilang cemen. Apalagi penumpang di samping ternyata menyimak semua
pembicaraan kami. Mereka semua tersenyum-senyum geli ngeliat situasi aku yang
terpojok.
Yang
lebih nyebelin ada seorang bapak-bapak pake peci dengan dandanan persis orang
mau ke mesjid ikut-ikutan ngomong.
"Ayo
sih dek, coba. Kalo adek berani bapak tambahin Rp. 10.000 lagi”.
Darah
aku langsung mendidih dipanasin sama bapak tadi. Sambil menyelipkan rokok di bibir, aku
bangun dari jok dan berjalan ke arah pintu elf. Dimana banci berdiri. Masih
sempet aku denger suara Juwandi berkata dari jok paling belakang.
“Ngundang
‘mas’ sing anteng, Neer. Yen ora perjanjian batal”.
Sesampainya
di dekat si banci jantung aku makin berdegup. Dengkul aku mulai gemetar. Aduh
gimana nih? Terusin nggak? Balik lagi nggak? Kalo balik lagi aku pasti
diledekin pengecut sama bocah-bocah di belakang.
Di
sela-sela kebingungan itu, si banci masih menatap aku dengan sinar mata tajam.
Bibirnya yang berlapiskan lipstik yang udah pecah-pecah kekeringan itu membuat
wajahnya semakin sangar.
Sejenak
kami cuma saling pandang aja dalam jarak dekat. Untuk mengakhiri situasi yang nggak nyaman ini akhirnya aku nekat. Dengan senyum lebar dan suara ramah aku
menyapanya.
"Mas,
melu nyulude sih?”.
Banci
itu diem aja. Matanya terus memandang dengan tajam. Budeg kali dia ya? pikir
aku. OK, supaya kedengeran, coba aku ulang dengan suara jauh lebih keras.
"Maaaaaaaaaas,
melu nyulude, olih bli?”.
Kali
ini si banci memberi reaksi. Tangannya yang memegang rokok dengan sangat
perlahan terangkat dan menyodorkan apinya ke ujung rokok yang ada di bibir aku.
Keliatannya
dia nggak mengijinkan aku memegang rokoknya, jadi aku cuma nyedot langsung dari
tangannya. Sembari menyedot, aku ngeliat dia masih menatap dengan paras yang
sulit ditebak. Setelah rokok aku menyala, aku tesenyum padanya sambil
mengucapkan.
"Kesuwun
ya mas”.
Si
banci masih nggak mengeluarkan sepatah kata. Dia membuang rokoknya ke lantai
lalu dengan ganas dia menginjak-nginjaknya. Belum sempat aku meninggalkan
tempat itu, tiba-tiba kedua tangannya secepat kilat bergerak seperti hendak
menyerang.
Aku
yang terkejut bukan main nggak sempet melakukan gerakan apapun. Tanpa bisa
mengelak lagi kedua tangannya mendarat di wajah lalu mencubit pipi aku sambil
berteriak dengan suara manja.
"Iiiiiiih
BADEG ... BADEG !!! BADEEEEEEEEEEEEEEEEEG!".
"Aduh ampun mas, maap mas”.
Teriak aku ketakutan.
Sebenernya
kedua pipi aku nggak sakit sih karena dia nyubitnya sama sekali nggak pake
tenaga. Tapi suasana yang menyeramkan itulah yang bikin aku teriak-teriak
kepanikan.
"Iiiiiiih
BADEG ... BADEG !!! BADEEEEEEEEEEEEEEEEEG!. Sini tak cubit biar kamu kapok”.
Kembali
banci itu dengan gemesnya menghujani cubitan ke pipiku secara bertubi-tubi.
"Aduuuuuuuh...
reang badeg priwen?". Tanya aku makin panik.
Mendengar
pertanyaan itu, si banci melepaskan cubitannya. Lalu dengan muka genit bukan main
dia berkacak pinggang dan berpose bak seorang pragawati sambil berkata.
"Delengen sih
awak eike sing molek, semok, rai ayu kayang kenen, delengen?".
"Iya
u..u..uwiiissssss...". Jawab aku terbata-bata.
"Ayu bli? Ayo
jawab jujur!".
Nah,
coba! Aku bingung dong jawabnya. Mau bilang jelek ntar dia marah, kalo bilang
cantik jadinya bohong. Padahal orangtuaku mendidik untuk jangan bohong. Bohong juga kan nggak sesuai dengan nasehat guru ngajiku.
"Ayu bli?”. Hardiknya dengan
suara manja campur judes.
"Eeeeee iya...iya...ayu!
ayu pisan malah...". Jawab aku kepepet.
"Ayu endi karo
Dewi Kirana?".
"Oooh Dewi
Kirana mah lewat!". Sahut aku cari jawaban aman.
Padahal dalam hati aku, jangankan
Dewi Kirana, Dewi Jatibarang bae luih ayu sing sira.
"Nah! Misal
wis weruh eike ayu masa ngundange 'mas'? Badeg ihh. Ngundange yayu atawa mbak bae sih?". Protesnya dengan
suara nggerem.
"Oh iya aku salah. Maap ya mas”.
Kata aku bingung mau ngomong apa.
"Loh kok 'mas' lagi? Sengaja
ya? Ngeledek ya?".
Abis
ngomong begitu kedua tangannya kembali nyubit pipi aku dengan gemesnya sambil
berteriak-teriak manja.
"Iiiiiiiih
BADEG ... BADEG! BADEEEEEEEEEEEEEEEEEG!".
"Caaaahh....Toloooooooooooooongen
cah!”.
Akhirnya
dengan susah payah aku berhasil membebaskan diri dari hujan cubitan dan berlari
ke arah temen-temen aku yang ada di belakang. Sayangnya, baru dua langkah
tiba-tiba sebuah tangan yang kekar telah melingkari pinggang aku.
Penderitaan
nggak berhenti sampai di situ, tapi masih ada. Si banci tangannya malah meremas bokongku juga, berkali-kali.
"Caaaaahhh....Toloooooooong!
Wooooy tolongana reang sih”. Jerit aku pada temen-temen yang cuma cekikikan
ngeliat aku jadi korban pelecehan seksual si banci.
"Aduuh...Booook! Tepos amat nih
bokong si yayang?". Kata Si banci masih terus meremas pantat aku.
Sialan,
koplok kuh!
Aku tersinggung banget. Masa dibilang tepos? Badan aku emang kurus tapi pantat
aku nggak tepos-tepos amat. Apalagi kalo lagi tengkurap dalam keadaan
telanjang, masih keliatan bundar dan mentul. Kalo ketutupan celana emang
keliatan rada tepos sih. Hehehe.
Merasa
sudah cukup dianiaya oleh banci itu, aku pun bertindak. Dengan sekuat tenaga,
aku pelintir tangannya dan alhamdulillah berhasil. Tanpa menunggu lagi aku
langsung kabur dan bersembunyi di balik tubuh ketiga temen aku.
"Idiiih...Si
bokong tepos arepan mendi?". Pekiknya dengan suara gemes banget. Untungnya
dia nggak mengejar dan tetep di posisi semula.
Bukan
hanya temenku, tapi seluruh penumpang pada ketawa. Melihat peristiwa konyol
itu. Semuanya terhibur dan ngakak seperti lagi nonton bodor sandiwara.
Lembaran hitam yang sangat mencoreng program pencitraan aku. Hehehehe..., tapi nggak
apa-apalah. Yang penting kan dapet Rp. 50.000 dari Juwandi sebagai obatnya.
Alhamdulillah, Juwandi menepati janjinya. Dia langsung memasukkan duit ke kantong celana aku.
Buat aku Rp. 50.000 itu uang yang banyak. Bandingkan dengan iuran SPP di SMA 1
Indramayu yang hanya Rp. 40.000, waktu itu.
Nggak
lama kemudian elf berhenti. Si banci turun. Untungnya dia nggak berminat
gangguin aku lagi. Sambil berjalan turun dari elf, dia mengedipkan matanya
dengan ganjen. Aku pun membalas dengan seutas senyum.
Godaan Si Banci. Sumber : Ahong |
"Eike pergi
dulu ya? Jaga diri baik-baik ya bokong tepos."
"Emang mau ke
mana yayu cantik?".
Tanya aku iseng.
"Eike mau
latian, biasa manggul pari. Dadaaah bokong tepos. Muaaach...!".
Sebelum
turun sempet-sempetnya dia ngasih zoen jauh buat aku. Hehehehe...., semua
orang ngakak lagi. Di deket pintu elf, si banci ngeliat kernet masih
senyum-senyum kegelian. Dan di luar dugaan si banci ngebentak dia lagi.
"Apa
sirane cengengesan? Reang jotos, siraaaa modaaaaaaar!"
Si
Kernet langsung mingkem. Nyalinya ciut lagi. Aku heran. Kenapa ya pas lagi
ngebentak si kernet, banci itu suaranya berubah jadi cowok. Tanpa ada kesan
genit sedikit pun. Tapi, pas sama aku tiba-tiba jadi genit, manja dan suaranya
diperempuan-perempuanin? Aneh banget!
Aku
juga harus turun, tapi biarlah nunggu si banci pergi dulu. Aku siap bergegas
untuk turun. Elf lumayan lama berhenti karena nunggu penumpang dari angkot 08,
sekonyong-konyong seseorang menggamit lengan aku. Waktu aku tengok ternyata si bapak
yang pake peci tadi.
"Dek,
ini Rp. 10.000, sesuai janji bapak tadi. Hehehe ...”. Katanya
seraya menyelipkan uang ke tangan aku dengan bibir tersenyum simpul.
Aku
sampe bengong! Nggak nyangka si bapak serius sama omongannya. Tapi aku nggak
sempet jawab apa-apa. Sambil mengangguk ke arah si bapak aku lompat ke luar
elf.
"Ati-ati
ya bokong tepos!". Si bapak berteriak sambil ngakak.
Koplooooooook
... ! Dalam hati.
***
Via
Cerpen
Posting Komentar