Opini
Fenomena Begal Motor, Dooooooooor!
Begal yang tertangkap di Segeran Lor, pada tanggal 18 November 2015. Sumber : Azun Mauzun |
Sebuah
postingan di beranda pesbukku membuat bulu kuduk merinding. Ada sedih ada
kesal. Postingan itu berisi foto berikut berita dari netizen Indramayu mengenai
korban pembegalan yang baru saja terjadi di Sport Center (SC).
Ada
dua pertanyaan besar yang datang memenuhi otakku. Pertama, kenapa masih saja
ada oknum yang semakin memperkeruh suasana dengan menyebarkan berita begitu?
Mau bikin orang takut dan panik?
Kedua,
ada apa dengan para pelaku begal? Kok, rasanya makin diekspos malah makin ingin
eksis?
Istilah Begal
Jika
kita mengacu pada KBBI, arti kata begal adalah :
begal/be·gal/
/bégal/ n penyamun;
membegal/mem·be·gal/ v merampas di jalan;
menyamun;
pembegalan/pem·be·gal·an/ n proses, cara,
perbuatan membegal; perampasan di jalan; penyamunan: - sering terjadi
sehingga penduduk di daerah itu tidak berani memakai perhiasan kalau bepergian.
Sedangkan
menurut England and West of Theft Act, seseorang dinyatakan melakukan
pembegalan ketika ia melakukan pencurian atau perampasan dengan paksaan, demi
membuat korban tersebut takut.
Louise
E. Porter bahkan pernah melakukan kajian tersendiri soal “roberry” yakni
kata kunci yang sebangun dengan pembegalan. Ia menambahkan, bahwa begal itu
bisa ditujukan untuk mendapatkan barang komersil (biasanya lebih terencana dan
dalam jumlah besar) serta bisa pula untuk barang personal.
Lebih
lanjut Porter juga menyatat, pelaku begal yang tujuannya untuk barang personal
cenderung lebih ‘kejam’ atau hostile. Secara pribadi, aku lebih tertarik untuk
membahas pembegalan jenis kedua, lantaran pembegalan jenis kedua mirip dengan
kejadian begal amatir yang sedang terjadi di Indonesia.
Motif-motif Begal
Untuk
mendukung jurnal ilmiahnya, bahkan Porter dan Alison sempat membuat penelitian
yang mengungkap bahwa perilaku begal cenderung menunjukkan pola perilaku yang
bisa tergambarkan dalam empat dimensi.
Apa
saja dimensinya? Menurut Porter dan Alison dimensinya itu berupa, Dominance vs Submission serta Cooperation vs Hostility. Pelaku dengan pola
pertama, yakni dominance akan membuat korbannya benar-benar tidak
berdaya, seperti dengan cara mengikat korbannya.
Sedangkan
pelaku dengan tipe submission adalah orang-orang yang korbannya masih
bisa memberontak. Kalau sering menyaksikan film pembegalan di bank-bank besar,
itu termasuk dalam kategori perilaku tipe cooperation. Pelaku biasanya
menggunakan pistol untuk mengancam dan secara tidak langsung menyuruh korban
‘bekerja sama’ untuk kemauannya.
Yang
terakhir adalah tipe hostility, pelaku akan melakukan apapun demi
meluncurkan niat buruknya, misalnya dengan melukai bahkan membunuh korbannya.
Melihat
penjelasan dari hasil penelitian Porter dan Alison, bisa terlihat motif apa
dibalik pelaku begal dalam melakukakn aksinya. Setiap pelaku ternyata
motif-motifnya berbeda dan bervariasi.
Jika
ditelisik dalam sudut pandang bidang Psikologi Forensik, bahkan akan lebih
banyak lagi penelusuran atas perilaku kriminal seseorang. Bisa dari latar
belakang sosialnya, kepribadiannya, masa kecilnya dan lain sebagainya.
Dari paparan Porter, ada yang menarik dari perilaku dan motif pelaku begal yang ia teliti. Ada temuan bahwa tidak semua motif begal adalah lantaran soal ekonomi.
Dari paparan Porter, ada yang menarik dari perilaku dan motif pelaku begal yang ia teliti. Ada temuan bahwa tidak semua motif begal adalah lantaran soal ekonomi.
Motif 'Anyar' Pembegalan
Salah
satunya, street culture penyebabnya. Porter mengemukakan bahwa pelaku begal
bisa saja terinspirasi karena adanya fenomena sosial tersebut. Street culture
adalah pola hidup penuh dengan hal yang berbau “wow”, excitement, hedonism, dan
rendahnya tanggung jawab dan pemikiran ke masa depan. Biasanya hal ini
menyerang remaja.
Iklan Layanan Masyarakat Polsek Juntinyuat, Indramayu. Waspada Begal Motor! |
Fakta
itu didukung oleh temuan Brookman & Bennett. Dari hasil penelitiannya,
rupanya beberapa pelaku begal mengakui kalau tujuan utama perilakunya bukanlah
untuk mendapatkan uang, melainkan untuk bisa berkelahi dengan korbannya. Jadi,
ketika mereka mendapati korbannya justru pasif dan tidak melawan, bagi mereka
itu adalah kegagalan.
Langka
urus,
begitu istilah orang Indramayu menyebut perilaku anak muda yang tidak bisa
diatur. Semakin dilawan maka semakin menjadi-jadi. Tapi beda loh, dengan
tua-tua keladi. Itu sih namanya berag tua.
Pergeseran Nilai
Coba
kita pikir sejenak! Dari paparan penelitian dan teori ditas. Aku malah
kepikiran maraknya kejadian begal ini penyebabnya adalah ‘street culture’ tadi.
Salah satu budaya yang belakangan sedang tersorot media.
Semakin kesorot dan mengundang perhatian, semakin meningkatkan kadar excitement para pelakunya. Parahnya nih, sejalan dengan meningkatkannya kadar tadi berbarengan dengan menurunnya kadar tanggung jawab mereka? Tobaaaaaaaaat ampun!
Semakin kesorot dan mengundang perhatian, semakin meningkatkan kadar excitement para pelakunya. Parahnya nih, sejalan dengan meningkatkannya kadar tadi berbarengan dengan menurunnya kadar tanggung jawab mereka? Tobaaaaaaaaat ampun!
Yang
pasti, bahwa setiap pelaku kriminalitas, termasuk didalamnya begal. Tidak hanya
dilatarbelakangi oleh satu motif. Hal ini bisa saja dikarenakan menurunnya
pengasawasan sosial di lingkungan kita.
Harus
diakui bahwa kita saat ini tengah terjadi pergeseran nilai. Lingkungan kita
semakin tidak ramah, karena nilai individualistik masyarakat tinggi.
Orang
tidak perlu berpikir kepentingan orang lain dan yang penting diri sendiri ‘fun’
dan puas tanpa mempertimbangkan sesama, orang tidak lagi ”mengawasi” dan peduli
terhadap orang lain hingga seolah-olah hidup ini hanya untuk kepentingan dan
kepuasan diri sendiri semata-mata.
Lucunya, meski pangawasan sosial menurun kalo pengawasan janda meningkat? Hihiihihiihihi.
***
Meneer
Panqi
Penulis,
pemerhati budaya, konsultan media kreatif. Founder ME Trip. Banyak bekerjasama
dalam dunia design, branding dan media sosial.
Via
Opini
Posting Komentar