Opini
Islam dan Budaya Saling Mencela
The Battle of Shiffin. Sumber : www.commdiginews.com |
Masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, banyak sekali terjadi fitnah.
Fitnah itu seharusnya menjadi pelajaran bagi kita umat Islam untuk mengambil
hikmah dalam menjaga persatuan umat ini. Ditengah egoisme kepentingan kelompok
maupun pribadi.
Berbeda
dengan tiga khalifah sebelumnya yang mendapat suara bulat dari Dewan Syura’.
Naiknya Ali bin Abi Thalib tidak dengan suara utuh, bahkan di dalam kota
Madinah sekalipun.
Tuntutan
Aisyah dalam perang Jamal adalah ketegasan Ali dalam menghukum kaum pemberontak
yang telah membunuh Khalifah Utsman, sedangkan bukti maupun terdakwa tentang
siapa pelakunya sangat sedikit.
Posisi
Ali ketika itu juga sedang dikepung oleh banyaknya kaum munafik, hal ini bisa
dimaklumi karena banyak sahabat yang meninggalkan Madinah setelah Rasulullah
meninggal. Baik yang mati syahid ataupun menetap di daerah baru untuk
meneruskan penyebaran syiar Islam.
Maksud
Ali menunda mahkamah atas pembunuh Khalifah Utsman adalah untuk menghindari
perpecahan antara golongan Anshor dan Muhajirin di Madinah. Bahkan demi
terlaksananya mahkamah ini, Ali memindahkan pemerintahan ke tempat netral, Kota
Kufah. Demi menghindari pengaruh kaum munafik.
Pawai
Militer
Pawai
militer yang dilakukan oleh Muawiyah dengan 20.000 prajurit adalah untuk
memberikan dukungan moral bagi Khalifah Ali, dimana kondisi politik tidak
stabil, siaga satu. Hal itu dimaksudkan untuk berjaga-jaga jika mahkamah
pembunuhan Khalifah Ustman sedang berlangsung.
Muawiyah
ingin memberikan dukungan moral dan menjaga independensi keputusan Ali terkait
akan digelarnya mahkamah atas pembunuhan Khalifah Ustman. Tapi isu yang
dihembuskan oleh kaum munafik yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’, bahwa
Muawiyah bermaksud ingin kudeta dan menggulingkan pemerintahan yang sah.
Abdullah
bin Saba’ kemudian mendorong Ali bin Abi Thalib untuk keluar dan membatalkan
mahkamah tersebut. Mereka mengatakan bahwa pasukan yang datang menuju Madinah
itu pemberontak, mereka ingin kudeta.
Khalifah
Ali sebenarnya lebih suka menyambut pawai pasukan dari Damaskus sebagai tamu.
Karena dia tahu benar, bahwa Muawiyah bukanlah sosok pemberontak, dan pasti ada
maksud baik dari kedatanganya. Sebagaimana pujian Khalifah Ali ketika ditanya
tentang sosok Muawiyah.
“Bahwa
Muawiyah adalah orang yang paling baik adabnya diantara kami”.
Namun,
keadaan semakin genting dan tak terkontrol. Salah satu Panglima Khalifah Ali
yang berasal dari kaum munafik malah memulai pertempuran, hingga pecahlah
Perang Shiffin.
Perang
Shiffin, berlokasi di Suriah sekarang. Dikenal sebagai salah satu sejarah kelam
umat Islam. Sedikitnya 80 ribu umat muslim menjadi korban dalam perang saudara
itu.
Perang
yang terjadi selama 3 hari, sejak tanggal 26-28 Juli 657 Masehi. Dalam perang
tersebut Muawiyah mengerahkan sekitar 120.000 pasukan—ada yang menyebut 85.000
orang. Sementara dari kubu Khalifah Ali menerjunkan 90.000 tentara—ada yang
menyebut 95.000 tentara.
Korban
perang dari kedua kubu sekitar 80.000 ribu orang. 45.000 orang dari kubu
Muawiyah dan 35.000 dari kubu Khalifah Ali. Korban perang semuanya muslim
sejati, bukan Islam KTP.
Pertempuran
yang menyebabkan puluhan ribu umat Islam itu berakhir imbang sehingga membuat
kedua kubu berunding dan kemudian berdamai. Sayangnya upaya perdamaian
dilakukan setelah banyak umat muslim tewas.
Perdamaian
via Arbitrase/Tahkim
Amr
bin Ash, salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang ahli strategi perang dan
politik. Keahliannya ini bahkan dikagumi oleh orang-orang Romawi. Akhirnya bisa
membaca, bahwa perang ini adalah buah provokasi
kaum munafik.
Terutama
setelah sahabat Amar bin Yasir meninggal dalam pertempuran. Tewasnya beliau
memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya
Rasulullah SAW. telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali
terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin.
Oleh
karenanya, Amr bin Ash berijtihad dengan menyuruh seorang prajurit untuk
menombak al-Qur’an dan mengangkatnya untuk bisa menghentikan perang, melakukan
evaluasi sekaligus mengidentifikasi mana yang mukmin asli dan mana kaum
munafik.
Kaum
munafik pasti menginginkan perang terus berlangsung, sedang orang mukmin pasti
meletakkan senjata menunggu ijtihad para ulama dan umara’ sesuai al-Qur’an.
Selama
proses arbitrase atau tahkim antara sahabat terkemuka Nabi Muhammad inilah kebenaran nyata
akan orang mu’min sejati dan kaum munafik tersibak. Orang mukmin meletakkan
senjatanya dengan ikhlas, terutama kubu pihak Ali bin Abi Thalib. Orang mukmin
di pihak Ali jelas menanggalkan egoisme pribadi, dengan suka rela meletakkan
senjata, padahal kemenangan mereka sudah nyata di depan mata.
Sedang
orang munafik, mereka tetap tidak mau meletakkan senjata. Terus membujuk
Khalifah Ali untuk melanjutkkan perang, karena kemenangan tinggal selangkah
lagi. Bujuk rayu itu tidak ditanggapi oleh Khalifah Ali.
Beliau
adalah sosok negarawan yang lebih mengutamakan kepentingan umat dan persatuan
umat. Untuk apa sebuah kemenangan, tapi persatuan dan kesatuan umat terkoyak?
Hasil dari tahkim/arbitrase yang dilakukan oleh 'Amr bin Ash (delegasi Muawiyah) dan Musa al-Asy'ari (delegasi Ali bin Abi Thalib) berisi, bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya, dan tidak boleh lagi ada pertempuran.
Hasil dari tahkim/arbitrase yang dilakukan oleh 'Amr bin Ash (delegasi Muawiyah) dan Musa al-Asy'ari (delegasi Ali bin Abi Thalib) berisi, bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya, dan tidak boleh lagi ada pertempuran.
**
Hingga
saat ini, peristiwa ini masih menjadi kontroversi besar dikalangan umat Islam.
Selain perang Shiffin, perang Jamal juga terjadi antara sesama muslim. Di
perang ini, Siti Aisyah—istri Rasulullah—berperang melawan kubu Khalifah Ali sebagai kepala
pemerintahan yang sah. Korbannya belasan ribu umat muslim.
Bayangkan,
sahabat nabi yang pernah bertemu dan mencium tangan Rasulullah yang mulia saja
bisa berperang "hanya" karena perbedaan pendapat soal politik
kekuasaan.
Maka,
ketika sebagian ulama zaman sekarang, beda pendapat baik masalah agama,
perbedaan metode dakwah, atau masalah politik, paling-paling cuma saling
sindir, saling cela, menghujat dan merasa paling benar sendiri.
Kita
patut bersyukur karena para ulama tersebut cuma mengajarkan cara mencela,
menyindir, dan menghina sesama ulama lain yang tidak sependapat.
Yang
patut diapresiasi dan diacungi jempol, ternyata mereka tidak mengajarkan cara
berperang. Jadi, tradisi mencela dan saling cela yang diajarkan sebagian ulama
populer di Indonesia itu sebenarnya sangat bagus. Terutama untuk persatuan umat
Muslim di Indonesia.
Lantas,
mari yuk budayakan saling mencela!
***
Meneer
Panqi
Penulis,
pemerhati budaya dan konsultan media kreatif. Founder ME Trip. Banyak
bekerjasama dalam dunia design, branding dan media sosial.
Via
Opini
Posting Komentar