Tokoh
Kang Tarka begitulah panggilan akrabnya. Kang adalah kependekan dari kata kakang, sebuah panggilan kehormatan di Indramayu, bagi mereka yang dianggap tokoh dan dituakan oleh masyarakat. Dikarenakan umur yang lebih tua atau memang memiliki keilmuan yang lebih tinggi.
Jika bicara naskah kuno tentu tak bisa dilewatkan begitu saja kiprah seorang Ki Tarka Sutarahardja dalam dunia filologi. Meskipun seorang otodidak, sudah ratusan naskah kuno ia terjemahkan. Produktivitasnya bisa jadi malah mengalahkan filolog dari kalangan akademis.
Baginya naskah kuno itu mempesona dan menggairahkan, jiwanya tertantang dan tergugah untuk mempelajarinya. Bagi seorang Kang Tarka, naskah kuno itu adalah ladang kehidupan dan ladang ilmu. Sungguh ia telah tertambat hatinya dengan apa yang tersaji di dalam naskah kuno, yang kaya akan tabir budaya masa lalu itu.
Rasa penasarannya itu dimulai pada tahun 1995, saat Kang Tarka dipasrahi naskah kuno Cerita Panji Inu Kertapati dari kerabat dekatnya. Naskah itu berasal dari Wa’ Masjaya, salah satu keturunan Ki Buyut Marsidem, salah satu pendiri Desa Cikedung.
Melihat naskah tersebut menggunakan aksara Jawa, Kang Tarka terkejut. Terusik rasa penasarannya. Sejak itulah ia tergugah untuk mempelajari naskah yang bertuliskan akasara Jawa tersebut. Dikarenakan ada kesulitan dalam upaya menerjemahkan naskahnya, Kang Tarka pun dipandu bermodalkan sebuah buku panduan “Pakem Cacarakan”, terbitan tahun 1991 Yogyakarta.
Setelah dianggap mampu menulis dan membaca aksara Jawa hasil belajar dengan buku Pakem Cacarakan itu. Iapun langsung mencobanya, sedikit demi sedikit naskah kuno tersebut mulai diejanya. Namun, apa yang diharapkannya tak sesuai dengan kenyataan. Tak satupun isi naskah tersebut yang bisa dibaca.
Dalam pikiran gamang dan putus semangat, pada suatu waktu ia jadi teringat pada kakeknya. Kakeknya adalah pensiunan Kepala SR—sekolah rakyat—salah satunya adalah SR di Paoman pada tahun 1960’an. Rumah dinasnya adalah di Gang Telepon Indramayu.
Selain pensiunan guru, kakeknya juga seorang veteran. Ia pernah meninggalkan tugas guru SR demi aktif ikut perang gerilya dengan M.A. Sentot. Nama kakeknya itu Sutarahardja. Suatu waktu dibawalah naskah tersebut dihadapan kakeknya. Ia yakin kakeknya bisa mengajarinya, membaca naskah tersebut.
Tentu, melihat cucunya punya kepedulian pada naskah akasara Jawa. Ki Sutarahardja merasa senang sekali. Detik itu juga Ki Sutarahardja langsung memulai pelajarannya. Dengan sabar kakeknya memberikan pelajaran-pelajarannya. Ternyata, bagi Kang Tarka susah juga ya, tak mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Naskah kuno itu tetap saja susah untuk bisa dibaca. Meski sudah dikursus selama dua jam. Dalam kesulitan tersebut, Kang Tarka tak kehilangan akal, ia pun memohon kepada kakeknya untuk menuliskan terjemahannya. Untuk sementara ini, ia pun angkat tangan. Lalu, daripada pusing ia pun memohon manja untuk diceritakan kisah perjuangannya dulu sewaktu jadi pasukan setan M.A. Sentot.
Sepulangnya, dari rumah kakeknya di Pamanukan, Subang. Setiap hari Kang Tarka selalu membolak-balik hasil alih aksara kakeknya. Karena sebelumnya sudah memahami karakter cacarakan akem anyar, maka setengah bulan kemudian naskah kuno itu mulai sedikit terbaca.
Biografi | Kisah Tarka Sutarahardja dan Naskah Kuno
Ki Tarka Sutarahardja (1970-2021). Foto/Suta Wijaya |
Jika bicara naskah kuno tentu tak bisa dilewatkan begitu saja kiprah seorang Ki Tarka Sutarahardja dalam dunia filologi. Meskipun seorang otodidak, sudah ratusan naskah kuno ia terjemahkan. Produktivitasnya bisa jadi malah mengalahkan filolog dari kalangan akademis.
Baginya naskah kuno itu mempesona dan menggairahkan, jiwanya tertantang dan tergugah untuk mempelajarinya. Bagi seorang Kang Tarka, naskah kuno itu adalah ladang kehidupan dan ladang ilmu. Sungguh ia telah tertambat hatinya dengan apa yang tersaji di dalam naskah kuno, yang kaya akan tabir budaya masa lalu itu.
Rasa penasarannya itu dimulai pada tahun 1995, saat Kang Tarka dipasrahi naskah kuno Cerita Panji Inu Kertapati dari kerabat dekatnya. Naskah itu berasal dari Wa’ Masjaya, salah satu keturunan Ki Buyut Marsidem, salah satu pendiri Desa Cikedung.
Melihat naskah tersebut menggunakan aksara Jawa, Kang Tarka terkejut. Terusik rasa penasarannya. Sejak itulah ia tergugah untuk mempelajari naskah yang bertuliskan akasara Jawa tersebut. Dikarenakan ada kesulitan dalam upaya menerjemahkan naskahnya, Kang Tarka pun dipandu bermodalkan sebuah buku panduan “Pakem Cacarakan”, terbitan tahun 1991 Yogyakarta.
Setelah dianggap mampu menulis dan membaca aksara Jawa hasil belajar dengan buku Pakem Cacarakan itu. Iapun langsung mencobanya, sedikit demi sedikit naskah kuno tersebut mulai diejanya. Namun, apa yang diharapkannya tak sesuai dengan kenyataan. Tak satupun isi naskah tersebut yang bisa dibaca.
Dalam pikiran gamang dan putus semangat, pada suatu waktu ia jadi teringat pada kakeknya. Kakeknya adalah pensiunan Kepala SR—sekolah rakyat—salah satunya adalah SR di Paoman pada tahun 1960’an. Rumah dinasnya adalah di Gang Telepon Indramayu.
Selain pensiunan guru, kakeknya juga seorang veteran. Ia pernah meninggalkan tugas guru SR demi aktif ikut perang gerilya dengan M.A. Sentot. Nama kakeknya itu Sutarahardja. Suatu waktu dibawalah naskah tersebut dihadapan kakeknya. Ia yakin kakeknya bisa mengajarinya, membaca naskah tersebut.
Tentu, melihat cucunya punya kepedulian pada naskah akasara Jawa. Ki Sutarahardja merasa senang sekali. Detik itu juga Ki Sutarahardja langsung memulai pelajarannya. Dengan sabar kakeknya memberikan pelajaran-pelajarannya. Ternyata, bagi Kang Tarka susah juga ya, tak mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Naskah kuno itu tetap saja susah untuk bisa dibaca. Meski sudah dikursus selama dua jam. Dalam kesulitan tersebut, Kang Tarka tak kehilangan akal, ia pun memohon kepada kakeknya untuk menuliskan terjemahannya. Untuk sementara ini, ia pun angkat tangan. Lalu, daripada pusing ia pun memohon manja untuk diceritakan kisah perjuangannya dulu sewaktu jadi pasukan setan M.A. Sentot.
Sepulangnya, dari rumah kakeknya di Pamanukan, Subang. Setiap hari Kang Tarka selalu membolak-balik hasil alih aksara kakeknya. Karena sebelumnya sudah memahami karakter cacarakan akem anyar, maka setengah bulan kemudian naskah kuno itu mulai sedikit terbaca.
Persoalannya adalah karena minimnya kosakata perbendaharaan yang dikuasai dan dipahami. Bahasanya masih asing bagi Kang Tarka.
**
Perjuangan menerjemahkan naskah pertama itu begitu lambat hingga enam bulan lamanya, faktor utama adalah kesibukannya sebagai karyawan dan tidak ada guru yang memandunya. Pada akhirnya, naskah tersebut ditaklukkan. Inilah tonggak keilmuan filologisnya dimulai, yakni pada tahun 1995 setelah ia bisa menaklukkan naskah Cerita Panji Inu Kertapati.
Sejak itu, semangatnya menjadi menggebu-gebu. Tak peduli siang malam-jauh dekat, saat ada kabar naskah kuno ia langsung memburunya. Awalnya memang ketertarikan Kang Tarka terhadap naskah kuno, lebih pada tentang mantra-mantra Jawa atau semacam tutur piwulang (ilmu kaweruh).
Kang Tarka menemukan, naskah kuno ternyata berisi lebih banyak bahasa-bahasa filsafat yang ia cari selama ini. Dari hal itulah, Kang Tarka menganggap pasti pada setiap naskah-naskah kuno itu tercantum tutur tembung kebaikan.
Sejak itu ia menjadi kesengsem dan selalu ingin membaca naskah-naskah Jawa. Tak hanya naskah soal sejarah, kesenian, dan religi yang ditelusurinya. Aneka primbon-primbon dan petungan pun ia jejaki, bahkan jika perlu ia membeli naskah tersebut untuk dikoleksi.
Jika pulang kampung Kang Tarka selalu menyempatkan diri untuk mencari naskah-naskah kuno yang disimpan oleh para sesepuh. Berkat sesepuh-sesepuh inilah, akhirnya penguasaan aksara Jawa Kang Tarka meningkat tajam.
Ada yang menyumbangkan naskahnya, ada yang meminta untuk diterjemahkan dan ada juga yang hanya mengizinkan untuk disalin saja. Lucunya, masih banyak masyarakat yang mengkeramatkan naskahnya. Inilah penyebab mengapa keberadaan naskah kuno yang dimiliki oleh masyarakat akhirnya susah sekali ditembus.
Saat itu Kang Tarka masih bekerja di Bogor. Sejak tahun 1991–2004, ia bekerja di PMS –Project Managament Services—IPB, Kampus Darmaga Bogor. Pada Proyek Pengembangan Pembangunan Gedung-gedung IPB Tahap I dan II.
**
Demi memperlancar studi-studinya itu, Kang Tarka sampai membentuk organisasi-organisasi yang fokus pada budaya, hal ini agar mendukung kebutuhan akan jiwanya yang terlanjur gandrung pada naskah kuno.
Salah satu sayap organisasi yang ia besut untuk mendukung mimpi-mimpinya adalah Forum Jati Budaya Indramayu pada tahun 2010. Ia sendiri didaulat sebagai ketuanya. Kiprahnya di Forum Jati Budaya mulai mengundang perhatian akademisi dan pegiat budaya dari Kota Indramayu.
Pada tahun yang sama, Kang Tarka juga diajak bergabung dalam Paguyuban Keluarga Arya Wiralodra, sebagai tim ahli dalam Seksi Sastra Jawa Kuno. Namanya makin bersinar setelah bisa menaklukan Manuskrip Kulit Menjangan dan Lontar Indramayu.
Tahun berikutnya, 2011. Kang Tarka mulai menjadi asisten Raden H. Dasuki dalam acara Kirab Pusaka Cakra Udhaksana Kyai Tambu. Berbarengan dengan itu Kang Tarka juga menjadi tim ahli bidang filologi untuk Indramayu Historia, bersama Nang Sadewo.
Selanjutnya, tahun 2012. Kiprahnya semakin melebar, ia mendirikan Yayasan Lingga Amurwa Kanda Dharma Ayu Nagari (Lakdan), ia sendiri sebagai Wakil Ketua. Naskah kuno yang awalnya menjadi konsumsi sendiri akhirnya ingin mulai diterbitkan.
Untuk memperkokoh hal ini, pada tahun 2012. Ia pun atas saran sesepuh Indramayu, H. Urip Sucipto disarankan untuk membuat grup di facebook, lebih fokus pada aksara Jawa-nya. Maka dibuatlah grup ‘Sanggar Aksara Jawa Indramayu’ dibantu oleh Meneer Pangky sebagai adminnya.
Prosesnya memang berliku dan penuh perjuangan. Titik terang mimpi-mimpi itu mulai menemukan kenyataan saat perjumpaannya dengan Muhammad Mukhtar Zaedin dalam Pra Kongres Bahasa Cirebon.
**
Perjuangan menerjemahkan naskah pertama itu begitu lambat hingga enam bulan lamanya, faktor utama adalah kesibukannya sebagai karyawan dan tidak ada guru yang memandunya. Pada akhirnya, naskah tersebut ditaklukkan. Inilah tonggak keilmuan filologisnya dimulai, yakni pada tahun 1995 setelah ia bisa menaklukkan naskah Cerita Panji Inu Kertapati.
Sejak itu, semangatnya menjadi menggebu-gebu. Tak peduli siang malam-jauh dekat, saat ada kabar naskah kuno ia langsung memburunya. Awalnya memang ketertarikan Kang Tarka terhadap naskah kuno, lebih pada tentang mantra-mantra Jawa atau semacam tutur piwulang (ilmu kaweruh).
Kang Tarka menemukan, naskah kuno ternyata berisi lebih banyak bahasa-bahasa filsafat yang ia cari selama ini. Dari hal itulah, Kang Tarka menganggap pasti pada setiap naskah-naskah kuno itu tercantum tutur tembung kebaikan.
Sejak itu ia menjadi kesengsem dan selalu ingin membaca naskah-naskah Jawa. Tak hanya naskah soal sejarah, kesenian, dan religi yang ditelusurinya. Aneka primbon-primbon dan petungan pun ia jejaki, bahkan jika perlu ia membeli naskah tersebut untuk dikoleksi.
Jika pulang kampung Kang Tarka selalu menyempatkan diri untuk mencari naskah-naskah kuno yang disimpan oleh para sesepuh. Berkat sesepuh-sesepuh inilah, akhirnya penguasaan aksara Jawa Kang Tarka meningkat tajam.
Ada yang menyumbangkan naskahnya, ada yang meminta untuk diterjemahkan dan ada juga yang hanya mengizinkan untuk disalin saja. Lucunya, masih banyak masyarakat yang mengkeramatkan naskahnya. Inilah penyebab mengapa keberadaan naskah kuno yang dimiliki oleh masyarakat akhirnya susah sekali ditembus.
Saat itu Kang Tarka masih bekerja di Bogor. Sejak tahun 1991–2004, ia bekerja di PMS –Project Managament Services—IPB, Kampus Darmaga Bogor. Pada Proyek Pengembangan Pembangunan Gedung-gedung IPB Tahap I dan II.
**
Demi memperlancar studi-studinya itu, Kang Tarka sampai membentuk organisasi-organisasi yang fokus pada budaya, hal ini agar mendukung kebutuhan akan jiwanya yang terlanjur gandrung pada naskah kuno.
Salah satu sayap organisasi yang ia besut untuk mendukung mimpi-mimpinya adalah Forum Jati Budaya Indramayu pada tahun 2010. Ia sendiri didaulat sebagai ketuanya. Kiprahnya di Forum Jati Budaya mulai mengundang perhatian akademisi dan pegiat budaya dari Kota Indramayu.
Pada tahun yang sama, Kang Tarka juga diajak bergabung dalam Paguyuban Keluarga Arya Wiralodra, sebagai tim ahli dalam Seksi Sastra Jawa Kuno. Namanya makin bersinar setelah bisa menaklukan Manuskrip Kulit Menjangan dan Lontar Indramayu.
Tahun berikutnya, 2011. Kang Tarka mulai menjadi asisten Raden H. Dasuki dalam acara Kirab Pusaka Cakra Udhaksana Kyai Tambu. Berbarengan dengan itu Kang Tarka juga menjadi tim ahli bidang filologi untuk Indramayu Historia, bersama Nang Sadewo.
Selanjutnya, tahun 2012. Kiprahnya semakin melebar, ia mendirikan Yayasan Lingga Amurwa Kanda Dharma Ayu Nagari (Lakdan), ia sendiri sebagai Wakil Ketua. Naskah kuno yang awalnya menjadi konsumsi sendiri akhirnya ingin mulai diterbitkan.
Untuk memperkokoh hal ini, pada tahun 2012. Ia pun atas saran sesepuh Indramayu, H. Urip Sucipto disarankan untuk membuat grup di facebook, lebih fokus pada aksara Jawa-nya. Maka dibuatlah grup ‘Sanggar Aksara Jawa Indramayu’ dibantu oleh Meneer Pangky sebagai adminnya.
Prosesnya memang berliku dan penuh perjuangan. Titik terang mimpi-mimpi itu mulai menemukan kenyataan saat perjumpaannya dengan Muhammad Mukhtar Zaedin dalam Pra Kongres Bahasa Cirebon.
Dari diskusi kecil dengan secangkir kopi di Hotel Prima Cirebon itu, dirinya diajak bergabung dengan Pusat Konservasi Naskah Klasik Cirebon.
Tahun 2013 bersama dengan Meneer Pangky dan Panji Darussalam, Kang Tarka pun masuk menjadi tim dalam lembaga tersebut. Oleh Ketua Pusat Konservasi Naskah Klasik Cirebon, Drh. R. H. Bambang Irianto, BA. ia diberikan kesempatan untuk menerjemahkan naskah-naskah di lembaga tersebut.
Salah satu dedikasi perjuangan besarnya terhadap naskah kuno berbuah manis tatkala pada tahun 2013, naskah kuno yang ia terjemahkan berhasil dicetak. Selain itu, ia juga dengan Ki Dalang Karno menjadi partisipan dalam Rumah Budaya Pesambangan Jati Cirebon.
Oleh-oleh kado yang ia berhasil bawa pulang adalah membawakan siswa-siswa SMK Seni Rupa NU Cikedung untuk dididik dan diajari kesenian, terutama Jaran Lumping dan Sintren.
Pada tahun yang sama juga, Kang Tarka terlibat dalam pengusungan pendirian Museum Bandar Cimanuk. Baginya, Indramayu memiliki museum itu sebuah keharusan.
Tahun 2013 bersama dengan Meneer Pangky dan Panji Darussalam, Kang Tarka pun masuk menjadi tim dalam lembaga tersebut. Oleh Ketua Pusat Konservasi Naskah Klasik Cirebon, Drh. R. H. Bambang Irianto, BA. ia diberikan kesempatan untuk menerjemahkan naskah-naskah di lembaga tersebut.
Salah satu dedikasi perjuangan besarnya terhadap naskah kuno berbuah manis tatkala pada tahun 2013, naskah kuno yang ia terjemahkan berhasil dicetak. Selain itu, ia juga dengan Ki Dalang Karno menjadi partisipan dalam Rumah Budaya Pesambangan Jati Cirebon.
Oleh-oleh kado yang ia berhasil bawa pulang adalah membawakan siswa-siswa SMK Seni Rupa NU Cikedung untuk dididik dan diajari kesenian, terutama Jaran Lumping dan Sintren.
Pada tahun yang sama juga, Kang Tarka terlibat dalam pengusungan pendirian Museum Bandar Cimanuk. Baginya, Indramayu memiliki museum itu sebuah keharusan.
Karena dengan adanya museum generasi penerus akan lebih mudah mengakses ilmu dan informasi, terutama soal literasi pengetahuan dan relevansinya, masa lalu dengan masa sekarang.
***
***
Via
Tokoh
Posting Komentar