esai
Seniman Indramayu yang Bergengsi
Gedung Panti Budaya, Dewan Kesenian Indramayu. Sumber : Akhmad Fauzi. |
Beberapa
tahun yang lalu, sejak tahun 2012 aku mulai sering bergabung dengan komunitas
seniman di DKI. Awas ya ini bukan akronim Dono Kasino Indro atau Daerah Khusus
Ibukota.
DKI itu akronim dari Dewan Kesenian Indramayu. Dari situlah aku mulai
mengenal berbagai macam jenis seniman. Sebagian besar memang kukagumi.
Kekagumanku
beralasan. Dibalik profesi senimannya, mereka ternyata manusia biasa.
Pemikirannya luas dan membumi. Dibalik ketenarannya dan dunia glamour
mereka, ternyata pekerjaan sehari-harinya berbanding terbalik.
Ada yang jualan
souvenir, ada yang membuka les privat seni, ada yang jadi tukang bonsai, ada
yang buka warung kecil-kecilan, dan bahkan ada juga yang buka servis HP.
Kedengerannya
biasa aja kan? Tapi jangan salah loh. Banyak juga yang merasa dirinya seniman.
Sedihnya itu kata “seniman” dijadikan sebagai alasan untuk nggak mau bekerja.
Sebut saja misalnya Si Dulgepuk.
Dia selalu bilang kalo dia itu pemusik dan
pencipta lagu. Tapi jarang banget dia ditanggap sebagai pemusik, kalo ada pun
itu cuma acara kawinan atau sunatan di kampung-kampung yang notabene
penanggapnya adalah temen dekatnya.
Dulgepuk
ngabisin waktunya dengan nongkrong di DKI dan sanggar-sanggar. Tiap hari
kerjanya gitaran dan bernyanyi. Tempo hari aku lihat dia sedang menyanyikan
lagu ciptaannya yang bercerita tentang kekecewaan, biduk rumah tangganya
berakhir dengan perceraian—lantaran dicerai mertua. Gayanya luar biasa penuh
penghayatan, seakan-akan dia sedang manggung di hadapan para pejabat dan
pengusaha.
Padahal
lagunya itu lagu cengeng. Suara serta main gitarnya juga pas-pasan. Menurut
Dulgepuk, dia udah nyiptain lebih dari 159 lagu, Hahahhaa, aku tertawa tertahan
mendengarnya. Hebat ya? Tapi sayangnya nggak ada satu pun produser atau artis
yang mau rekaman apalagi membeli lagunya.
Ampuuuuuuuuun
ya!
Kalo
laper dia ngutang makan di warung. Karena utangnya udah kebanyakan, sering dia
akhirnya malah ditolak, nggak boleh ngutang lagi. Nah apa yang dilakukannya?
Dia minjem duit atau minta traktir sama temennya yang kebetulan juga lagi
makan.
Begitu deh kegiatannya sehari-hari. Beda banget sama seniman lainnya
yang aku ceritakan diatas. Aku kadang suka greget ngeliat kelakuannya. Beberapa
kali aku nyaranin untuk kerja, dia cuma mesem-mesem aja terus jawab
begini.
"Durung ana
sing tuku lagune reang, neer".
"Yen durung
ana sing nanggap sira atawa nuku lagu ciptaan sira. Ya mending kerja bae
dikit”.
"Reang kuh
seniman, neer. Ya emong lah kerja ning luar bidang seni".
"Misal sampe
mati langka sing nanggap lan tuku lagunira, priwen?".
"Ya, ora papa
neer. Sebeline reang mati dadi seniman sing duwe prinsip”. Seniman sing duwe
dedikasi ning bidang seni sing dipilie”.
"Tobaaaaaaaaaat
... tobaaaaaaaaaat, reang ora nyampuri uripe sira, apamaning kongkon ninggalaken
dunia senie sira. Kien kuh mung sementara mbari ngenteni sira ana sing nanggap
lan nuku lagunira.”
“Reang bli duwe
kemampuan sejene kien, neer”.
“Sira kan bisa gawa
motor, ya dadi tukang ojeg tah dingin. Awakira gah empag lan keker kaya jeger,
dadi security atawa satpam tah. Lamona perlu bisa uga dadi tukang runtuk, malah
enak bli modalan, batie bli lumayan maning malah gede. Modale mung tenaga”.
"Sira kih wis
sowak, wis kendo sarafe ya neer”.
Tiba-tiba
suaranya meninggi. Tak bersahabat. Aku pun sedikit berhati-hati ngomongnya.
Soalnya tadi dia sudah memukul meja.
“Nangapa sih?”
“Reang kan seniman,
profesi ora sembarangan. Duwe martabat, masa sira kongkon reang dadi tukang
runtukan”.
“Lah sih, ana sing
salah tah dadi tukang runtukan”.
"Gengsi lah,
apa jare wong, mengko nilai reang ning matane wong-wong. Apamaning jare kluarga
reang mengko”.
Sehabis
obrolan itu aku bener-bener nyerah dan membiarkan seniman hebat sepertinya ini
sibuk dengan mimpi-mimpi dan khayalannya. Dulgepuk mempunyai 2 anak. Sulungnya
usia 5 tahun, kadang kasihan kalo liat anak istrinya.
Aku
hanya nggak habis pikir, kenapa Dulgepuk berpikir pemulung itu kurang
bermartabat? Mendingan jadi pemulung kan daripada tiap hari nyusahin orang
lain, pinjem duit, ngutang makan, atau nebeng rokok.
Aku
semakin terinspirasi sama diskusi-diskusi dengan teman-teman mantan TKI.
Orang-orang di negara maju, gengsinya rendah dan malunya tinggi. Mereka nggak
gengsi ngaku salah, mereka nggak gengsi mengundurkan diri, mereka nggak gengsi
melakukan pekerjaan apapun selama itu adalah pekerjaan halal.
Semakin
direnungin aku semakin resah bin galau. Waduh! jangan-jangan filosofi kita
malah sebaliknya. Gengsinya tinggi, malunya rendah, mental orang-orang kita?
Hufftttttttttt! Tarikan nafasku semakin panjang dan dalam.
Pantes
banyak korupsi di mana-mana. Gengsi kan butuh ongkos. Dan korupsi jalan
tercepat untuk menyediakan ongkosnya? Kan nggak usah malu? Toh semua orang juga
korupsi? Ya Allah jangan sampai negara ini bangkrut karena sering dikorupsi.
***
Meneer
Pangky
Pengamat Budaya Amatir
Via
esai
Posting Komentar