esai
Kali Menir : Warung, Perempuan & Lelaki Hidung Belang
Pembongkaran Kali Menir, 19 Maret 2016. Sumber : Bobi |
Trending
topic
para netizen Indramayu pekan ini adalah pembongkaran warung
remang-remang di Kali Menir. Fenomena
prostitusi memang selalu saja menjadi isu menarik. Topik ini menarik dikaji
seiring dengan upaya keras dari pemerintah maupun lembaga sosial yang gencar
dalam memberantas penyakit masyarakat tersebut.
Uniknya,
ketika berbagai cara dilakukan untuk menekan praktek prostitusi ini, justru makin
canggihnya modus esek-esek oleh pelaku prostitusi. Pemerintah saat ini
dihadapkan pada persoalan penting, yakni antara menghapus total atau melokalisasi
agar penyakit masyarakat ini tidak semakin merajalela.
Sejarah
Prostitusi
Prostitusi
bukanlah barang baru dalam dunia modern, tercatat dalam sejarah, praktek ini
sudah dijalankan sejak zaman kuno. Agak sulit memang untuk mengetahui sejak
kapan fenomena ini muncul. Aku curiga fenomena ini muncul setua peradaban itu
sendiri.
Sebagai
contoh ada istilah pelacur kuil (temple prostitutes), pelacuran model ini
ditemukan pada kebudayaan zaman Babilonia, Mesir Kuna, Yunani, dan Romawi. Para
pelacur ini berkeliaran di jalan-jalan dan di kedai-kedai minuman, mencari
mangsanya.
Penghasilannya
kemudian diserahkan kepada para pendeta untuk membantu pembangunan kuil. Di
Romawi, pelacur dianggap pengganggu anak-anak, dan diharuskan menggunakan
pakaian tertentu untuk membedakan mereka dengan yang masyarakat lainnya.
Lalu,
bagaimana dengan Indonesia, yang notabene sebagai negara beradab dan beragama. Ternyata
prostitusinya marak di masyarakat, dari wong mlarat sampai pejabat. Lucu
memang, tapi nyata begitu adanya.
Antropolog
melihat bahwa pelacuran tidak lepas dari peninggalan masyarakat primitif yang
berpola matriarkhi. Sedangkan kaum feminis memandang bahwa pelacuran
adalah akibat dari kuatnya sistem patriarkhi.
Sementara
kaum marxis melihat pelacuran sebagai akibat yang niscaya dari perkembangan
kapitalisme. Namun apapun itu, yang jelas sekarang praktek prostitusi ini sudah
lintas masyarakat, profesi, status, dan agama. Tidak peduli jarak, waktu, ruang
dan negara. Apalagi setelah canggihnya media komunikasi, transaksi prostitusi
cukup lewat media sosial.
Dalam
kacamata sosiologi, prostitusi merupakan salah satu gejala patologi sosial.
Patologi sosial tersebut merujuk pada suatu kondisi banyak faktor yang melatar
belakangi mereka menjadi PSK, salah satunya adalah faktor ekonomi, faktor
lingkungan dan pergaulan.
Merelakan
tubuhnya demi rupiah, menghidupi diri dan keluarganya. Sudah persis toserba,
banyak pilihan dari jenis, kualitas dan harga. Mau yang berkelas atau murah
meriah.
Alternatif
Solusi
Dalam
beberapa hal, Ibu Anna serupa dengan Pak Ahok dan Ibu Risma. Dengan segala hormat kepada
mereka bertiga, aku berbeda pendapat untuk persoalan Kali Menir, Dolly dan Kalijodo.
Selain beda pendapat ya wong jelas-jelas aku juga berbeda pendapatannya.
Pelacuran
memang bukan barang baru dalam peradaban manusia. Persoalannya kompleks. Bukan
sekedar dosa. Mudah saja kalau itu persoalan dosa, tanyalah kepada semua
pelacur, apakah mereka menginginkan pekerjaan tersebut?
Karena
persoalannya kompleks, maka cara pandang dan penyelesaiannya pun pelik.
Sebetulnya dengan adanya "kompleks pelacuran", ini langkah maju untuk
menyelesaikan persoalan ini. Para pelacur bisa diidentifikasi, pergerakan
mereka dibatasi, sehingga imbasnya bisa dikontrol dan diantisipasi.
Ada
beberapa filosofi dalam tatanegara. Salah satunya, jika seorang pemimpin tidak
bisa menghindari kemunculan dan mudharatnya, maka: legalkan. Dengan
dilegalkan, segalanya lebih bisa dilihat, diatur, dan dikontrol.
Alasannya
sederhana, barang yang gelap—tidak dilegalkan, tidak bisa dilihat dan karenanya
jadi susah dikontrol. Dilegalkan dalam hal ini bukan berarti kita harus sepakat
bahwa itu halal. Ini metode. Bukan nilai.
Bagaimana
bisa barang yang dilegalkan selalu mudah diawasi? Kasus yang kujadikan contoh
ada dua. Pertama, soal miras. Lihat saja begitu bir susah didapat di
berbagai tempat, maka makin banyak bermunculan minuman oplosan yang beredar
secara gelap.
Kedua, cukai rokok. Tak
beda dengan miras, saat cukai rokok dinaikkan. Peredaran rokok ilegal menjadi
marak. Tapi, lihatlah insight-nya. Bukankah kita jadi gampang
membedakan, mana yang legal dan mana yang ilegal.
Akhirnya,
kitapun tidak munafik, sebab orang yang pergi kesana jelas tujuannya untuk
zinah. Pemerintah mudah untuk membatasi, mengontrol, dan membina mereka para
psk. Ini hanya mencontohkan segala yang ditekan, direpresi, dalam banyak hal,
bukan berarti nanti menghilang. Lebih pada kemudahan kontrol dan prevensi saja.
Memangnya
hanya orang kaya saja yang punya persoalan hidup? Orang miskin juga. Makanya,
yang namanya penyakit masyarakat itu susah dihilangkan.
Menyoal
Kali Menir
Balik
lagi ke soal Kali Menir. Sebaiknya Ibu Anna bisa belajar dari kekacauan yang
terjadi pasca-pembubaran Dolly. Benar, secara kasatmata Dolly sudah tertib dan bersih.
Bukankah
begitu memang paradigma pemerintah sejak dulu, belum berubah cara mereka
memandang masyarakat dan persoalan mereka? Yang jadi pertanyaan kemanakah
merek? Pergi kemana para penghuni Dolly? Benarkah menjadi penjahit sebagaimana
yang diidealkan Ibu Risma?
Itulah
persoalannya. Mereka justru bertebaran di banyak tempat, baik di Surabaya
maupun di kota-kota lain. Akibatnya makin sulit dideteksi dan dikontrol. Sialnya,
menurut penelitian temanku yang bekerja di Komisi Penanggulangan Aids Indonesia
(KPAI), prevalensi HIV/AIDS di Jatim meningkat setelah Dolly bubar.
Hal
seperti ini yang harus menjadi perhatian. Bisa jadi maksud Ibu Risma, Pak Ahok
dan Ibu Anna baik. Tapi tidak mempertimbangkan efeknya dengan saksama, sehingga
dampak dan mudharatnya jauh lebih buruk dan lebih besar.
Kalau
para pelacur berada di kompleks pelacuran, secara reguler kesehatan mereka bisa
dicek, mereka juga bisa diidentifikasi saat keluar dan masuk, bahkan para
pelanggan pun kalau mau bisa diidentifikasi. Kekerasan terhadap pelacur baik
secara fisik maupun psikologis juga bisa ditekan.
Target
kampanye kesehatan maupun ekonomi bisa lebih spesifik. Tapi yang paling
penting, pergerakan mereka bisa dibatasi, sehingga dampak terbesar dalam
konteks ini, persebaran HIV/AIDS bisa diantisipasi dengan lebih baik.
Pertanyaan
selanjutnya, ini menjadi pelengkap saja, apakah benar pelacuran di Indramayu
secara khusus menghilang? Oh ya? Atau, Kali Menir itu satu-satunya kompleks
pelacuran? Apakah benar pelacuran di Indramayu hanya ada di Kali Menir?
Bukankah pelacuran makin marak, terlebih dengan banyak dibantu oleh sistem
komunikasi yang lebih canggih?
Pertanyaanku
cukup satu. Kalau orang-orang kaya Indramayu mudah mendapatkan pelacur kelas
atas dan hiburan, dengan segala akses dan uang yang mereka miliki, maka bagaimana
dengan kelas bawah? Kali Menir adalah bagian dari hiburan kelas bawah.
Dari
persoalan diatas, aku hanya mau mengingatkan kepada pemimpin. Jika memang tidak
yakin bisa menghapuskan sesuatu yang dianggap jahat dan buruk, maka jangan main
bubarkan saja. Itu artinya, sama saja dengan melahirkan masalah baru yang berat
dan rumit.
Ibu
Anna, kita sedang hidup di dunia. Bukan di surga. Karena hidup di dunia, maka
persoalannya lebih pada menimbang manfaat dan mudharat, juga pada metode dan
cara. Bukan soal suka atau tidak, dosa atau tidak, halal atau haram.
Kukira
dalam hal ini, Kang Budi Asmara punya solusi jitu. “PSK baru tobat kalo
sudah dikawin”. Budi Asmara merupakan pentolan Kopek—komunitas pengelola
kafe. Rasa-rasanya jika semua duda dan yang bermaksud wayuan siap
mengawini para tlembuk, Indramayu akan benar-benar bersih dari masalah pekat
ini.
Siapkah berpoligami dengan tlembuk? Ini ladang pahala loh. Aku rasa kalian juga munafik. Anti prostitusi dan menghujatnya. Tapi juga enggan menghilangkannya dengan cara mengawini mereka. Lebih suka dengan cara perang, yang katanya konon jihad fisabilillah. Ahhhhh, tarikan nafasku semakin dalam dan panjang saja.
***
Via
esai
Posting Komentar