Opini
Bahasa Do'a
Malam
makin larut, Man Talkiban pun menyeruput tebruk terakhirnya. Dalam renungannya
yang panjang, ia berpikir. Aneh dan heran. Kok bisa ya?
Banyak
muslim di Indonesia, khususnya kaum muslim di desanya, Tegal Grubug. Kaum
muslim di sana memandang Bahasa Arab sebagai bahasa do'a.
Banyak
sekali, tetangga, saudara, orangtuanya, dan semua warga Desa Tegal Grubug.
Mereka hanya tahu mengangkat tangan dan mengucapkan "Amiiiiiiin ...
".
Demikian
juga ada cerita, saat warga Tegal Grubug yang naik haji. Ia tersesat dan tak
tahu arah jalan pulang, ia pun mulai kebingungan dan putus asa. Dalam kegalauan
tersebut, ia teringat surat al-Fatehah. Dalam satu ayatnya, maknanya
adalah tunjukanlah jalan yang lurus.
Ia
pun memberanikan diri bertanya saat berpapasan dengan orang Arab. "Ihdinash
shirotol mustaqim ... ihdinash shirotol mustaqim?". Maksudnya, agar ia
ditunjukkan jalan pulang yang benar. Hahahhaa, ampuuun ya! Orang Arabnya
bingung, warga Tegal Grubug pun bingung.
Si
Arab jawab, "Ma ... huwa?". Orang Tegal Grubug kelagapan. Ia pun asal
ceplos, "Amiiiin ... amiiin". Si Orang Arab tambah bingung.
Begitulah,
jika Bahasa Arab hanya dijadikan sebagai bahasa do'a. Tak jauh beda saat lain
kesempatan. Kali ini gantian, yang bertanya adalah orang Arab. Si Arab
bertanya, warga Tegal Grubug hanya bisa jawab, "Na'am" dan
"Aiwa" tok.
Padahal
si Arab sedang meledek. “Saya lihat banyak tkw asal Indramayu, itu permainan
ranjangnya hebat sekali. Apa sih rahasianya, bisa tolong kasih tahu?".
Jawabannya,
“Aminnnn… Ammminnn". Padahal kata tersebut kan maknanya mengiyakan
dan semoga dikabulkan. Hahahha, ampun ya! Pantes si Arab tadi tersenyum
mendengar jawabannya.
Emang
begitu, mau gimana lagi? Man Talkiban pun melanjutkan sruputan tebruknya.
***
Meneer Panqi
Penulis, pemerhati budaya dan konsultan media kreatif.
Via
Opini
Posting Komentar