Opini
Berkunjung ke Taman Sirna Raga
Taman Sirna Raga. Sumber : Wahid Hasyim, 2013. |
Keberadaan
taman bagi Talkiban sangat penting. Taman itu sumber inspirasi, taman itu
sumber ketenangan, taman itu sumber segala hal.
Salah
satunya, taman sirna raga alias tpu - taman pemakaman umum. Dengan mengunjungi
taman ini, Talkiban diingatkan asal muasal dirinya.
Segala
aksesoris dunia, ternyata semuanya omong kosong belaka. Jabatan, gengsi, gelar,
harta, suami/istri. Nggak ada artinya sama sekali.
Bahkan,
sampai sempak dan kutang mahal yang kita beli pun nggak terbawa. Kala sudah
menginap di hotel bawah tanah itu. Ia
berpikir. Aneh, kutang dan sempak kan paling setia dengan diri kita.
Kita
tidur, ikutan tidur, kita maksiat ikutan maksiat, kita beribadah ikutan ibadah.
Tapi, saat menginap di hotel bawah tanah, ia berkhianat. Tak ikut dengan kita.
Membelot.
Lalu,
apa yang kau sombongkan, Talkiban? Lalu apa yang kau bawa jika kelak esok harus
menginap di hotel bawah tanah, Talkiban? Hati Talkiban bergemuruh.
Kau
bayar pake apa, Talkiban? Itu hotel bukan dibayar lewat tumpukan hartamu, tapi
lewat amal-amalmu.
Talkiban
merenung, menatap dalam-dalam, jejeran kamar-kamar hotel bawah tanah yang
bintang tujuh itu.
Talkiban
ditarik imajinasinya. Kejadian di desanya. Di Desa Tegal Grubug ada sebagian
sobat-sobatnya yang melarang berkunjung ke taman sirna raga.
Talkiban
heran dan curiga, apa disengaja atau memang punya misi lain. Misi agar warga
Tegal Grubug lupa. Ya lupa untuk mengingat mati. Agar kita lebih condong
mengejar dunia.
Ya
Allah, dalam helaan nafas panjangnya Talkiban menghirup tebruk terakhirnya. Kok
tebruknya jadi terasa hambar. Cuiiiiiiih, ampas daun dan batang tehnya
dilepe-kan.
***
Meneer
Panqi
Penulis,
pemerhati budaya dan konsultan media kreatif.
Via
Opini
Posting Komentar