Opini
Culture Aggression, Perang Era Modern
Sama
seperti masuknya investasi-investasi negara barat ke Indonesia, diikuti pula
dengan budaya mereka.
MTV,
McDonald, KFC dan segala macam perilaku mereka. Seperti seks bebas, minuman
keras, diskotik dan lain sebagainya.
Hal
itu telah mempengaruhi pola hidup kita. Harus menyamakan diri dengan budaya
itu, kalau tidak “sira kampungan, sira
ndeso”.
Tak
beda juga dengan serangan budaya dari Timur Tengah. Semacam ada perang budaya,
memasukkan arabisme ke Indonesia.
Dana-dana
dari Timur Tengah, khususnya Saudi. Demikian gencarnya masuk ke Indonesia,
negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Melalui
pembangunan pesantren-pesantren, masjid-masjid sampai dengan sekolah-sekolah.
Lucunya, para penerima dana-nya seperti kehilangan jati diri. Seperti seorang
budak yang harus mengikuti tuannya, supaya dianggap setara.
Pada
masa lalu atau masa-masa perjuangan, Arab Saudi tidak dianggap sebagai pusat
ke-islaman. Bahwa mereka menguasai Ka’bah, memang iya. Tetapi bukan berarti
mereka pusat keislaman yang harus ditaati.
Bahkan
sejarah terbentuknya NU dan Muhammadiyah adalah melawan paham mereka yang ingin
membongkar kuburan Nabi Muhammad SAW.
Dari
sini saja kita bisa lihat, bahwa ulama-ulama Indonesia tidak tunduk kepada Arab
Saudi dalam hal apapun, kecuali kalau berhaji memang harus ke sana.
Bagi
yang suka sejarah, bisa diketahui jarang sekali ulama Indonesia dulu yang
berpenampilan arab, kecuali orang arab itu sendiri.
Pangeran
Diponegoro berpakaian seperti layaknya seorang pangeran. Memakai sorban, tapi
tak memelihara jenggot. KH. Agoes Salim berjenggot tetapi tidak bergamis.
Bung
Hatta malah berpenampilan layaknya seorang terpelajar. Sama sekali beliau tidak
menonjolkan ke-arabannya. Meskipun ilmu keislamannya mumpuni tapi tak memakai
aksesoris bergaya Arab.
Yang
ada sekarang adalah kebalikannya. Ketika seseorang itu mempelajari agama, dia
harus berperilaku sesuai budaya di tempat “pusatnya” agama itu.
Sama
seperti ketika seseorang senang musik rock, maka berdandan sesuai budaya dimana
pusat musik itu berada. Temanku dulu begitu, ia gandrung dengan musik rock.
Bajunya
harus kaos, jaket jeans, anting di kiri (kalau di kanan katanya homo), celana
sobek dan rambut harus panjang. Ia harus menyesuaikan dengan budaya dimana
musik rock muncul.
Jadi,
saat kita tak memakai simbol arab. Takut dikira kurang islami, kurang alim dan
sebagainya. Kurang lebih, begitulah serangan budaya cara bermainnya.
**
Citra
budaya yang ingin dimiliki tiap bangsa di mata dunia adalah citra budaya yang
baik dan sesuai dengan dasar kemanusiaan. Ciri yang khas pada suatu bangsa
membentuk budaya yang mengikat dan menjadi watak dari penganutnya.
Beberapa
budaya telah dikenal masyarakat dunia misalnya “individualisme” di Amerika,
“keselarasan individu dengan alam” di Jepang, "radikalisme" di Arab
dan “kepatuhan kolektif” di Cina.
Kebudayaan
tiap bangsa yang berbeda merupakan hasil dari sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia yang diperoleh manusia dengan belajar selama berabad-abad.
Begitupun
dengan serangan budaya Korea atau yang lebih dikenal dengan Hallyu Wave adalah contohnya. Budaya
Korea telah mulai memasuki pasar Asia semenjak akhir 1990-an.
Di
Indonesia hal tersebut diketahui lewat penayangan drama Korea seperti Endless
Love dan Winter Sonata di televisi swasta. Pada eranya, drama tersebut mendapat
tempat di hati masyarakat baik anak-anak maupun orang dewasa.
Masa
kini, Korea makin menyebarkan gaungnya. Bukan hanya lewat drama yang
berbondong-bondong ditayangkan oleh beberapa televisi swasta, namun juga lewat
dunia musik, fashion, dan juga
teknologi.
Tidak
hanya pemuda-pemudi di kampungku yang mabok korea, bahkan di benua Eropa dan
Amerika telah mengaku terkena demam Hallyu.
Tak
beda dengan serangan budaya dari barat (Amerika & Eropa) juga dari Timur Tengah
(khususnya Arab Saudi) selalu ada pro dan kontra.
Beberapa
pihak yang melayangkan nada negatif terkait style pemuda-pemudi Korea. Potongan
rambut yang “tidak biasa” dan berwarna-warni disertai make up tebal dan baju
full-colour, dianggap beberapa pihak sebagai pilihan gaya aneh, nyentrik, lebay
dan nada-nada negatif lainnya.
Adapula
yang menanggapi dengan membentuk Boyband
dan Girlband untuk menyaingi Boyband dan Girlband Korea yang sedang banyak digandrungi remaja.
Fenomena
tersebut mendapat sambutan hangat dari sejumlah masyarakat Indonesia namun juga
menuai kecaman dari sejumlah lainnya.
Tembung
pamungkas, sesungguhnya budaya dari luar dapat memberikan keuntungan berupa
ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kebudayaan sendiri.
Namun
juga bisa menjadi air bah yang bisa menenggelamkan budaya pribumi, seperti yang sedang terjadi di bumi Indonesia saat ini.
***
Meneer
Panqi
Penulis,
pemerhati budaya dan konsultan media kreatif.
Via
Opini
Posting Komentar