Opini
Aku yang Dulu Bukanlah yang Sekarang
Virus ber-selfie atau istilah Indonesia-nya adalah swafoto, telah menjangkiti hampir semua kalangan, lintas usia, golongan, bahkan hingga lintas aliran dan agama, bangsa dan negara.
Bukan hanya melanda para anak-anak muda yang sering galau merana. Atau para pejabat yang doyan rapat. Selfie bahkan telah merasuk kedalam muslimah-muslimah full cover (baca : bercadar).
Fenomena sosial swafoto ini tentu menarik. Apalagi menyangkut mereka muslimah yang bercadar. Bagi sebagian kalangan gaya berpakaian ini dianggap sebagai keputusan yang anti-sosial.
Muslimah bercadar menutupi sekujur badannya kecuali mata. Tubuhnya ditutup dengan kain tebal yang berlapis-rangkap, bergulat di tengah hawa panas dan pengap. Konon, hanya agar para tetangga tahu. “Aku yang dulu bukanlah yang sekarang”. Seperti lagu Tegar si anak jalanan itu.
Bukan hanya itu, tambahan fakta lainnya. Dibeberkan dalam beberapa kasus bahwa kain panjang itu nyatanya tak hanya menutupi badan, namun juga telah menutup komunikasi sesama lingkungan sekitar.
Jangankan untuk bersalaman, untuk sekedar sedekah saja tak lagi dilakukan. Maksudnya sedekah senyum, senyum mengembangnya tak lagi terlihat. Tertutup oleh tabir kain cadar.
Entah bagaimana awalnya? Konon keputusan untuk menutupi sekujur badannya itu, diyakini akan mampu mendekatkan seseorang kepada tuhan. Justru pada saat yang bersamaan kesempatan silaturahmi malah mereka tinggalkan. Mereka rela mengabaikan tetangga demi surga yang entah ada di mana?
Atas anggapan ini, muncul kecurigaan bahwa perempuan-perempuan itu sengaja mengasingkan diri dari masyarakat. Ya, sekelompok masyarakat tidak bercadar—yang mereka pandang terlalu sibuk pada urusan dunia dan melupakan akhirat. Padahal akherat itu, mereka sendiri—muslimah bercadar—belum pernah mengunjunginya.
Kehidupan dunia—termasuk silaturahmi dengan teman dan tetangga—tidak lagi menjadi prioritas para perempuan ini. Mereka lebih fokus untuk mengumpulkan bekal mati. Udah, itu saja! Tidak ada jadwal nangga, arisan, dan reuni. Kesehariannya hanya diisi dengan mengaji dan mengaji. Nonton tv juga dikurangi. Sebab semuanya itu tidak akan dibawa mati.
Padahal silih berganti, model-model tren pakaian masa kini, tapi seolah hal itu tidak membangkitkan hasrat diri, untuk memiliki apalagi membeli. Sudah cukup, bermodalkan kain gelap ‘landung’. Hal itu sudah membuat mereka nyaman tanpa ada godaan untuk berdandan menor gila-gilaan.
Aku jadi berpikir, heran pada perempuan ini. Diantara mereka juga masih ada yang suka ber-selfie. Melihat tingkah mereka aku jadi suka ketawa sendiri.
***
Bukan hanya melanda para anak-anak muda yang sering galau merana. Atau para pejabat yang doyan rapat. Selfie bahkan telah merasuk kedalam muslimah-muslimah full cover (baca : bercadar).
Fenomena sosial swafoto ini tentu menarik. Apalagi menyangkut mereka muslimah yang bercadar. Bagi sebagian kalangan gaya berpakaian ini dianggap sebagai keputusan yang anti-sosial.
Muslimah bercadar menutupi sekujur badannya kecuali mata. Tubuhnya ditutup dengan kain tebal yang berlapis-rangkap, bergulat di tengah hawa panas dan pengap. Konon, hanya agar para tetangga tahu. “Aku yang dulu bukanlah yang sekarang”. Seperti lagu Tegar si anak jalanan itu.
Bukan hanya itu, tambahan fakta lainnya. Dibeberkan dalam beberapa kasus bahwa kain panjang itu nyatanya tak hanya menutupi badan, namun juga telah menutup komunikasi sesama lingkungan sekitar.
Jangankan untuk bersalaman, untuk sekedar sedekah saja tak lagi dilakukan. Maksudnya sedekah senyum, senyum mengembangnya tak lagi terlihat. Tertutup oleh tabir kain cadar.
Entah bagaimana awalnya? Konon keputusan untuk menutupi sekujur badannya itu, diyakini akan mampu mendekatkan seseorang kepada tuhan. Justru pada saat yang bersamaan kesempatan silaturahmi malah mereka tinggalkan. Mereka rela mengabaikan tetangga demi surga yang entah ada di mana?
Atas anggapan ini, muncul kecurigaan bahwa perempuan-perempuan itu sengaja mengasingkan diri dari masyarakat. Ya, sekelompok masyarakat tidak bercadar—yang mereka pandang terlalu sibuk pada urusan dunia dan melupakan akhirat. Padahal akherat itu, mereka sendiri—muslimah bercadar—belum pernah mengunjunginya.
Kehidupan dunia—termasuk silaturahmi dengan teman dan tetangga—tidak lagi menjadi prioritas para perempuan ini. Mereka lebih fokus untuk mengumpulkan bekal mati. Udah, itu saja! Tidak ada jadwal nangga, arisan, dan reuni. Kesehariannya hanya diisi dengan mengaji dan mengaji. Nonton tv juga dikurangi. Sebab semuanya itu tidak akan dibawa mati.
Padahal silih berganti, model-model tren pakaian masa kini, tapi seolah hal itu tidak membangkitkan hasrat diri, untuk memiliki apalagi membeli. Sudah cukup, bermodalkan kain gelap ‘landung’. Hal itu sudah membuat mereka nyaman tanpa ada godaan untuk berdandan menor gila-gilaan.
Aku jadi berpikir, heran pada perempuan ini. Diantara mereka juga masih ada yang suka ber-selfie. Melihat tingkah mereka aku jadi suka ketawa sendiri.
***
Via
Opini
Posting Komentar