Indramayu
Sejarah
Long March Siliwangi
Siliwangi Hijrah. Foto/IPPHOS |
Foto
tanggal 1 Februari 1948 ini dari KITLV, mendokumentasikan tentang pasukan
Siliwangi yang melakukan long march
menuju wilayah RI, konsekuensi dari Perjanjian Renville.
Dimana
semua yang berada di dalam garis Van Mook harus keluar batas, maka pasukan
Siliwangi dan aparat pemerintahan di Jawa Barat harus pindah ke Wilayah RI
berdasarkan perjanjian Renville yang ber-ibukota Yogyakarta.
Van
Mook adalah Letnan Gubernur Jenderal Belanda yang menggagas Negara Republik
Indonesia Serikat dengan struktur seperti British
Commonwealth (Persemakmuran Inggris). Antara Belanda dan RIS nantinya
dibentuk Uni Indonesia Belanda.
Garis
Van Mook juga dikenal dengan nama Garis Status Quo, penyebutan itu berdasarkan
Hubertus van Mook, yakni perbatasan buatan yang memisahkan wilayah milik
Belanda dan Indonesia pada masa Revolusi. Perbatasan ini diciptakan setelah
Perjanjian Renville pada Januari 1948, yang mengakhiri aksi Agresi Militer
Belanda I.
Garis
ini dikelilingi oleh tanah tak bertuan yang mencakup wilayah sepanjang 10-15
km. Pada akhir 1948, militer Indonesia melanggar gencatan senjata dengan
menyusupkan pasukan gerilya ke daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda.
Tindakan
ini mendorong Belanda untuk meluncurkan serangan dalam skala penuh untuk kedua
kalinya pada tanggal 19 Desember 1948, yang dikenal dengan Agresi Militer
Belanda II.
Tentara
dan aparat pemerintahan di Jawa Barat melakukan perjalanan panjang lebih dari
500 km ke Jawa Tengah. Sekitar 6.000 orang, juga dengan keluarganya yakni
hampir 30.000 orang diangkut.
Ada
dua jenis angkutan, pertama lewat pelabuhan dan kedua lewat kereta api. Semua
berkumpul di Cirebon. Ada yang lewat Pelabuhan Muara Jati dan sebagian lagi
lewat Stasiun Prujakan.
Demikian
juga dengan pasukan di Indramayu, semuanya berjalan menuju Cirebon dengan jalan
kaki dalam pengawasan tentara Belanda seperti di bawah ini.
Terlihat
sangat jauh terbalik, bangsa kita tak ada yang mengenakan sepatu, membawa gembolan dengan ditodong senjata. Anak
bangsa derajatnya dihinakan seperti budak. Tak ubahnya seperti bebek yang
sedang digiring majikannya.
Aku
menangis melihat foto ini, foto leluhurku. Bisajadi ada salah satunya itu kakek
atau nenek kalian, wahai wong Dermayu!
***
Meneer Panqi
Penulis, pemerhati budaya dan konsultan media kreatif.
Via
Indramayu
Posting Komentar