Indramayu
Opini
Sejarah
Hari Jadi Indramayu 7 Oktober, tidak Ilmiah
Itulah kira-kira judul
yang sesuai dan mengemuka dari hasil seminar 13 Oktober 2016 yang bertempat di
Gedung Pertemuan Bumi Patra Indramayu. Seminar ini menghadirkan tiga pembicara,
Agus Aris Munandar (arkeolog); Supali Kasim (sastrawan
& pemerhati sejarah); dan Agung Nugroho (pemerhati budaya).
Seminar dengan tema “Cimanuk
: Perspektif Arkeologi, Sejarah, dan Budaya“ ini dihadiri ratusan orang
dari berbagai kalangan dan tokoh daerah. Ada Wakil Bupati Supendi, beberapa
media massa cetak dan elektronik, serta para peserta lain dari kalangan
akademisi, umum dan pekerja seni, sejarah dan budaya.
Berbagai kritik atas
penulisan sejarah Indramayu terungkap dalam seminar ini. Meskipun tak bisa hadir,
tapi aku membaca buku yang dibagikan kepada para peserta seminar. Buku itu
judulnya sama dengan tajuk seminarnya. Buku itu aku dapatkan dari kawanku yang
menghadiri seminar.
Menurut narasumber,
sejarah Indramayu saat ini hanya bersumber dari Babad Dermayu. Sumber tersebut
kemudian diterjemahkan dalam suatu seminar sejarah dan budaya pada 1976. Satu
tahun kemudian, hasil seminar tersebut ditulis dalam buku dan
dijadikan referensi sejarah Indramayu hingga saat ini. Supali Kasim salah satu
narasumber mengaku meragukan hasil dari seminar tersebut.
"Karena
dalam seminar itu tidak ada akademisi yang ada hanya sejarawan tradisional yang
masing-masing membawa naskah babad. Sehingga tidak ada pengkajian akademis.
Yang ada naskah babad diterjemahkan kemudian dianggap sejarah". Katanya
menjelaskan dalam wawancara dengan wartawan Pikiran Rakyat.
Bagiku, nggak aneh dan
sah-sah saja jika dikatakan tidak ilmiah. Dalam pandanganku, sejarah
mengajarkan kita tentang menghargai perbedaan, karena sejarah merupakan sesuatu
yang tak pernah berujung. Sejarah tergantung pada cara kita menafsirkan fakta
kemudian menjadikannya data. Cara penafsiran ini tergantung dari metodologi
yang digunakan.
Karena pada saat
interpretasi, subjektivitas akan kental mewarnai para penulis sejarah. Sehingga
historiografi akan berbeda pada akhirnya. Terus dan terus sejarah akan berubah
seiring fakta dan data terbaru yang ditemukan, keengganan mengubah sejarah
adalah karena kepentingan kekuasaan (politis). Ini lah yang terjadi pada
konteks sejarah Indramayu.
Perdebatan sengit soal hari jadi Indramayu pada saat
itu, menghasilkan keputusan politis di DPRD, melalui pleno pada tanggal 24
Januari 1977. Rapat pelno menyetujui bahwa 7 Oktober 1527 ditetapkan sebagai hari lahir Indramayu.
Keputusan itu telah menjadi sejarah, dan keputusan itu sah-sah saja jika memang
harus diubah.
Sama halnya seperti UUD 45
yang telah “diacak-acak” beberapa tahun lalu demi kepentingan pembangunan dan
konteks jaman yang senantiasa berubah. Kebenaran mutlak tidak pernah ada dalam
kacamata sejarah. Itulah seharusnya yang kita pegang.
Apa yang disampaikan Agus Aris
Munandar, Supali Kasim dan Agung Nugroho adalah pandangan berbeda dari
masing-masing tentang polemik hari jadi Indramayu tersebut. Namun, memiliki benang
merah, bahwa hari jadi Indramayu 7 Oktober adalah tidak ilmiah, dan perlu
direvisi. Perlu diteliti ulang kebenaran yang terbaru, berdasarkan
sumber-sumber dan fakta-fakta yang ditemukan.
Pemkab Indramayu nampaknya
harus bekerja ekstra keras, karena sejarah hari lahir kotanya di gugat sebagian
warganya. Bagiku, sejarah Indramayu tidak kurang dan tidak lebih adalah keputusan politis. Maka, kupikir, harus direvisi dengan penelitian ulang sejarah dan
keputusan politik pula. Bagaimana menurut Anda? Punya usul? :D hehehhe.
Terlepas dari ilmiah dan
tidak ilmiahnya, kasus sejarah hari lahir kota yang digugat sebagian warganya
tidak hanya di Indramayu. Di Jakarta misalnya, hari jadi 22 Juni pun digugat
oleh Budayawan Betawi, Ridwan Saidi. Hari lahir Jakarta, merupakan keputusan
politis di DPRD DKI Jakarta pada tahun 1953. Pada saat itu terjadi perdebatan
sengit antara Prof. Husein Jayadiningrat dan Dr. Sukanto soal hari jadi
Jakarta.
Kupikir, argumentasi yang
disodorkan Bang Ridwan Saidi dalam menggugat hari jadi Jakarta lebih masuk akal
dan merepresentasikan nilai-nilai kemanusiaan. Tanggal 22 Juni adalah hari
pembantaian manusia betawi oleh Fatahillah, puluhan ribu orang meninggal. Lalu,
untuk apa 22 Juni dirayakan? Sedangkan pada saat itu ada pembunuhan massal.
Konteksnya berbeda dengan
Indramayu, 7 Oktober 1527 pada saat itu adalah tahun baru Islam, 1 Muharram 934
H. Jika kita lalu merayakannya, tidak ada bentuk bersenang-senang diatas
penderitaan manusia masa lampau. Bahkan, momentumnya adalah merayakan tahun
baru Islam.
Terakhir, gugatan hari
jadi Indramayu selalu bentuk kritik tanpa solusi. Saat beramai-ramai menggugat
hari jadi Indramayu, penggugatnya tak pernah memberi solusi kapan hari jadi
yang seharusnya. Jika tanggal 7 Oktober dianggap keliru dan tidak ilmiah. Lalu,
kapan seharusnya? Kami sebagai warga Indramayu hanya makin bingung dan resah.
Kebingungan dalam identitas daerahnya.
Berbeda dengan Bang Ridwan
Saidi saat menggugat hari jadi Jakarta, ia menyodorkan hari jadi yang benar
menurut pandangannya. Ketika ia dengan keras mengkritik dan menyampaikan
kesesatan dalam hari jadi Jakarta dan harus diubah. Saat ditanya, kapan hari
jadi yang seharusnya? Ia menjawab tanggal 3 September 1945, saat Presiden
Soekarno menetapkan Jakarta sebagai ibu kota RI.
Beginilah, aku dan wong
Dermayu lainnya hanya dibuat bingung dengan apa yang dipaparkan. Atau bagaimana
menurut Anda?
***
Meneer Pangky
Blogger & Wirausaha
Via
Indramayu
Posting Komentar