Desa
Sejarah
Pada zaman dahulu ada seorang pangeran bernama Gedeng Pasir. Dia menuntut ilmu kepada Pangeran Cirebon selama 3 tahun. Pada suatu hari Ki Gedeng Pasir disuruh membersihkan pekarangan, tetapi si pembantu itu ingin menguji Pangeran Cirebon.
Seharusnya rumput yang dibersihkan malah tanaman pisang yang dibersihkannya sampai tak tersisa. Ki Gedeng Pasir dimarahi dan diminta mengembalikan pohon pisang tersebut. Pagi harinya pohon pisang itu hidup kembali.
Melihat kejadian itu pangeran berkesimpulan bahwa muridnya itu bukan orang sembarangan. Lama kelamaan orang itu disuruh pindah ke sebelah barat, istri kedua sang pangeran pun dibawa, rupa-rupanya istri kedua tersebut memendam rasa kepada Ki Gedeng Pasir.
“Pergilah cepat-cepat pada hari ini juga, pesanku seandainya dalam perjalanan nanti kau terjerembab maka berilah nama tempat itu Depok, dan jangan lupa berhati-hatilah terhadap istriku ini karena sedang mengandung 3 bulan, perempuan ini akan melahirkan seorang putri turunan ratu”.
“Baiklah Pangeran”, jawab pembantu itu.
Beberapa waktu kemudian perempuan itu melahirkan bayi. Ceritanya bayi itu sudah besar dan sudah pandai pula bercakap-cakap. Ia menanyakan pada ibunya.
“Ibu, mengapa saya diberi makan nasi setiap hari begini saja?”, ibunya menjawab.
“Nang Cirebon”.
Anak itu jadi tidak sabar lagi mendengar berita yang demikian, maka ia pun ingin pergi, tetapi tidak tahu tujuan, akhirnya sampailah di sebuah hutan.
Di hutan ia berjumpa dengan Raja Sumedang, kemudian ditanyakan asal-usul anak tersebut.
“Duh Gusti, aku adalah anak hutan, yang tak punya ayah dan ibu, lagi pula aku tak bernama”. Demikian jawab anak itu.
Raja berkata pula, “Saya mau mengurus engkau, asalkan mau mengambil dugan (kelapa muda), tetapi tidak boleh dengan perantara benda lain, manjatpun tidak boleh, engkau harus memetik dugan itu”.
Mendengar jawaban demikian anak tadi menangis karena sedihnya. Dibawah pohon kelapa itu ia menangis sambil mengusap-usap pohon itu, tiba-tiba pohon itu menjadi agak pendek. Anak itu aneh melihatnya, dengan gembira ia memetik dugan itu kemudian diberikannya kepada raja sumedang.
Raja kagum melihat anak itu dapat memetik kelapa muda tanpa pertolongan benda lain, tapi akhirnya anak itu diusir. Maka pergilah anak itu sambil menangis sepanjang jalan karena sedih. Akhirnya sampailah ke desa Bewak (pinggir kali Cimanuk).
Melihat sungai, anak tadi ingin bunuh diri dengan tejun ke air. Beberapa hari ia hanyut terbawa arus sungai. Sampailah ia di Desa Pamayahan, kebetulan waktu itu ada Lebe mau mengambil air wudlu untuk sembahyang, ia melihat akan anak laki-laki yang hanyut hanyut itu.
Maka anak itu diangkatnya, kemudian ditanya anak siapa. Anak itu menjawab bahwa tidak punya ayah dan ibu, lagipula belum punya nama. Sejak itulah maka anak itu disebut Urang, karena diperolehnya dari sungai.
Seiring berjalannya waktu, Si Lebe terus mengasuh dan mendidiknya. Tak terasa sekarang sudah besar, Lebe bermaksud akan mengawinkan urang dengan anaknya. Si Urang setuju, sebagai balas jasa kepada si Lebe. Setelah menjadi menantu pak Lebe. Pada suatu hari urang disuruh mengambil air, tetapi perbuatan urang itu aneh sekali, dia mengangkat air dengan keranjang.
Perbuatan si Urang dikagumi semua orang di kampung itu, sehari-hari orang membicarakan hal ikhwal si Urang. Akhirnya berita itu menjadi buah bibir di Desa Pamayahan, ternyata Si Urang itu bukan orang yang sembarangan. Si Lebe pun tidak lagi menugasi menantunya untuk mengambil air di sungai.
Beberapa tahun kemudian, si Urang sudah punya anak dua orang laki-laki dan perempuan, diberi nama Bagus Rangin yang laki-laki, sedang yang perempuan di angkat menantu oleh orang Sumber. Pada suatu hari penganten itu ‘ngirim’ ibunya ke Pamayahan.
Ditengah jalan ada yang menghadangnya, perempuan itu di bunuhnya. Sebelum mati ia berpesan berilah nama tempat itu Lajer. Penganten tadi memakai sanggul kembang, sanggul tersebut jatuh ke tanah. Tempat jatuhnya sanggul kembang, sebagai penanda tempat tersebut dinamakan ‘wanasari’ (wana: hutan, sari: wangi dari bunga).
Penganten pria lari dikejar perompak yang menghadang, lambat laun jatuh juga, lalu badannya dimutilasi, tempat disiksa kemudian diberikan nama, gadel. Makna gadel adalah iris-irisan.
Pangeran Cirebon mendengar berita bahwa keturunannya ada di pamannya, bahkan sudah mempunyai anak, maka ia pun mengutus rakyatnya untuk membunuh Bagus Rangin di Pamayahan. Sedangkan kepalanya harus di bawa ke Cirebon. Si Urang takut mendengar berita itu, lalu anaknya di suruh pergi ke sebelah barat Pamayahan.
Kalau ada kebon ceplik berhentilah disitu dan bertapalah disitu kemudian tempat itu terkenal dengan nama Melanggangan. Disitu ia bertemu dengan utusan dari Cirebon, dikatakannya bahwa dia disuruh Pangeran Cirebon untuk membunuh Bagus Rangin.
Tegalan kebon ceplik itu kemudian dinamakan ‘Larangan’. Anak itu dipotong kepalanya dan di bawa ke Cirebon. Setibanya di Cirebon kepala itu berubah manjadi batang pisang.
Itulah akibat orang yang berbuat jahat, akan dibalas dengan kejahatan pula. Sebelum Bagus Rangin meninggal, dia berpesan supaya dikubur di Pamayahan dan tempat itu minta diberi nama Ki Buyut Urang. Sampai sekarang Ki Buyut Urang ini masih diperingati, terutama tiap-tiap tanggal 12 Maulud.
***
Sumber: Wawancara dengan Bapak Amin (Pamayahan)
Asal-Usul Ki Buyut Urang Di Pamayahan
Situs Makam Ki Buyut Urang Pamayahan. Foto/Akhmad Fauzi |
Seharusnya rumput yang dibersihkan malah tanaman pisang yang dibersihkannya sampai tak tersisa. Ki Gedeng Pasir dimarahi dan diminta mengembalikan pohon pisang tersebut. Pagi harinya pohon pisang itu hidup kembali.
Melihat kejadian itu pangeran berkesimpulan bahwa muridnya itu bukan orang sembarangan. Lama kelamaan orang itu disuruh pindah ke sebelah barat, istri kedua sang pangeran pun dibawa, rupa-rupanya istri kedua tersebut memendam rasa kepada Ki Gedeng Pasir.
“Pergilah cepat-cepat pada hari ini juga, pesanku seandainya dalam perjalanan nanti kau terjerembab maka berilah nama tempat itu Depok, dan jangan lupa berhati-hatilah terhadap istriku ini karena sedang mengandung 3 bulan, perempuan ini akan melahirkan seorang putri turunan ratu”.
“Baiklah Pangeran”, jawab pembantu itu.
Beberapa waktu kemudian perempuan itu melahirkan bayi. Ceritanya bayi itu sudah besar dan sudah pandai pula bercakap-cakap. Ia menanyakan pada ibunya.
“Ibu, mengapa saya diberi makan nasi setiap hari begini saja?”, ibunya menjawab.
“Nang Cirebon”.
Anak itu jadi tidak sabar lagi mendengar berita yang demikian, maka ia pun ingin pergi, tetapi tidak tahu tujuan, akhirnya sampailah di sebuah hutan.
Di hutan ia berjumpa dengan Raja Sumedang, kemudian ditanyakan asal-usul anak tersebut.
“Duh Gusti, aku adalah anak hutan, yang tak punya ayah dan ibu, lagi pula aku tak bernama”. Demikian jawab anak itu.
Raja berkata pula, “Saya mau mengurus engkau, asalkan mau mengambil dugan (kelapa muda), tetapi tidak boleh dengan perantara benda lain, manjatpun tidak boleh, engkau harus memetik dugan itu”.
Mendengar jawaban demikian anak tadi menangis karena sedihnya. Dibawah pohon kelapa itu ia menangis sambil mengusap-usap pohon itu, tiba-tiba pohon itu menjadi agak pendek. Anak itu aneh melihatnya, dengan gembira ia memetik dugan itu kemudian diberikannya kepada raja sumedang.
Raja kagum melihat anak itu dapat memetik kelapa muda tanpa pertolongan benda lain, tapi akhirnya anak itu diusir. Maka pergilah anak itu sambil menangis sepanjang jalan karena sedih. Akhirnya sampailah ke desa Bewak (pinggir kali Cimanuk).
Melihat sungai, anak tadi ingin bunuh diri dengan tejun ke air. Beberapa hari ia hanyut terbawa arus sungai. Sampailah ia di Desa Pamayahan, kebetulan waktu itu ada Lebe mau mengambil air wudlu untuk sembahyang, ia melihat akan anak laki-laki yang hanyut hanyut itu.
Maka anak itu diangkatnya, kemudian ditanya anak siapa. Anak itu menjawab bahwa tidak punya ayah dan ibu, lagipula belum punya nama. Sejak itulah maka anak itu disebut Urang, karena diperolehnya dari sungai.
Seiring berjalannya waktu, Si Lebe terus mengasuh dan mendidiknya. Tak terasa sekarang sudah besar, Lebe bermaksud akan mengawinkan urang dengan anaknya. Si Urang setuju, sebagai balas jasa kepada si Lebe. Setelah menjadi menantu pak Lebe. Pada suatu hari urang disuruh mengambil air, tetapi perbuatan urang itu aneh sekali, dia mengangkat air dengan keranjang.
Perbuatan si Urang dikagumi semua orang di kampung itu, sehari-hari orang membicarakan hal ikhwal si Urang. Akhirnya berita itu menjadi buah bibir di Desa Pamayahan, ternyata Si Urang itu bukan orang yang sembarangan. Si Lebe pun tidak lagi menugasi menantunya untuk mengambil air di sungai.
Beberapa tahun kemudian, si Urang sudah punya anak dua orang laki-laki dan perempuan, diberi nama Bagus Rangin yang laki-laki, sedang yang perempuan di angkat menantu oleh orang Sumber. Pada suatu hari penganten itu ‘ngirim’ ibunya ke Pamayahan.
Ditengah jalan ada yang menghadangnya, perempuan itu di bunuhnya. Sebelum mati ia berpesan berilah nama tempat itu Lajer. Penganten tadi memakai sanggul kembang, sanggul tersebut jatuh ke tanah. Tempat jatuhnya sanggul kembang, sebagai penanda tempat tersebut dinamakan ‘wanasari’ (wana: hutan, sari: wangi dari bunga).
Penganten pria lari dikejar perompak yang menghadang, lambat laun jatuh juga, lalu badannya dimutilasi, tempat disiksa kemudian diberikan nama, gadel. Makna gadel adalah iris-irisan.
Pangeran Cirebon mendengar berita bahwa keturunannya ada di pamannya, bahkan sudah mempunyai anak, maka ia pun mengutus rakyatnya untuk membunuh Bagus Rangin di Pamayahan. Sedangkan kepalanya harus di bawa ke Cirebon. Si Urang takut mendengar berita itu, lalu anaknya di suruh pergi ke sebelah barat Pamayahan.
Kalau ada kebon ceplik berhentilah disitu dan bertapalah disitu kemudian tempat itu terkenal dengan nama Melanggangan. Disitu ia bertemu dengan utusan dari Cirebon, dikatakannya bahwa dia disuruh Pangeran Cirebon untuk membunuh Bagus Rangin.
Tegalan kebon ceplik itu kemudian dinamakan ‘Larangan’. Anak itu dipotong kepalanya dan di bawa ke Cirebon. Setibanya di Cirebon kepala itu berubah manjadi batang pisang.
Itulah akibat orang yang berbuat jahat, akan dibalas dengan kejahatan pula. Sebelum Bagus Rangin meninggal, dia berpesan supaya dikubur di Pamayahan dan tempat itu minta diberi nama Ki Buyut Urang. Sampai sekarang Ki Buyut Urang ini masih diperingati, terutama tiap-tiap tanggal 12 Maulud.
***
Sumber: Wawancara dengan Bapak Amin (Pamayahan)
Via
Desa
Dua blog saya baca, sama ngawurnya cerita seperti ini. Telusurilah sejarah dari ahli sejarah. Jangan asal orang tua. Karena umur tidak mengandung ilmu dan ilmu tidak mengandung umur.
BalasHapusDongeng, legenda dan sejarah itu tidak sama. Meski saling bertalian. Terimakasih sudah berpendapat.
BalasHapus