Opini
Budaya Politik Indonesia
Melihat
perilaku para elite hari ini, yang mempraktekkan budaya politik yang
"rendah". Profesi politisi menjadi profesi yang dibenci sekaligus
dihujat. Antara terhormat dan terhina.
Sarat dengan
pembohongan, menghalalkan segala cara, memanipulasi, mengkhianati teman, dan
korup. Maka, nggak usah heran jika anti politik menjadi kesadaran kolektif anak
bangsa.
Saat pesta
demokrasi digelar, aku tak ikut memilih. Ada kegelisahan dan rasa sebal melihat
hamburan uang yang terang-terangan. Untuk membeli suara dan menyogok kebijakan.
Logikaku
berbenturan. Dimana sisi logisnya? Untuk mendapatkan dukungan suara, mengapa
hak pilih itu harus ditempuh dengan cara jual beli suara.
Lebih lucu,
para pemilih dengan terang-terangan meminta bayaran untuk untuk suaranya itu.
Sedang, yang menyedihkan wasit-nya hanya diam saja melihat keadaan seperti itu.
Parah banget.
Tidak ada
orang terpilih yang kemudian dianulir, karena menyogok. Semuanya dianggap biasa
saja, sesuatu yang normal. Politisi adalah kasta tertinggi dalam tatanan
masyarakat saat ini.
Mereka
adalah pembuat hukum. Para eksekutif puncak pun, kebanyakan adalah para
politisi. Jadi, pembuat hukum, perencana negara, dan pelaksananya adalah para
politisi.
Dengan
demikian, seharusnya politisi adalah golongan anak bangsa terbaik dari yang
terbaik. Best of the best people. Mereka adalah uswah yang hasan dan hasanah.
Teladan yang harus ditiru oleh seluruh rakyat. Integritasnya tak diragukan,
ilmunya mumpuni, dan intelektualitas yang mencerahkan dan bisa menyelesai
persoalan-persoalan bangsa.
Bukan mereka
yang jago bersilat lidah, kantor pejabat adalah gudang pangan, bukan gudang
garong.
Bagaimana
mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang-orang yang secara normal kita anggap
‘tidak baik’. Itu logika yang hancur. Hancur runtuh.
Namun,
kemudian aku tersadar, bahwa mereka duduk di sana ternyata tidak
"ujug-ujug". Ada yang memilihnya. Siapa yang memilih orang-orang itu
duduk di sana? Jawabannya, membuat lebih gelisah. Mereka di sana karena
"kita".
Mengapa kita
memilih mereka? Sebagian besar, karena tidak tahu, sebagian lain karena tidak
mau tahu. "Emong ruwed". Aku akui termasuk golongan kedua itu.
Tentu saja,
apa yang disampaikan ini hanya simpulan umum yang tak berdasar. Sebab, banyak
juga politisi yang baik dan jujur.
Mereka
adalah putra-putri terbaik bangsa. Namun, semua sepakat kelompok politisi baik
dan jujur ini kalah jumlah.
Mengapa kita
memilih mereka? Sebagian besar, karena tidak tahu, sebagian lain karena tidak
mau tahu. "Emong ruwed". Aku akui termasuk golongan kedua itu.
Tentu saja,
apa yang disampaikan ini hanya simpulan umum yang tak berdasar. Sebab, banyak
juga politisi yang baik dan jujur.
Mereka
adalah putra-putri terbaik bangsa. Namun, semua sepakat kelompok politisi baik
dan jujur ini kalah jumlah.
Hasil telaah
kisah politisi jaman kekhalifahan Islam dan kisah para nabi menyadarkanku.
Dulu, rakyat selalu mengawal dan proaktif dalam politik. Mereka ikut juga
memikirkan negara.
Mengapa hari
ini kita hanya berpandangan, bahwa kewajiban kita hanya membayar pajak dan
tertib administrasi? Agar di-cap sebagai warga negara yang baik.
Saat kita
membayar pajak, kemudian uang pajak itu kita serahkan saja. Tanpa pernah
mengawasi. Atau kita titipkan untuk dikelola oleh-oleh orang-orang yang tidak
baik.
Selama itu
pula, kita sering mengeluh di sana-sini. Bahwa uang itu akhirnya dikorupsi.
Namun, acuh tak acuh dan "emong ruwed" siapa-siapa saja yang kita
pilih. Lalu, kita diamanahi uang pajak tersebut. Logika yang bener-bener rapuh.
Sepengetahuanku,
kita selalu dicekoki, bahwa Indonesia adalah negara kaya. SDA yang melimpah dan
letaknya yang strategis, dalam zamrud dunia. Namun, lucunya pendapatan per
kapita kita kalah telak jika dibandingkan dengan negara lainnya. Sama Singapura
saja yang tidak punya sumber air sendiri (dari PAM Malaysia) kita nggak ada
apa-apanya. Bagai bumi dan langit.
Daron
Acemoglu dan James A Robinson, yang keduanya merupakan social scientist dari
MIT dan Harvard pernah beragumen, bahwa sebuah bangsa yang kaya ataupun mlarat
bukanlah disebabkan karena kekayaan alamnya, bukan pula karena keunggulan
geografisnya.
Acemoglu dan
Robinson bahkan ikut menguatkan dengan argumennya yang lengkap. Membedah
sejarah peradaban manusia. Lalu, intinya menyatakan sebuah bangsa kaya atau
mlarat bukanlah disebabkan karena kekayaan alamnya, bukan pula karena
keunggulan geografisnya. Melainkan sistem politik, sistem ekonomi dan kebebasan
masyarakatnya.
Politik itu
ternyata menyentuh seluruh sendi kehidupan. Politik bisa menyejahterakan, namun
juga bisa menyengsarakan. Oleh karenanya, kenapa kita anti-politik?
Menurutku,
untuk Indonesia yang lebih maju, setiap warga negara harus melek politik. Yang
terdidik harus mau tahu. Tidak perlu jadi politisi, namun kalau ada ‘orang
baik’ kita harus kawal mendukungnya, untuk duduk di-sana. Jangan "emong
ruwed".
Hal itulah
yang dilakukan oleh Raja' bin Haiwah, seorang ahli fiqih, ulama besar masa
Dinasti Umayah. Raja' menilai bahwa Umar bin Abdul Aziz memiliki kompetensi dan
persyaratan yang mumpuni untuk memimpin negara.
Tapi Raja'
juga memahami bahwa Umar tidak mungkin meminta jabatan ini. Ia melihat bahwa
orang seperti Umar itu harus munculkan ke permukaan. Baru kemudian setelah
muncul diberikan dukungan yang kuat.
Nah, apa
yang dilakukan Raja' tadi seharusnya patut kita contoh. Kita yang terdidik
harus mengajarkan kepada yang ‘tidak tahu’, bagaimana caranya memilih dengan
benar. Jangan mau disogok. Pilih ‘orang baik’, pelajari rekam jejaknya, karena
mereka yang akan menentukan hidup kita, sejahtera atau mlarat. Jadi yang tidak
tahu menjadi tahu.
Demokrasi
adalah sistem yang bisa mengalahkan suara elite melawan suara rakyat. Sebagai
negara, perjalanan Indonesia masih panjang. Kita harus bersabar. 20 tahun
hingga 50 tahun adalah perjalanan yang pendek bagi sebuah bangsa.
Sebagai
bangsa, kita sudah berada di jalur yang benar. Demokrasi adalah pilihan yang
benar. Tugas kita sekarang adalah melek politik dan mengajarkan sebisa mungkin
kepada masyarakat yang ‘emong ruwed’ supaya ikut memikirkan negara.
Melek dan
bicara politik tidak perlu harus jadi politisi. Semua orang punya bakat dan
minat-nya masing-masing. Kalau semuanya jadi politisi, siapa yang menjadi guru,
ustad, pedagang, blogger, nelayan, petani dan TKI/TKW?
Kita harus
berpartisipasi terhadap sistem demokrasi ini. Harus proaktif. Aku yakin tak
semuanya setuju denganku, tapi kupikir aku sudah menyelesaikan tugasku sebagai
tukang branding.
***
Via
Opini
Posting Komentar