esai
Celengan
Jamblang konon tercipta dari ruang mang-mung Cerbon Pegot[1] antara tahun 1818 hingga 1833. Ujung dari sebuah perenungan
sejarah ketika keterpurukan menjadi kelir kolbu Menusa Cerbon. Saat itu, 17
Nopember 1818, gerimis tipis di ujung malam jatuh di tanah basah. Hujan baru
reda.
Cerbon Pegot Usai Eksekusi Santri Tahun 1818
Dua tokoh
‘pembrontak 1818 Cerbon’ yaitu Santri Bagus Serit dan Nariem tersenyum. Kaki
keduanya dirantai. Keduanya melangkah menuju tiang gantung eksekusi. Jemarinya
zikirkan kalimat-kalimat tauhid hingga tali temali melingkari leher kedua
mujahid cikal bakal nasionalisme Indonesia itu.
Detik menit
berlalu. Ketika sebuah hentakan keras menjerat leher Bagus Serit dan Nairem. Di
detik itulah, kiser Cerbon Pegot yang dilantunkan para santri Cerbon mengaliri
tanah Cerbon hingga jauh. Hingga ke batas ruang tak terhingga.
Sun besuk mariya eman
Yen wonten grananing sasi
Srengenge kembar lelima
Lintang alit gumilar sing
Sawiji tan hana urip
Mung sira kelawan isun
Matiya mungging suwarga
Naraka bareng ngleboni
Akir jaman benjang belah kelawan sira [2]
Menusa
Jamblang mustahil melupakan suara lirih pedih itu. “Mung sira kelawan
isun/Matiya mungging suwarga. Bermula dari sinilah, lamunan tentang Mung sira
kelawan isun Matiya mungging suwarga menjadi perhelatan kolbu. Kesadaran
sufistis pun mencahayai lelaku utama manusia Cerbon. Manusia tercipta dari
tanah dan akan kembali ke tanah.
Maka menusa
Jamblang kumpulkan lempung, membentuk sesuatu, bisa khewan, wayang, dan entah
apalagi hingga menjadi celengan. Padahal saat itu, sudahpun ada celengan dalam
ruas-ruas bambu yang terpotong. Kenapa membuat dari tanah? “Sangu urip iku dudu
emas dudu pari[3],” tuturnya lirih,”
Tapi celengan akherat. Celengan suarga.
Ini
diapresiasi sebagai hentakan-hentakan tawaf khas menusa cerbon saat tuturkan
perintah sholat lima waktu (Srengenge kembar lelima), perenungan terhadap
penciptaan alam raya, kemanunggalan makrokosmos dan mikro kosmos (Lintang alit
gumilar sing), keesaan Zat Allah SWT (Lintang alit gumilar sing) hingga
berharap atas ridho Allah SWT mereka berharap fawat masuk Surga (Mung sira
kelawan isun/Matiya mungging suwarga).
Celengan
Jamblang paling tidak sebuah kearifan nalar yang bertawaf pada tahun-tahun
murung taun petheng[4] 1818-1833.
Mereka manyadari bahwa sejatining manusia itu menjatidiri saat menjadi ruang
dialektika yang steril. Di dataran ini ada komunitas perbincangan baik bersifat
horisontal maupun vertikal yang terus menerus diposisikan sebagai substansi
lelaku kolbu Cerbon.
Menusa seperti halnya celengan jamblang dihadirkan tak
cuma sebagai fenomena supernatural yang jatuh dari Surga, juga bisa jadi
merupakan gejala kultural yang multi dimensi.
Di titik
ini, jagad cilik (mikro kosmos) merupakan bagian dari jagad gede (makro
kosmos). Hingga tak aneh bila Menusa Cerbon berpendapat bahwa manusia,
tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, sungai, gunung, para lelembut, roh adalah unsur
jagad yang berada dalam hubungan keteraturan, keajegan dan keselarasan. Di
dataran pemikiran inilah sepatutnya kita memaknai Cerbon Pegot,”Sawiji tan hana
urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga,”.
Fenomena
keselarasan jagad gede dan jagad cilik ini juga terdeskripsi dalam praktik
aliran kiser Cerbon Pegot itu. Bait-bait di atas ditembangkan tanpa tetabuhan.
Hanya cengkok perih suara pesinden. Hanya suara muram dari ruang hampa yang
steril. Tiap kali sinden menyanyikan cerbon pegot maka yang terlintas adalah
subuh sunyi Nopember 1818 saat tali eksekusi melingkari leher dua santri Cerbon
Ki Bagus Serit dan Mariem.
Inilah
esensi dibalik mitologi Celengan Jamblang dan Kiser Cerbon Pegot!
Manusia
Cerbon yang kulturalis adalah manusia yang tumbuh dan berkembang dalam lanskap
keselarasan dan keserasian. Mata air kinasih kerap terpancar dari
intersubyektivitas sejatining manusia. Sebab manusia adalah mahkota kultural.
Yang ajaib, mahkota kultural itu pada hakikatnya simbol kesunyian dan kesendirian.
Manusia
adalah bait-bait Cerbon Pegot yang terpuruk di sudut-sudut gelap. Di titik
inilah muncul kesadaran sekaligus solidaritas yang pelan-pelan menyemangati
untuk terus membuat celengan jamblang. Itulah sebabnya garis linier antara
manusia Jamblang, celengan Jamblang dan pembrontakan Santri Cerbon 1818 tidak
bersifat eksklusiv, tapi bergerak dalam lingkar-lingkar antarmahkota kultural
itu.
Apa artinya?
Celengan jamblang dan Kiser Cerbon Pegot ajarkan kepada sejarah bahwa manusia
pada mulanya hanya sekedar tetes nista. Kendati manusia tercipta, manusia
adalah mahkota serta puncak alam semesta.
Manusia
adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang diciptakan dengan sifat-sifat
Ketuhanan. Manusia adalah penjelmaan zat mutlak yang paling penuh dan paling
sempurna. Ide ini terus berkembang di pusaran pemikiran para santri Kedongdong,
Majalengka, beberapa tahun jelang pembrontakan santri Cerbon tahun 1818.
Di dataran
pemikiran ini, menusa Cerbon ditempatkan pada dimensi relegius yang kokoh. Ia
terposisikan pada konstruksi pusat periferial keajegan alam. Seperti halnya air
yang menjadi penghubung antara ombak dan laut maka menusa cerbon pegot
merupakan titik balik bagi perjalanan kembali kepada Allah. Sawiji tan hana
urip/Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga.
***
Tandi Skober, penulis
lepas, menulis novel ‘Pelacur, Politik
dan Hehehe’. Di Muat di Majalah Horison.
[1] Cerbon
yang terputus.
[2] Esok,
ketika diriku dihentikan kasih sayang/saat gerhana bulan/matahari kembar lima/terhampar
bintang bercahaya/tak satu pun ada yang hidup/hanya kamu dan aku/wafat menaiki
langit-langit surga/andaipun kita masuk neraka/di akhir jaman kelak kita akan
saling membelah rasa.
[3] Bekal
hidup itu bukan emas dan padi.
[4] Tahun
kegelapan.
Via
esai
Posting Komentar