Cerpen
Cerpen | Amplop dari Korea
Suatu sore di sebuah desa, pemuda setengah baya sedang beristirahat sepulang dari sawahnya. Tak seorangpun ada di rumah. Ia memandang jauh ke rumahnya yang megah itu. Syukurlah aku sudah punya anak! Dan anak itu punya kakek dan nenek! Anak kecil, putranya, beberapa hari yang lalu mengatakan ia kangen setengah mati sama kakeknya. Maka pergilah putranya yang manja itu. Ia pergi dengan ibunya, istri yang cerewet.
Pemuda kekar itu sendiri saja. Jika tidak, tentu anak istri telah menyambutnya datang. Sambutan yang menjemukan. Duit, duit lagi. Minta ini dan minta itu. Namun, anak istrinya sekarang tidak di rumah. Ia merebahkan tubuh sepuasnya di teras rumah. Benar-benar bebas. Menikmati sore, angin, dan tanaman di halaman rumah.
Rumah itu terletak di ujung gang, dekat dengan sawah, tak banyak tetangga. Tak ada yang akan melihatnya. Di belakang rumah ada kebun sayuran, disilang dengan pohon-pohon mangga. Di pojok pekarangan ada kandang ayam dan bebek. Sungguh berat pekerjaanya! Jika istri di rumah, ia akan disuruh lagi untuk memberi makan ternak, menyiram kebun. Ada-ada saja. Gas habis, ternak belum dikasih makan! Ia harus cepat-cepat bangun, jika tak ingin kena damprat cerewetan istri.
Kerja itu memang perlu, ia tahu. Hanya saja anaknya doyan jajan, istrinya super cerewet. Ia yang pulang dari sawah, masih saja dinilai sebagai pemalas. Ah terserahlah! Sekarang istrinya tak ada di rumah. Aku ini bukan pemalas, pikir pemuda itu. Aku anak cucu dari orang pekerja keras. Tak heran, buyutku seorang kaya raya di desa ini. Aku ini pekerja keras! Ia pun menyulut rokoknya, ia sedot dalam-dalam. Huuuuuuuuuuuuffft! Nikmatnya!
“Tapi buktikanlah, wahai pemuda!” Tiba-tiba ia berpikir. Ya, berkata itu hal yang mudah. Sedang, bukti teramat sulit diwujudkan. Namun, ia tak tahu kerja apa yang dapat dikerjakan pada saat ini. Katakanlah, misalnya gegaleng. Hal itu sudah ia lakukan tadi siang. Atau memberi makan ayam dan bebek. Sia-sia saja lah, istrinya juga tak ada di sini. Lagian, ayam dan bebek tadi pagi pakannya sudah di-double.
Tiba-tiba ia bangkit. “Demi Tuhan!”, ia berseru. “Celakalah yang menyia-nyiakan waktu!”. Ia ingat. Meski berbuat sesuatu. Berbaring bermalasan bukan pekerjaan seorang muslim yang baik. Ia sudah mendengar kabar, orang-orang desa sedang rapat. Mereka ingin mendirikan perguruan tinggi dan rumah sakit. Apa sebabnya? Orang desa, anak-anaknya banyak yang kuliah. Orang sakit di desanya banyak berobat ke kota, bahkan ke luar kota. Hanya untuk pintar dan sehat, orang-orang desa harus menjual tanah dan sawahnya.
Konon, dari masalah seperti itu orang-orang desa ingin menuntut hak-nya. Jangan hanya dimonopoli oleh orang-orang kota saja. Sarjana, dokter, dan bidan ratusan jumlahnya di desa. Orang desa ingin pintar dengan murah. Orang desa ingin sehat dengan murah. Karena rumah sakit kejauhan, jangan lagi ada orang desa sakit! Kemuadian mati dalam perjalanan. Orang desa sepakat. Ada yang menyediakan lahan. Banyak juga yang menyediakan bahan. Telah terkumpul kayu, semen, batu bata, pasir, keramik, genteng.
Pantaskah baginya, muslim lalu bermalasan? Tidak. Berbaktilah kamu di jalan Tuhan dengan harta dan jiwamu! Bermanfaatlah untuk saudaramu dan manusia. Ia gelisah. Kalau istrinya di rumah ia bisa mufakat. Seluruh kekayaannya, yaitu uang untuk makan, hasil sawah semuanya ada pada istrinya. Pada dirinya hanya kesenangan dan kesukaan secukupnya dipenuhi. Teh, kopi, rokok, dan fasilitas wifi.
Apakah yang akan disumbangkan untuk program mencerdaskan dan menyehatkan orang-orang desa itu? Jika di rumah juga, belum tentu istrinya setuju. Tapi, ia tak ingin melewatkan kesempatan beramal itu. Sebenarnya, pikiran dirinya bisa pula jernih, hanya kebiasaan mendapatkan damprat dari istri, telah membuatnya takut berpikir. Berpikir itu menyusahkan bagi suami takut istri macam dirinya.
Jadi, ia berdiri. Melepaskan pandangan keseluruh alam, rumah dan pekarangannya itu. Disebutnya seluruh alam dan turun dari teras. Cahaya matahari redup di barat mempermainkan daun-daun. Sekali-sekali berkas sinar jatuh ke punggung. Ia senang. Menikmati kebebasannya dengan berjalan, melangkahi tanaman sayur.
Istrinya akan nyewot kalau ia di rumah. Selalu ia cerewet apabila dilihatnya ia berjalan di kebun tanpa membersihkan rumput atau menyiramnya. Dibelakang rumah adalah sawah. Padi yang menghijau sangat mempesona. Mana ada kesempatan memandangnya lama-lama kalau istrinya dirumah! Ia tak pernah jemu melamun memandang sawah. Hanya karena larangan isterinya, ia tak lagi melakukannya. Nanti masuk angin, nanti kesambet. Melamun itu hanya pemilik jiwa-jiwa malas.
Ia berhenti. Di depannya ada bayangan pesawat. Lalu pabrik-pabrik. Ia teringat temannya yang sukses menjadi TKI. Pulang membangun rumah, membeli sawah, dan membeli mobil. Aku tak perlu be-rembug dengan istri! Mudah saja, pergi ke Korea. Separuh untuk istri dan separuh untuk beramal. Mereka harus pintar dan sehat. Hasilnya dibelikan sawah, diwakafkan. Lalu, hasil wakaf ini untuk beasiswa atau donasi berobat orang desa.
Istrinya tak akan tahu semuanya. Sesudah dia pulang jadi TKI barulah tahu, pekerjaan apa yang telah dibuat oleh suaminya! Betapa senang ia nanti, seorang perempuan yang saleh. Separuh gaji itu kita sumbangkan untuk mencerdaskan dan menyehatkan orang desa. Istri akan senang, memuji syukur. Hidup di dunia, harus beramal sebagai bekal di akherat yang serba pasti.
Orang-orang desa yang muslim kian terbelakang, baik dari segi pemikiran maupun budaya. Pikiran-pikiran orang muslim di desa berbanding terbalik dengan orang muslim masa lampau. Orang-orang desa hanya suka berdebat saja. Apa yang hendak diperdebatkan? Bukankah debat juga butuh ilmu untuk berargumen? Orang-orang di desa sibuk membuktikan kuasa Tuhan dengan mencari lafal Allah pada batu, awan, daging hewan dan sebagainya. Padahal, dengan menggali ilmu kita akan mengetahui kebesaran Tuhan.
Orang-orang desa berlebihan pada agama hingga mereka lupa pada urusan duniawi. Tuhan memberikan alam yang kaya, budaya yang beragam, otak yang cerdas, namun itu semua tidak digunakan. Mudah bagi mereka menuduh seseorang atau kelompok orang yang tidak sejalan dengan sebutan bid’ah, sebutan sesat dan srbutan kafir. Beberapa orang-orang desa, rukun iman hanya sebatas dipercayai bukan dibuktikan.
Bagi mereka masalah terbesar ketika kekafiran melanda desa. Tetapi mereka lupa bahwa sawahnya habis, teknologinya diimpor dari negeri lain, otak cerdasnya dipakai oleh negeri lain. Tenaganya diperah. Kafir memang tidak enak dimulut, tetapi enak di bagian tubuh yang lain. Di telinga kita menikmati telepon genggam, di tangan kita menikmati internet, di pantat kita menikmati mobil, dan sebagainya. Sampai kapan orang Islam di desa susah diajak bergerak maju?
Ya, dia sendirilah yang akan menjadi TKI. Kehilangan separuh gaji tak perlu disesalkan. Upah itu akan diletakkan di suatu tempat terhormat : kemajuan umat Islam di desa. Setiap hari akan disaksikan orang-orang memuji kebesaran Tuhan dan Rasul-Nya. Itu akhir yang baik bagi sebuah lembar uang kertas!
Jauh lebih baik daripada masuk dalam rekening bank. Apalagi bank orang kafir, yang nanti akan digulirkan menjadi pinjaman kredit riba! Itu sudah wajar, keringatku diniatkan untuk jalan Allah. Sebuah keringat yang dihasilkan dari makhluk-Nya. Yang ditiupkan ruh oleh-Nya. Dibesarkan dengan kehendak-Nya. Makhluk-Nya ini akan membuktikan dengan benda yang nyata, sekali dalam hidupnya dapat juga ia menyumbang untuk Tuhan.
Seharian itu ia merenungkan, apakah ia benar-benar akan sanggup menjadi TKI. Ia gembira. Telah dibayangkannya dalam khayal. Isterinya yang cerewet itu akan memuji-muji kebijaksanaannya itu. Amal yang demikian itu akan abadi. Pahalanya akan dihitung sampai akhir jaman. Besoknya lagi kalau ia di rumah akan diberitakan itu.
**
Lima tahun tak terasa ia menjadi TKI di negara ginseng. Setiap bulan ia selalu mengirimkan upah pokoknya, sebesar sepuluh juta rupiah. Istrinya tak pernah tahu, upah lemburnya ia simpan dalam sebuah amplop. Amplop itu masukkan dalam sebuah koper. Tidak, istrinya tak tahu. Beasiswa dan biaya berobat istriku, kemajuan umat Islam! Ia akan tersenyum. Tidak, tak usahlah. Begitulah cara yang paling baik menyampaikan berita pada istri yang sebentar lagi akan jadi nenek-nenek cerewet itu.
Maka ia pun mencari calo sawah. Dibuatnya perjanjian bahwa ia akan mendapatkan 2,5 % dari nilai sawah yang dibeli. Permintaannya hanya satu, tanah sawahnya harus dekat dengan irigasi. Tanah sawah nomor satu. Tak apa harganya mahal. Ia taksir uangnya cukup untuk beli sawah satu bau. Calo sawah tahu maksud dari pemuda paruh baya ini. Ia menolak diberi upah. Tetapi, pemuda itu menerangkan. Amal itu terletak pada niat. Adapun 2,5 % yang akan diperoleh, itu adalah sewajarnya dalam bermuamalah.
Begitulah seorang laki-laki dengan gayanya yang perlente ke sana-sini. Mencari tahu siapa yang akan menjual sawah seluas satu bau. Pagi sekali ia telah datang, ke rumah tukang proyek yang bangkrut. Calo sawah ini memang punya segudang informasi siapa-siapa saja yang sedang dalam kesulitan bisnis.
Sawah itu akan membuatnya tersenyum pada hari kematiannya. Ketika itu boleh jadi tubuhnya telah hancur oleh tanah dikuburnya. Tetapi jelaslah, sawah itu masih akan tetap menjadi saksi, ia pernah hidup dan menyumbangkan sesuatu untuk kemajuan orang Islam di desa. Tidak, bukan orang yang akan membuatnya senang, tetapi karena Tuhan sendiri melihat itu. Kalau saja mungkin ia akan menghindari penglihatan orang. Sebab, hanya Tuhan jugalah yang diinginkannya.
Disaksikannya tanah-tanah di sawah. Seperti itulah manusia ia akan dikuburkan, dikembalikan ke tanah. Tanah-tanah sawah ini itu masih pula dapat dipergunakan. Mereka dapat di bikin batu bata, musim rendeng untuk padi, dan musim kemarau untuk kebun. Tetapi apa yang disumbangkan orang mati. Tidak satu pun. Bahkan orang akan menyusahkan tetangganya, karena orang-orang lain harus mengangkutnya ke kubur, memanggul kerandanya, memasukkannya ke liang lahat. Sesudahnya adalah tanggung jawabnya sendiri.
Pada hari yang ditentukan. Calo, pemilik sawah dan dirinya bertemu di sebuah tempat. Calo datang lalu menjelaskan. Betapa senang ia ketika calo itu datang dan dia dapat menunjukkan salinan sertifikat sawahnya. Ia akan berusaha sungguh, supaya hanya Tuhan yang tahu kalau ia telah menyumbangkan sawah itu untuk kemajuan Islam di desa. Maka ia pun berpesan pada calo jangan membocorkan rahasia itu. Beramal baik ialah bila tangan kananmu mengeluarkan, tetapi tangan kirimu tak melihatnya! Tak perlu seorang pun tahu.
Alangkah bijaksana pikiran itu! Asal jangan ada perempuan cerewet, istrinya itu, pastilah akalnya menjadi jernih. Pada suatu hari yang tak seorang pun akan tahu, dokumen sertifikat asli sawah itu akan dikirim lewat pos ke alamat pengurusnya. Disertakan pula kertas wasiat hasil panen sawah untuk beasiswa dan biaya orang sakit yang membutuhkan. Dan ditulis diatas dokumen tersebut ‘Amplop dari Korea’.
Perguruan tinggi dan rumah sakit di desa yang sudah didirikan jangan sampai membebani orang desa yang ingin pintar dan sehat. Pesannya hanya satu, jangan pernah menyebut siapa penyumbangnya. Kebanggaan yang terpendam lebih baik dari kebanggaan yang terbuka. Kebanggaan yang terpendam membuat orang tertawa. Dan senyum lebih abadi dari tertawa.
Keinginannya supaya sawah itu cepat dibeli tak tertahankan. Sebab ia tak tahu akan seberapa lama lagi umurnya, berat badannya, jumlah tenaga yang dia punya atau yang telah dikeluarkannya. Ia melambung seperti dalam sebuah mimpi yang senikmatnya. Keringat mengalir dari kulitnya. Calo itu menegurnya. Ah, masih perlukah dia diperingatkan apa-apa oleh siapa-siapa pada keinginannnya itu? Tidak. Istrinya atau calo itu tak ada hak apa pun untuk mengingatkan dia. Pikirannya adalah satu-satunya pertimbangan. Kebaikan harus dikerjakan bagaimanapun akibatnya. Dia tahu apa yang bisa dan tak bisa dikerjakannya. Dan berhak sepenuhnya akan dirinya sendiri.
Matahari tidak ada lagi. Hanya kemerahannya masih tergambar dilangit. Ketika itu tak ada cahaya merah pun di air dan dilangit. Menjelang malam, Ia tersenyum dalam pejam mata. Inilah rencananya, yang sebentar diingatnya sebelum tetap yang pertama. Ia masuk kamar, ia membuka koper. Ia melihat amplop-amplop itu. Uang dalam amplo dikeluarkan. Segepok yang ditumpuk ia ikat dengan karet.
Besok, ia harus bangun pagi-pagi. Malam menjadi dingin. Udara lembab. Suara desir air sungai terdengar pelan. Ada suara-suara yang sangat dikenal: binatang-binatang malam di tanah, di rumputan, di air, di pohon, di udara. Pohon-pohon merunduk dalam gelap. Makhluk inilah yang lebih banyak menggambarkan malam hari. Tenang dingin, daunan tertunduk. Seperti dunia ini adalah gundukan tanah dan tetumbuhan yang terlupakan. Tidak ada kehidupan di luar rumah. Besok ia harus pergi ke bank, menukar uang won Korea yang dimilikinya. Ia mencari kurs di android. Info didapat dan dihitung. Dananya cukup untuk membeli sawah.
Pemuda itu biasa bangun tepat pada waktu yang direncanakan. Ia terbiasa bangun subuh. Sarung dikerubutkan di tubuhnya, ia pun melangkah ke luar. Sesungguhnya tak akan ada yang melihat. Dia kenal betul desanya. Ia ingin ke luar kota menukarnya. Ia tak mau orang desa mengetahuinya, jika ditukar di bank dalam kota.
Matahari terik sekali saat ia keluar dari sebuah kantor bank. Ia bergegas pulang. Menuju rumah si calo sawah. Ia ingin segera menemui si pemilik sawah. Ia ingat istrinya. Juga andaikata dia dirumah menjelang tengah hari begini, dia akan mengingatnya. Sembahyang, wahai pemuda muslim. Tuhan menunggumu. Panjangkanlah umurku, dalam ketaatan yang sehat. Siang itu ia merasa sangat sehat. Sedikit pun tak ada panas dalam tubuhnya. Itu berkat AC di dalam kantor bank, berangkali. Ya, tetapi juga, kegembiraannya menghilangkan rasa panas dan segalanya! Lebih penting dari panas adalah sepetak sawah.
Dia bayangkan bagaimana sawah itu. Tentu, hasilnya bisa lima ton sekali panen. Jumlah yang tak terlalu besar, tapi bisa membantu puluhan mahasiswa. Kalau dipikir, tidak ada yang istimewa. Sawah ditanami padi itu tumbuh dari bumi Tuhan, dan sekarang kembali kepada Tuhan. Ketika itu dia masih kecil, bermain-main di sawah. Alangkah baik tanah-tanah dan air di sawah untuk bermain. Sekarang, akan menjadi dana abadi. Tentu kuningnya padi yang dipanen akan mengalahkan gelapnya pengetahuan.
Sementara orang desa terkejut melihat ada sumbangan beasiswa dan berobat yang tiba-tiba datangnya itu. Ya, sumbangan itu datang dari sawahku. Tetapi kalian tak boleh tahu. Kemudian hasil sawah yang berton-ton itu akan dijual. Atau, bukankah lebih baik dibelikan buku-buku pengetahuan. Sesuka penguruslah. Sebab, setelah sawah itu lepas dari tangannya, tak ada haknya lagi.
Kalaulah ia punya lebih banyak dari itu, akan diberikan semua untuk kemajuan umat Islam di desa. Hasil jerih payah menjadi TKI hanya ini sisanya. Sebagiannya habis untuk membiayai mertua dan pendidikan anakku. Seharusnyalah ia malu, hanya sedikit itulah yang dikembalikannya kepada Tuhan.
Selepas membayar harga sawah yang sudah disepakati dan memberikan upah komisi yang dijanjikan kepada si calo. Ia pulang berjalan menuju rumahnya di ujung desa. Sesampai di rumah, ia mengetik surat wasiat yang akan disertakan dalam dokumen.
Jelaslah yang akan dikerjakan. Menatap berkas itu sampai lama, sebagai ucapan selamat jalan. Dalam gelap di depan komputer, lama terdiam seperti upacara terakhir pemberangkatan prajurit kemedan perang. Ataukah seperti penguburan. Ia masukkan ke dalam tas. Direbahkanlah tubuh di samping istri cerewetnya. Langit kamar semakin buram, ia pun pulas dan datanglah mimpi-mimpi yang menemani tidurnya.
Langit masih juga gelap sebentar lagi fajar. Itu subuh akan tiba. Ia keluar rumah. Tanah dikakinya agak dingin. Ia bergegas mandi, sembahyang. Motor pun di keluarkan. Dipanasi. Matahari di ufuk timur mulai menunjukkan batang hidungnya. Diambilnya tas di kamar. Ia berangkat menuju kantor pos.
Aduh, tololnya, pelupa! Engkau lupa alamat rumah pengurusnya. Pak Pos menanyakan kemana dokumen ini dikirim. Alamat kepada siapa dokumen itu diberikan. Tololnya! kembali? Itu lebih tolol lagi. Pelupa ialah yang sejelek-jeleknya orang! Patut, ia memukul-mukul kepalanya. Jangan keras, nanti pening, Pak. Biarlah. Ramah Pak Pos mengajak berkelakar.
Itu dokumen di kirim ke rumah sakit dan perguruan tinggi yang didirikan di Desa Tegal Grubug? Tahukan Pak Pos? Tenanglah, saya tahu. Oh ya! Jangan lupa tuliskan ‘Amplop dari Korea’ dalam dokumen itu. Pengirimnya siapa pak? Tulis saja dari Tuan Chaebol, Samsung Group.
Pasti sampai kan, Pak Pos? Itu sudah tugas kami. Pemuda itu berdiri sejenak lagi. Tersenyum. Sampai tidak ya?
***
Pemuda kekar itu sendiri saja. Jika tidak, tentu anak istri telah menyambutnya datang. Sambutan yang menjemukan. Duit, duit lagi. Minta ini dan minta itu. Namun, anak istrinya sekarang tidak di rumah. Ia merebahkan tubuh sepuasnya di teras rumah. Benar-benar bebas. Menikmati sore, angin, dan tanaman di halaman rumah.
Rumah itu terletak di ujung gang, dekat dengan sawah, tak banyak tetangga. Tak ada yang akan melihatnya. Di belakang rumah ada kebun sayuran, disilang dengan pohon-pohon mangga. Di pojok pekarangan ada kandang ayam dan bebek. Sungguh berat pekerjaanya! Jika istri di rumah, ia akan disuruh lagi untuk memberi makan ternak, menyiram kebun. Ada-ada saja. Gas habis, ternak belum dikasih makan! Ia harus cepat-cepat bangun, jika tak ingin kena damprat cerewetan istri.
Kerja itu memang perlu, ia tahu. Hanya saja anaknya doyan jajan, istrinya super cerewet. Ia yang pulang dari sawah, masih saja dinilai sebagai pemalas. Ah terserahlah! Sekarang istrinya tak ada di rumah. Aku ini bukan pemalas, pikir pemuda itu. Aku anak cucu dari orang pekerja keras. Tak heran, buyutku seorang kaya raya di desa ini. Aku ini pekerja keras! Ia pun menyulut rokoknya, ia sedot dalam-dalam. Huuuuuuuuuuuuffft! Nikmatnya!
“Tapi buktikanlah, wahai pemuda!” Tiba-tiba ia berpikir. Ya, berkata itu hal yang mudah. Sedang, bukti teramat sulit diwujudkan. Namun, ia tak tahu kerja apa yang dapat dikerjakan pada saat ini. Katakanlah, misalnya gegaleng. Hal itu sudah ia lakukan tadi siang. Atau memberi makan ayam dan bebek. Sia-sia saja lah, istrinya juga tak ada di sini. Lagian, ayam dan bebek tadi pagi pakannya sudah di-double.
Tiba-tiba ia bangkit. “Demi Tuhan!”, ia berseru. “Celakalah yang menyia-nyiakan waktu!”. Ia ingat. Meski berbuat sesuatu. Berbaring bermalasan bukan pekerjaan seorang muslim yang baik. Ia sudah mendengar kabar, orang-orang desa sedang rapat. Mereka ingin mendirikan perguruan tinggi dan rumah sakit. Apa sebabnya? Orang desa, anak-anaknya banyak yang kuliah. Orang sakit di desanya banyak berobat ke kota, bahkan ke luar kota. Hanya untuk pintar dan sehat, orang-orang desa harus menjual tanah dan sawahnya.
Konon, dari masalah seperti itu orang-orang desa ingin menuntut hak-nya. Jangan hanya dimonopoli oleh orang-orang kota saja. Sarjana, dokter, dan bidan ratusan jumlahnya di desa. Orang desa ingin pintar dengan murah. Orang desa ingin sehat dengan murah. Karena rumah sakit kejauhan, jangan lagi ada orang desa sakit! Kemuadian mati dalam perjalanan. Orang desa sepakat. Ada yang menyediakan lahan. Banyak juga yang menyediakan bahan. Telah terkumpul kayu, semen, batu bata, pasir, keramik, genteng.
Pantaskah baginya, muslim lalu bermalasan? Tidak. Berbaktilah kamu di jalan Tuhan dengan harta dan jiwamu! Bermanfaatlah untuk saudaramu dan manusia. Ia gelisah. Kalau istrinya di rumah ia bisa mufakat. Seluruh kekayaannya, yaitu uang untuk makan, hasil sawah semuanya ada pada istrinya. Pada dirinya hanya kesenangan dan kesukaan secukupnya dipenuhi. Teh, kopi, rokok, dan fasilitas wifi.
Apakah yang akan disumbangkan untuk program mencerdaskan dan menyehatkan orang-orang desa itu? Jika di rumah juga, belum tentu istrinya setuju. Tapi, ia tak ingin melewatkan kesempatan beramal itu. Sebenarnya, pikiran dirinya bisa pula jernih, hanya kebiasaan mendapatkan damprat dari istri, telah membuatnya takut berpikir. Berpikir itu menyusahkan bagi suami takut istri macam dirinya.
Jadi, ia berdiri. Melepaskan pandangan keseluruh alam, rumah dan pekarangannya itu. Disebutnya seluruh alam dan turun dari teras. Cahaya matahari redup di barat mempermainkan daun-daun. Sekali-sekali berkas sinar jatuh ke punggung. Ia senang. Menikmati kebebasannya dengan berjalan, melangkahi tanaman sayur.
Istrinya akan nyewot kalau ia di rumah. Selalu ia cerewet apabila dilihatnya ia berjalan di kebun tanpa membersihkan rumput atau menyiramnya. Dibelakang rumah adalah sawah. Padi yang menghijau sangat mempesona. Mana ada kesempatan memandangnya lama-lama kalau istrinya dirumah! Ia tak pernah jemu melamun memandang sawah. Hanya karena larangan isterinya, ia tak lagi melakukannya. Nanti masuk angin, nanti kesambet. Melamun itu hanya pemilik jiwa-jiwa malas.
Ia berhenti. Di depannya ada bayangan pesawat. Lalu pabrik-pabrik. Ia teringat temannya yang sukses menjadi TKI. Pulang membangun rumah, membeli sawah, dan membeli mobil. Aku tak perlu be-rembug dengan istri! Mudah saja, pergi ke Korea. Separuh untuk istri dan separuh untuk beramal. Mereka harus pintar dan sehat. Hasilnya dibelikan sawah, diwakafkan. Lalu, hasil wakaf ini untuk beasiswa atau donasi berobat orang desa.
Istrinya tak akan tahu semuanya. Sesudah dia pulang jadi TKI barulah tahu, pekerjaan apa yang telah dibuat oleh suaminya! Betapa senang ia nanti, seorang perempuan yang saleh. Separuh gaji itu kita sumbangkan untuk mencerdaskan dan menyehatkan orang desa. Istri akan senang, memuji syukur. Hidup di dunia, harus beramal sebagai bekal di akherat yang serba pasti.
Orang-orang desa yang muslim kian terbelakang, baik dari segi pemikiran maupun budaya. Pikiran-pikiran orang muslim di desa berbanding terbalik dengan orang muslim masa lampau. Orang-orang desa hanya suka berdebat saja. Apa yang hendak diperdebatkan? Bukankah debat juga butuh ilmu untuk berargumen? Orang-orang di desa sibuk membuktikan kuasa Tuhan dengan mencari lafal Allah pada batu, awan, daging hewan dan sebagainya. Padahal, dengan menggali ilmu kita akan mengetahui kebesaran Tuhan.
Orang-orang desa berlebihan pada agama hingga mereka lupa pada urusan duniawi. Tuhan memberikan alam yang kaya, budaya yang beragam, otak yang cerdas, namun itu semua tidak digunakan. Mudah bagi mereka menuduh seseorang atau kelompok orang yang tidak sejalan dengan sebutan bid’ah, sebutan sesat dan srbutan kafir. Beberapa orang-orang desa, rukun iman hanya sebatas dipercayai bukan dibuktikan.
Bagi mereka masalah terbesar ketika kekafiran melanda desa. Tetapi mereka lupa bahwa sawahnya habis, teknologinya diimpor dari negeri lain, otak cerdasnya dipakai oleh negeri lain. Tenaganya diperah. Kafir memang tidak enak dimulut, tetapi enak di bagian tubuh yang lain. Di telinga kita menikmati telepon genggam, di tangan kita menikmati internet, di pantat kita menikmati mobil, dan sebagainya. Sampai kapan orang Islam di desa susah diajak bergerak maju?
Ya, dia sendirilah yang akan menjadi TKI. Kehilangan separuh gaji tak perlu disesalkan. Upah itu akan diletakkan di suatu tempat terhormat : kemajuan umat Islam di desa. Setiap hari akan disaksikan orang-orang memuji kebesaran Tuhan dan Rasul-Nya. Itu akhir yang baik bagi sebuah lembar uang kertas!
Jauh lebih baik daripada masuk dalam rekening bank. Apalagi bank orang kafir, yang nanti akan digulirkan menjadi pinjaman kredit riba! Itu sudah wajar, keringatku diniatkan untuk jalan Allah. Sebuah keringat yang dihasilkan dari makhluk-Nya. Yang ditiupkan ruh oleh-Nya. Dibesarkan dengan kehendak-Nya. Makhluk-Nya ini akan membuktikan dengan benda yang nyata, sekali dalam hidupnya dapat juga ia menyumbang untuk Tuhan.
Seharian itu ia merenungkan, apakah ia benar-benar akan sanggup menjadi TKI. Ia gembira. Telah dibayangkannya dalam khayal. Isterinya yang cerewet itu akan memuji-muji kebijaksanaannya itu. Amal yang demikian itu akan abadi. Pahalanya akan dihitung sampai akhir jaman. Besoknya lagi kalau ia di rumah akan diberitakan itu.
**
Lima tahun tak terasa ia menjadi TKI di negara ginseng. Setiap bulan ia selalu mengirimkan upah pokoknya, sebesar sepuluh juta rupiah. Istrinya tak pernah tahu, upah lemburnya ia simpan dalam sebuah amplop. Amplop itu masukkan dalam sebuah koper. Tidak, istrinya tak tahu. Beasiswa dan biaya berobat istriku, kemajuan umat Islam! Ia akan tersenyum. Tidak, tak usahlah. Begitulah cara yang paling baik menyampaikan berita pada istri yang sebentar lagi akan jadi nenek-nenek cerewet itu.
Maka ia pun mencari calo sawah. Dibuatnya perjanjian bahwa ia akan mendapatkan 2,5 % dari nilai sawah yang dibeli. Permintaannya hanya satu, tanah sawahnya harus dekat dengan irigasi. Tanah sawah nomor satu. Tak apa harganya mahal. Ia taksir uangnya cukup untuk beli sawah satu bau. Calo sawah tahu maksud dari pemuda paruh baya ini. Ia menolak diberi upah. Tetapi, pemuda itu menerangkan. Amal itu terletak pada niat. Adapun 2,5 % yang akan diperoleh, itu adalah sewajarnya dalam bermuamalah.
Begitulah seorang laki-laki dengan gayanya yang perlente ke sana-sini. Mencari tahu siapa yang akan menjual sawah seluas satu bau. Pagi sekali ia telah datang, ke rumah tukang proyek yang bangkrut. Calo sawah ini memang punya segudang informasi siapa-siapa saja yang sedang dalam kesulitan bisnis.
Sawah itu akan membuatnya tersenyum pada hari kematiannya. Ketika itu boleh jadi tubuhnya telah hancur oleh tanah dikuburnya. Tetapi jelaslah, sawah itu masih akan tetap menjadi saksi, ia pernah hidup dan menyumbangkan sesuatu untuk kemajuan orang Islam di desa. Tidak, bukan orang yang akan membuatnya senang, tetapi karena Tuhan sendiri melihat itu. Kalau saja mungkin ia akan menghindari penglihatan orang. Sebab, hanya Tuhan jugalah yang diinginkannya.
Disaksikannya tanah-tanah di sawah. Seperti itulah manusia ia akan dikuburkan, dikembalikan ke tanah. Tanah-tanah sawah ini itu masih pula dapat dipergunakan. Mereka dapat di bikin batu bata, musim rendeng untuk padi, dan musim kemarau untuk kebun. Tetapi apa yang disumbangkan orang mati. Tidak satu pun. Bahkan orang akan menyusahkan tetangganya, karena orang-orang lain harus mengangkutnya ke kubur, memanggul kerandanya, memasukkannya ke liang lahat. Sesudahnya adalah tanggung jawabnya sendiri.
Pada hari yang ditentukan. Calo, pemilik sawah dan dirinya bertemu di sebuah tempat. Calo datang lalu menjelaskan. Betapa senang ia ketika calo itu datang dan dia dapat menunjukkan salinan sertifikat sawahnya. Ia akan berusaha sungguh, supaya hanya Tuhan yang tahu kalau ia telah menyumbangkan sawah itu untuk kemajuan Islam di desa. Maka ia pun berpesan pada calo jangan membocorkan rahasia itu. Beramal baik ialah bila tangan kananmu mengeluarkan, tetapi tangan kirimu tak melihatnya! Tak perlu seorang pun tahu.
Alangkah bijaksana pikiran itu! Asal jangan ada perempuan cerewet, istrinya itu, pastilah akalnya menjadi jernih. Pada suatu hari yang tak seorang pun akan tahu, dokumen sertifikat asli sawah itu akan dikirim lewat pos ke alamat pengurusnya. Disertakan pula kertas wasiat hasil panen sawah untuk beasiswa dan biaya orang sakit yang membutuhkan. Dan ditulis diatas dokumen tersebut ‘Amplop dari Korea’.
Perguruan tinggi dan rumah sakit di desa yang sudah didirikan jangan sampai membebani orang desa yang ingin pintar dan sehat. Pesannya hanya satu, jangan pernah menyebut siapa penyumbangnya. Kebanggaan yang terpendam lebih baik dari kebanggaan yang terbuka. Kebanggaan yang terpendam membuat orang tertawa. Dan senyum lebih abadi dari tertawa.
Keinginannya supaya sawah itu cepat dibeli tak tertahankan. Sebab ia tak tahu akan seberapa lama lagi umurnya, berat badannya, jumlah tenaga yang dia punya atau yang telah dikeluarkannya. Ia melambung seperti dalam sebuah mimpi yang senikmatnya. Keringat mengalir dari kulitnya. Calo itu menegurnya. Ah, masih perlukah dia diperingatkan apa-apa oleh siapa-siapa pada keinginannnya itu? Tidak. Istrinya atau calo itu tak ada hak apa pun untuk mengingatkan dia. Pikirannya adalah satu-satunya pertimbangan. Kebaikan harus dikerjakan bagaimanapun akibatnya. Dia tahu apa yang bisa dan tak bisa dikerjakannya. Dan berhak sepenuhnya akan dirinya sendiri.
Matahari tidak ada lagi. Hanya kemerahannya masih tergambar dilangit. Ketika itu tak ada cahaya merah pun di air dan dilangit. Menjelang malam, Ia tersenyum dalam pejam mata. Inilah rencananya, yang sebentar diingatnya sebelum tetap yang pertama. Ia masuk kamar, ia membuka koper. Ia melihat amplop-amplop itu. Uang dalam amplo dikeluarkan. Segepok yang ditumpuk ia ikat dengan karet.
Besok, ia harus bangun pagi-pagi. Malam menjadi dingin. Udara lembab. Suara desir air sungai terdengar pelan. Ada suara-suara yang sangat dikenal: binatang-binatang malam di tanah, di rumputan, di air, di pohon, di udara. Pohon-pohon merunduk dalam gelap. Makhluk inilah yang lebih banyak menggambarkan malam hari. Tenang dingin, daunan tertunduk. Seperti dunia ini adalah gundukan tanah dan tetumbuhan yang terlupakan. Tidak ada kehidupan di luar rumah. Besok ia harus pergi ke bank, menukar uang won Korea yang dimilikinya. Ia mencari kurs di android. Info didapat dan dihitung. Dananya cukup untuk membeli sawah.
Pemuda itu biasa bangun tepat pada waktu yang direncanakan. Ia terbiasa bangun subuh. Sarung dikerubutkan di tubuhnya, ia pun melangkah ke luar. Sesungguhnya tak akan ada yang melihat. Dia kenal betul desanya. Ia ingin ke luar kota menukarnya. Ia tak mau orang desa mengetahuinya, jika ditukar di bank dalam kota.
Matahari terik sekali saat ia keluar dari sebuah kantor bank. Ia bergegas pulang. Menuju rumah si calo sawah. Ia ingin segera menemui si pemilik sawah. Ia ingat istrinya. Juga andaikata dia dirumah menjelang tengah hari begini, dia akan mengingatnya. Sembahyang, wahai pemuda muslim. Tuhan menunggumu. Panjangkanlah umurku, dalam ketaatan yang sehat. Siang itu ia merasa sangat sehat. Sedikit pun tak ada panas dalam tubuhnya. Itu berkat AC di dalam kantor bank, berangkali. Ya, tetapi juga, kegembiraannya menghilangkan rasa panas dan segalanya! Lebih penting dari panas adalah sepetak sawah.
Dia bayangkan bagaimana sawah itu. Tentu, hasilnya bisa lima ton sekali panen. Jumlah yang tak terlalu besar, tapi bisa membantu puluhan mahasiswa. Kalau dipikir, tidak ada yang istimewa. Sawah ditanami padi itu tumbuh dari bumi Tuhan, dan sekarang kembali kepada Tuhan. Ketika itu dia masih kecil, bermain-main di sawah. Alangkah baik tanah-tanah dan air di sawah untuk bermain. Sekarang, akan menjadi dana abadi. Tentu kuningnya padi yang dipanen akan mengalahkan gelapnya pengetahuan.
Sementara orang desa terkejut melihat ada sumbangan beasiswa dan berobat yang tiba-tiba datangnya itu. Ya, sumbangan itu datang dari sawahku. Tetapi kalian tak boleh tahu. Kemudian hasil sawah yang berton-ton itu akan dijual. Atau, bukankah lebih baik dibelikan buku-buku pengetahuan. Sesuka penguruslah. Sebab, setelah sawah itu lepas dari tangannya, tak ada haknya lagi.
Kalaulah ia punya lebih banyak dari itu, akan diberikan semua untuk kemajuan umat Islam di desa. Hasil jerih payah menjadi TKI hanya ini sisanya. Sebagiannya habis untuk membiayai mertua dan pendidikan anakku. Seharusnyalah ia malu, hanya sedikit itulah yang dikembalikannya kepada Tuhan.
Selepas membayar harga sawah yang sudah disepakati dan memberikan upah komisi yang dijanjikan kepada si calo. Ia pulang berjalan menuju rumahnya di ujung desa. Sesampai di rumah, ia mengetik surat wasiat yang akan disertakan dalam dokumen.
Jelaslah yang akan dikerjakan. Menatap berkas itu sampai lama, sebagai ucapan selamat jalan. Dalam gelap di depan komputer, lama terdiam seperti upacara terakhir pemberangkatan prajurit kemedan perang. Ataukah seperti penguburan. Ia masukkan ke dalam tas. Direbahkanlah tubuh di samping istri cerewetnya. Langit kamar semakin buram, ia pun pulas dan datanglah mimpi-mimpi yang menemani tidurnya.
Langit masih juga gelap sebentar lagi fajar. Itu subuh akan tiba. Ia keluar rumah. Tanah dikakinya agak dingin. Ia bergegas mandi, sembahyang. Motor pun di keluarkan. Dipanasi. Matahari di ufuk timur mulai menunjukkan batang hidungnya. Diambilnya tas di kamar. Ia berangkat menuju kantor pos.
Aduh, tololnya, pelupa! Engkau lupa alamat rumah pengurusnya. Pak Pos menanyakan kemana dokumen ini dikirim. Alamat kepada siapa dokumen itu diberikan. Tololnya! kembali? Itu lebih tolol lagi. Pelupa ialah yang sejelek-jeleknya orang! Patut, ia memukul-mukul kepalanya. Jangan keras, nanti pening, Pak. Biarlah. Ramah Pak Pos mengajak berkelakar.
Itu dokumen di kirim ke rumah sakit dan perguruan tinggi yang didirikan di Desa Tegal Grubug? Tahukan Pak Pos? Tenanglah, saya tahu. Oh ya! Jangan lupa tuliskan ‘Amplop dari Korea’ dalam dokumen itu. Pengirimnya siapa pak? Tulis saja dari Tuan Chaebol, Samsung Group.
Pasti sampai kan, Pak Pos? Itu sudah tugas kami. Pemuda itu berdiri sejenak lagi. Tersenyum. Sampai tidak ya?
***
Via
Cerpen
Posting Komentar