Opini
Hidup itu Gampang
Meneer Pangky lahir di sebuah desa di Indramayu. Sewaktu masih kecil semuanya mudah, indah, dan menyenangkan. Namun, saat adanya TV semuanya berubah. Banyak perubahan yang terjadi di desaku. Orang-orangpun semuanya pergi meninggalkan desa.
Mereka merantau ke luar negeri dan kota besar. Orangtua-ku mengatakan keluarga kita miskin, kamu harus seperti si a, si b, dan si c. Mereka pulang dari luar negeri. Sekarang bisa membeli sawah, membangun rumah, dan membeli kendaraan--mobil dan motor. Hidupnya sudah sejahtera.
Aku mulai berpikir, aku juga harus merantau supaya seperti mereka. Lalu, aku pergi ke Jakarta. Kota Internasional. Di Jakarta aku belajar dan bekerja keras seperti orang-orang. Aku bekerja minimal 8 jam setiap hari sambil kuliah. Aku tinggal di ruangan yang sempit, nge-kost bersama temen-temen yang lain. Tazkia Tanaya, Apri Sidik Pratama, Wonkque Benq, Ahmad Surur, Rullyan Noviawan, mereka sahabatku.
Kerja kerasku hanya bisa memenuhi makan seadanya. Rutinitasku yang membosankan seperti sebuah robot, membuatku berpikir lama. Merenung. Biasanya tempat favorit merenungku adalah naik ke atas genting malam hari, saat temanku tidur aku naik kesana. Belakangan mereka pun mengikut, mengetahui aku nggak ada di kamar.
Sejak merenung diatas genting, aku mulai ragu apakah ilmu yang kupelajari di kampus bermanfaat atau tidak? Aku sering bertanya dalam diri. Kerja keras, banting tulang, tapi mengapa hidupku masih terasa sulit? Pasti ada yang salah. Aku mulai mengingat masa kecilku.
Di desaku tidak ada orang yang bekerja selama 8 jam sehari. Bapakku yang penjual menir (beras remuk) hanya bekerja 4 jam sehari. 1 jam untuk mengemas dan 3 jam untuk menjual.
Semua orang desa kebanyakan petani, termasuk juga bapak-ku. Kami bekerja hanya 4 bulan dalam setahun. Waktu selama empat bulan juga tidak full time. Kami masih bisa melakukan hal lainnya. 4 bulan itu digunakan untuk pembibitan, penanaman, pemupukan, dan pasca panen.
Dalam setahun itu bisa dua kali musim, sadon dan rendeng. Kami kerja 8 bulan setahun. Waktu efektifnya mungkin hanya sekitar 2 bulan. Selebihnya 10 bulan itu kami bebas. Maka, jangan heran jika dulu banyak orang kreatif di desa. Waktu luang itu digunakan untuk membuat kebutuhan rumah tangga. Ada yang membuat bata, tikar, anyaman, dan lainnya.
Jangan heran akibat waktu luang yang banyak penduduk desa akhirnya suka berkumpul, silaturahmi, dan berembug. Itulah mengapa di desa-desa banyak karnaval dan festival-festival. Ada mapag sri, mapag tamba, sedekah bumi, ngarot, nadran, unjungan, dan lainnya. Waktu mereka banyak. Tidak sepertiku yang ada di Jakarta. Semuanya sendiri-sendiri, individualis. Kita sangat susah untuk berkumpul.
Beberapa kali merenung, 5 tahun di Jakarta akhirnya kuputuskan untuk pulang kampung saja. Berhenti kuliah dan kerja. Di desa aku mulai hidup seperti ingatan masa kecilku. Menjadi petani dan membuka warnet. Penghasilan dari warnet kugunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari sebelum hasil bertani panen.
Dari hasil panen sebanyak 8 ton setahun, hanya habis 5 kwintal dalam setahun untuk memenuhi kebutuhan 7 orang anggota keluarga. Hasil praktek hidup seperti ini membuat hidupku lebih mudah, tidak sulit seperti di Jakarta. Karena sisa hasil panen yang surplus aku jual.
Di Jakarta aku tinggal di ruang yang sempit. Itu juga harus sewa. Di desa aku tinggal di dalam sebuah rumah, bukan kamar. Meski tak sebagus di Jakarta tempat tinggalku. Aku lebih nyaman, ruang privasiku tidak disabotase. Tidak ada iuran sampah, iuran keamanan, bayar ledeng dan lainnya. Semua gratis. Mudah sekali hidup di desa.
Beda dengan temanku yang di Jakarta, dia pintar dan punya pekerjaan bagus di sana. Namun, ia harus sewa kontrakan atau angsuran rumah untuk tempat tinggalnya. Untuk sebuah rumah ia harus mengangsur selama 30 tahun. Kupikir susah sekali ya? Sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa papan.
Dulu, sewaktu di Jakarta aku selalu digoda soal fashion. Saban ke mall, keinginan untuk mengikuti trend fashion selalu membuncah. Semacam ada gengsi dan malu di dada saat aku tak bisa mengikuti trend. Menyiksaku. Namun, di desa keinginan itu pupus. Lingkungan sekitarku berupa hamparan sawah. Percuma saja, pakaian bagus toh ujung-ujungnya untuk pergi ke sawah. Jadi, keinginan itu hilang dengan sendirinya.
Aku mulai merasa hidupku lebih bebas, lebih ringan dan ketakutan berkurang. Berbanding terbalik dengan sebelumnya yang tidak pernah merasa demikian. Ketika di Jakarta aku merasa hidup itu sangat sulit. Berbeda dengan sekarang saat aku tinggal di kampung halamanku.
Saat aku mulai berhenti dari kehidupan yang serba sulit & serba rumit. Aku memilih jalan hidup yang mudah dengan menghasilkan makanan sendiri, tingal di rumah sendiri, nggak mengikut trend fashion. Aku dianggap oleh sebagian orang, pikiranku nggak maju. Tidak mengikuti arus.
Aku nggak peduli mereka ngomong apa? Aku tidak peduli, karena aku tidak bisa mengendalikan pikiran-pikiran diluar diriku. Yang kulakukan hanya memanajemen pikiranku saja. Semua memiliki kebebasan untuk memilih. Pilihan untuk hidup sulit, atau pilihan untuk hidup gampang. Tergantung pada kita, mau memilih cara hidup yang mana?
***
Mereka merantau ke luar negeri dan kota besar. Orangtua-ku mengatakan keluarga kita miskin, kamu harus seperti si a, si b, dan si c. Mereka pulang dari luar negeri. Sekarang bisa membeli sawah, membangun rumah, dan membeli kendaraan--mobil dan motor. Hidupnya sudah sejahtera.
Aku mulai berpikir, aku juga harus merantau supaya seperti mereka. Lalu, aku pergi ke Jakarta. Kota Internasional. Di Jakarta aku belajar dan bekerja keras seperti orang-orang. Aku bekerja minimal 8 jam setiap hari sambil kuliah. Aku tinggal di ruangan yang sempit, nge-kost bersama temen-temen yang lain. Tazkia Tanaya, Apri Sidik Pratama, Wonkque Benq, Ahmad Surur, Rullyan Noviawan, mereka sahabatku.
Kerja kerasku hanya bisa memenuhi makan seadanya. Rutinitasku yang membosankan seperti sebuah robot, membuatku berpikir lama. Merenung. Biasanya tempat favorit merenungku adalah naik ke atas genting malam hari, saat temanku tidur aku naik kesana. Belakangan mereka pun mengikut, mengetahui aku nggak ada di kamar.
Sejak merenung diatas genting, aku mulai ragu apakah ilmu yang kupelajari di kampus bermanfaat atau tidak? Aku sering bertanya dalam diri. Kerja keras, banting tulang, tapi mengapa hidupku masih terasa sulit? Pasti ada yang salah. Aku mulai mengingat masa kecilku.
Di desaku tidak ada orang yang bekerja selama 8 jam sehari. Bapakku yang penjual menir (beras remuk) hanya bekerja 4 jam sehari. 1 jam untuk mengemas dan 3 jam untuk menjual.
Semua orang desa kebanyakan petani, termasuk juga bapak-ku. Kami bekerja hanya 4 bulan dalam setahun. Waktu selama empat bulan juga tidak full time. Kami masih bisa melakukan hal lainnya. 4 bulan itu digunakan untuk pembibitan, penanaman, pemupukan, dan pasca panen.
Dalam setahun itu bisa dua kali musim, sadon dan rendeng. Kami kerja 8 bulan setahun. Waktu efektifnya mungkin hanya sekitar 2 bulan. Selebihnya 10 bulan itu kami bebas. Maka, jangan heran jika dulu banyak orang kreatif di desa. Waktu luang itu digunakan untuk membuat kebutuhan rumah tangga. Ada yang membuat bata, tikar, anyaman, dan lainnya.
Jangan heran akibat waktu luang yang banyak penduduk desa akhirnya suka berkumpul, silaturahmi, dan berembug. Itulah mengapa di desa-desa banyak karnaval dan festival-festival. Ada mapag sri, mapag tamba, sedekah bumi, ngarot, nadran, unjungan, dan lainnya. Waktu mereka banyak. Tidak sepertiku yang ada di Jakarta. Semuanya sendiri-sendiri, individualis. Kita sangat susah untuk berkumpul.
Beberapa kali merenung, 5 tahun di Jakarta akhirnya kuputuskan untuk pulang kampung saja. Berhenti kuliah dan kerja. Di desa aku mulai hidup seperti ingatan masa kecilku. Menjadi petani dan membuka warnet. Penghasilan dari warnet kugunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari sebelum hasil bertani panen.
Dari hasil panen sebanyak 8 ton setahun, hanya habis 5 kwintal dalam setahun untuk memenuhi kebutuhan 7 orang anggota keluarga. Hasil praktek hidup seperti ini membuat hidupku lebih mudah, tidak sulit seperti di Jakarta. Karena sisa hasil panen yang surplus aku jual.
Di Jakarta aku tinggal di ruang yang sempit. Itu juga harus sewa. Di desa aku tinggal di dalam sebuah rumah, bukan kamar. Meski tak sebagus di Jakarta tempat tinggalku. Aku lebih nyaman, ruang privasiku tidak disabotase. Tidak ada iuran sampah, iuran keamanan, bayar ledeng dan lainnya. Semua gratis. Mudah sekali hidup di desa.
Beda dengan temanku yang di Jakarta, dia pintar dan punya pekerjaan bagus di sana. Namun, ia harus sewa kontrakan atau angsuran rumah untuk tempat tinggalnya. Untuk sebuah rumah ia harus mengangsur selama 30 tahun. Kupikir susah sekali ya? Sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa papan.
Dulu, sewaktu di Jakarta aku selalu digoda soal fashion. Saban ke mall, keinginan untuk mengikuti trend fashion selalu membuncah. Semacam ada gengsi dan malu di dada saat aku tak bisa mengikuti trend. Menyiksaku. Namun, di desa keinginan itu pupus. Lingkungan sekitarku berupa hamparan sawah. Percuma saja, pakaian bagus toh ujung-ujungnya untuk pergi ke sawah. Jadi, keinginan itu hilang dengan sendirinya.
Aku mulai merasa hidupku lebih bebas, lebih ringan dan ketakutan berkurang. Berbanding terbalik dengan sebelumnya yang tidak pernah merasa demikian. Ketika di Jakarta aku merasa hidup itu sangat sulit. Berbeda dengan sekarang saat aku tinggal di kampung halamanku.
Saat aku mulai berhenti dari kehidupan yang serba sulit & serba rumit. Aku memilih jalan hidup yang mudah dengan menghasilkan makanan sendiri, tingal di rumah sendiri, nggak mengikut trend fashion. Aku dianggap oleh sebagian orang, pikiranku nggak maju. Tidak mengikuti arus.
Aku nggak peduli mereka ngomong apa? Aku tidak peduli, karena aku tidak bisa mengendalikan pikiran-pikiran diluar diriku. Yang kulakukan hanya memanajemen pikiranku saja. Semua memiliki kebebasan untuk memilih. Pilihan untuk hidup sulit, atau pilihan untuk hidup gampang. Tergantung pada kita, mau memilih cara hidup yang mana?
***
Hasil kerajinan penduduk Desa Gadingan. Photo by Burhanuddin, 2016.
Via
Opini
Posting Komentar