Opini
Indramayu Seharusnya Makmur
Tempo
hari ada rembugan yang menarik di grup RRD, topiknya tentang kemiskinan di
Indramayu. Berawal dari capture harian
Fajar edisi 13 Maret 2017 merilis berita tentang kutipan Menteri BUMN Rini
Soemarno yang mengatakan bahwa seharusnya Indramayu sudah makmur. Topik
rembugan ini diangkat oleh Masludi Sopriyadi.
Hal
ini banyak mendapatkan tanggapan, dari yang setuju dan tidak setuju. Semua rembuger memberikan argumentasinya
masing-masing. Yang pasti, rembuger terbelah menjadi dua. Namun, bukan itu yang
ingin aku bahas atau bagaimana kecenderunganku? Pro atau kontra dengan kutipan
tersebut.
Aku
malah tertarik dengan topiknya. Bagiku, topik kemiskinan selalu menarik untuk
dibahas. Apalagi jika topik kemiskinan dikaitkan dengan romantisme sejarah.
Dimana ada peradaban-peradaban masa lalu yang berhasil mengentaskan kemiskinan dan
kemudian terwujudlah keadilan sosial?
Kita,
sebagai masyarakat modern kadang terlena dengan kisah-kisah kemakmuran di masa
lalu, sampai lupa dengan realitas sosial di depan mata. Lalu, hanya bisa
menyalahkan keadaan tanpa pernah berpikir bagaimana mengubahnya. Mengurai
penyebab kemudian mencari solusinya.
Sejak
topik itu diangkat aku teringat dengan sebuah buku. Namun, baru sempat
menulisnya hari ini. Pertanyaan-pertanyaan mengapa ada orang kaya sementara
juga ada orang miskin? Juga ada negara kaya dan negara miskin selalu menjadi diskusi-diskusi
panjang melelahkan. Pertanyaan tersebut sudah ada sejak peradaban dunia tercipta.
Bahkan,
topik ini sangat krusial bagi ilmuwan dan ekonom untuk mengurai penyebab dan
mencari solusinya. Diskusi-diskusi soal ini adalah warisan berabad-abad
lamanya, yang tak ada kepastian jawaban atas pertanyaan tersebut.
Jika
ditarik ke masa lalu, dalam pewayangan kita mengetahui ada negara kaya dan
miskin. Representasi itu diwakili oleh negara Astina dan Amarta. Kemudian
negara ini berperang, dengan kemenangan ada di pihak Amarta.
Dalam
lintasan sejarah dunia, kisah seperti ini juga terjadi saat kejayaan umat Islam
sementara Eropa pada saat yang sama sedang berada dalam masa kegelapan. Juga,
kisah-kisah serupa hingga hari ini.
Mengutip
buku “Mengapa Negara Gagal” terjemahan dari buku yang berjudul “Why Nation Fail” karya Daron Acemoglu
dan James A. Robinson relevan untuk dijadikan pendukung diskusi soal
kemiskinan.
Buku
tersebut menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan kaya atau miskinnya suatu
negara bukan karena faktor usia suatu negara, sejarah, kebudayaan, sumber daya
alam, jumlah penduduk dan posisi geografi, tetapi karena faktor politik.
Mengapa
faktor politik menjadi dominan, karena politik sebagai ‘core driven’, dimana manusia yang menciptakan suatu sistem,
aturan-aturan, regulasi, kebijakan, dan mengatur norma-norma kehidupan manusia
di dalamnya, termasuk ketaatan pada hukum.
Studi
kasus pada Korea Selatan dan Korea Utara merupakan bukti nyata, bahwa mereka
mempunyai sejarah yang sama, budaya yang sama, warna kulit yang sama, posisi
geografi yang sama, namun karena sistem politik yang berbeda menyebabkan nasib
mereka berbeda, Korea Selatan lebih kaya dan Korea Utara terpuruk dalam
kemiskinan. [1]
Begitu
juga dengan studi kasus kedaerahan? Bisa jadi benar, sebut saja Papua, pulau
yang angka kemiskinannya lebih dari 30% ternyata menyimpan kekayaan luar biasa.
Emas dan tembaga tertanam disana, sehingga tidak heran jika perusahaan besar
seperti Freeport betah bercokol disana.
Bisa
jadi kemiskinan di Papua diakibatkan karena secara politis tidak diuntungkan
oleh kebijakan yang digulirkan, sedangkan kebijakan merupakan produk politik.
Demikian juga dengan Indramayu, kabupaten penghasil padi dan ikan yang melimpah,
namun masyarakatnya masih saja miskin. Angka kemiskinan Indramayu sekitar 15%. [2]
Padahal
Indramayu dari sektor pertanian menghasilkan sekitar 1,7 juta ton. Surplus padi
ini menjadikan Indramayu didaulat sebagai lumbung pangan nasional. [3] Sedangkan dari sektor perikanan
menghasilkan sekitar 130 ribu ton ikan, surplus ikan ini menjadikan Indramayu
penghasil ikan terbesar di Jawa Barat sehingga berkontribusi untuk perekonomiannya.
[4]
Senada
dengan kutipan Menteri Rini Soemarno, melihat potensi sumber daya alam, memang seharusnya
Indramayu itu makmur. Namun, yang terjadi angka kemiskinan di Indramayu masih
tinggi. Jadi, siapa sebenarnya yang menikmati penghasilan atas produksi melimpah
tersebut. Ternyata yang menikmati adalah pengusaha-pengusaha bidang pertanian
dan kelautan.
Kelompok
inilah yang menguasai mata rantai dari hulu ke hilir. Sedangkan masyarakat
Indramayu pada umumnya hanya petani buruh, bukan petani pemilik lahan. Begitu
pula di sektor perikanan, para nelayan kebanyakan sebagai buruh, bukan sebagai juragan.
Disamping itu, mata rantai distribusi yang panjang hanya menguntungkan para makelar,
bukan petani/nelayan.
Sementara
jika mengutip penyebab kemiskinan di Indramayu berdasarkan buku tersebut,
mengapa Indramayu menjadi daerah miskin? Penyebabnya adalah karena faktor
politik. Hal tersebut juga diamini oleh Profesor Indira Samego, Peneliti senior
LIPI.
Si
profesor mengatakan Indramayu secara politik nasibnya kurang menguntungkan.
Penyebabnya, konstelasi politik nasional tidak sewarna dengan politik lokal di
Indramayu. Bagaimana mungkin presidennya merah, gubernurnya putih, sedangkan
bupatinya kuning.
Apakah
mungkin presiden merah dan gubernur putih akan mendukung sepenuh hati kemajuan
daerah yang dipimpin oleh bupati kuning? Setidaknya komentar si profesor mendukung
teori yang ada dalam buku tersebut. Bahwa, faktor politik sangat menentukan
kemajuan suatu daerah.
Terlihat
klise memang, namun fakta yang ada mengejutkan. Pemerintah Pusat terlihat
setengah-setengah memproteksi petani di Indramayu. Lagi-lagi proses politik
sangat diperlukan. Contohnya, pembangunan Waduk Jati Gede yang terlunta-lunta
sejak tahun 60’an. 50 tahun kemudian baru bisa digunakan. Padahal kebutuhan
irigasi sangat penting untuk pertanian. Indramayu sering gagal panen karena
kekeringan.
Mengapa
petani Indramayu harus menunggu sampai 50 tahun untuk tidak lagi kekeringan?
Tapi, ketika di Majalengka akan dibangun BIJB, bandara internasional yang butuh
ketersediaan pasokan listrik dan air, Waduk Jatigede pembangunannya dipercepat.
Demikian
juga dengan mata rantai distribusi komoditas padi dan turunannya. Hal yang aneh
dan lucu, Pemerintah Pusat menentukan harga pokok gabah di tingkat petani,
sedangkan harga pokok beras selama ini dibiarkan melalui mekanisme pasar.
Hal
tersebut menyebabkan distorsi harga yang tinggi. Kebijakan tersebut hanya menguntungkan
para tengkulak, bukan petani atau buruh tani. Jika mengikuti teori di dalam
buku tersebut bahwa kekayaan dan kemiskinan disebabkan oleh sistem politik. Maka
sudah pasti solusinya pun melalui proses politik juga.
Singkatnya
jika faktor politik ditentukan oleh pembuat keputusan, maka sebenarnya kita
sebagai manusia harus mampu melakukan perubahan dengan cara mengubah kebijakan
yang digulirkan.
Kebijakan
ini harus bisa mengubah negara miskin menjadi kaya, daerah miskin menjadi kaya.
Bukan malah sebaliknya, seperti yang terjadi di Maluku pada jaman kolonial. Setelah
kedatangan VOC ke Maluku, perdagangan rempah-rempah akhirnya dimonopoli oleh
Belanda. Penguasa lokal tak bisa memanfaatkan keunggulan sumber dayanya menjadi
kekuatan.
Malah
yang terjadi penguasa lokal tunduk pada kolonialisme Eropa. Kerajaan-kerajaan
di Maluku pada saat itu sengaja diputus kejayaan perdagangannya oleh VOC dibandingkan
era sebelumnya. Demikian juga yang terjadi di Indramayu.
Sejak
dulu Indramayu dikenal dengan komoditas padi-nya. Daerah ini dikenal sebagai
lumbung padi. Hingga menjadi penopang perekonomian Kerajaan Padjajaran, catatan
ekspor beras Padjajaran ke Malaka sebesar 10 kapal jung per tahun.
Kemudian,
saat penyerangan Sultan Agung ke Batavia, Indramayu dan Karawang dijadikan
sebagai lumbung beras untuk perbekalan peperangan tersebut. Namun sayang lumbung
beras yang didirikan diketahui Belanda, kemudian dibakar.
Begitupun
ketika beralih pada era VOC, nilai ekspor beras dari Pelabuhan Cimanuk mencapai
ribuan ton, beras tersebut diangkut oleh 138 perahu. Saking populernya Indramayu
sebagai lumbung beras, Jepang pun mendaratnya di Indramayu pada tahun 1942. Magnet
utamanya adalah ketersedian pasokan beras untuk Perang Dunia II. [5]
Tak
heran kemudian Jepang memberlakukan politik beras, yang dikenal dengan istilah “Aiko Kurasawa-Shiraishi”. Yakni sebuah kebijakan pengambilan paksa padi
dari petani kepada tentara Jepang. Hingga akhirnya menyebabkan pemberontakan massif
di Indramayu pada saat itu. [6]
Tak
ubahnya dengan sekarang, petani di Indramayu tak pernah merasa diproteksi dan
dilindungi meskipun jasa-jasanya menyumbang pasokan beras nasional besar.
Petani dan buruh tani di Indramayu tetap didholimi dengan dibatasinya harga
pokok gabah sedang harga pokok beras tidak.
Sebagai
produsen petani di Indramayu tak dimanja kebijakan yang pro terhadapnya, yakni nilai
jual gabah yang tinggi. Kita hanya dimanfaatkan pemerintah pusat untuk pasokan
pangan, tanpa proteksi dan dukungan sepenuh hati untuk kemajuan Indramayu
mengurangi kemiskinan yang ada.
Percaya
atau tidak dengan teori buku tersebut, terserah orang Indramayu!
***
Data
[1] https://kotakuindramayu.wordpress.com/2015/06/30/hello-world/
[1] https://kotakuindramayu.wordpress.com/2015/06/30/hello-world/
[2]
BPS Jawa Barat
[3]
Dinas Pertanian Indramayu, 2013
[4]
Dinas Perikanan dan Kelautan Indramayu, 2013
[5]
Sejarah Indramayu, 1977
[6]
Pemberontakan Indonesia di Masa Pendudukan Jepang, 1988
Foto
[1] Meneer Panqi
[2] Timur Angin
[3] Berita Satu
Via
Opini
Posting Komentar