esai
Ayah saya
waktu muda pernah menjadi tukang beca di Jakarta. Ia mengajarkan pada saya
jangan mau hidup miskin. Namun, pada kesempatan lain juga diajari jangan
mengeluh dengan keadaan susah. Itu wejangan yang sampai sekarang beliau
contohkan.
Becak & Kemiskinan
Naik Beca Keliling Kota Jogja. Foto/Meneer Pangky |
Saat liburan
kemaren, saya tak memilih grab untuk mengantarkan saya keliling kota Jogja.
Saya pilih beca, saya ingin bernostalgia dengan kisah ayah. Beliau sering
bilang, seringkali penumpangnya memberi lebih. Hingga beliau bisa bantu nenek
beri modal nyawah.
Beliau
berpesan jangan pernah menjadi peminta-minta, jangan pernah jadi beban orang
lain. Jangan berpangku tangan pada orang lain. Hiduplah dengan apa yang kau
punya. Jika ingin sesuatu, usahakanlah untuk memiliki dengan keringatmu
sendiri. Jangan bersedih apa yang tidak dimiliki dengan mengiba kepada orang
hingga ia mengasihanimu.
Berusahalah
agar hidupmu lebih baik. Aturlah, supaya kau tidak hidup dengan membebani
dirimu sendiri. Pakai apa yang kau punya, jangan inginkan apa yang dipakai
orang sebelum kau sanggup memilikinya. Tak jadi megah dengan pakaian-pakaian, sementara
hidupmu berhutang.
Jadi, selama
masa kecil, saya tak ingat pernah merasa sedih atas kemiskinan kami. Hidup
biasa saja, nikmat. Makan nasi, sayur asem, dengan lauk tempe tahu, cukup
membuat perut kenyang. Tak pernah saya mengeluh makanan itu tak lezat atau
kurang. Bersyukur itu menikmati apa yang ada, tanpa kehilangan kesadaran bahwa
kita bisa membuatnya menjadi lebih baik.
***
Via
esai
Posting Komentar