Tokoh
Oleh : Supali Kasim
Ada hal prinsip yang menjadi pegangan Ki Dalang H. Tomo, yang juga pimpinan grup wayang kulit “Langen Kusuma”, Lohbener Indramayu. “Peran dalang dalam pergelaran wayang itu seperti ‘Pengéran’ (Tuhan) bagi wayang-wayang,” ujarnya.
Untuk mencapai tingkatan “pengéran” bagi wayang tentu saja bukan orang sembarangan. Dalang juga wajib memiliki kelebihan ilmu, baik dari segi kemampuan seni mendalang, memahami kebudayaan, kemasyarakatan, hingga perilaku dan agamanya. Dalang juga, selain memainkan wayang, ia pun harus mampu menguasai semua alat gamelan pengiring.
“Jika dalang sudah mampu menguasai ilmu-ilmu tersebut, tak pelak apapun bisa dimainkan,” ungkapnya.
Wawasan mendalang H. Tomo boleh dikatakan cukup luas. Apalagi ia juga ditunjang dengan pendidikan formal, yang pernah mengecap bangku SMP di SMPN Lohbener Indramayu. Bangku SMP pada zamannya termasuk pengalaman informal yang tinggi.
Mungkin hal ini pula yang menjadikan H. Tomo merupakan sosok dalang yang disegani pada zamannya. Ia mencuat dalam blantika wayang kulit, serta mampu menjadi panutan bagi dalang-dalang lainnya. Termasuk juga dalam lingkungan keluarga besarnya, yang hampir semuanya terjun dalam dunia wayang kulit.
Kiprah H. Tomo sebagai sebagai dalang memang tidak diragukan lagi. Sejak pertengahan dasawarsa 1970-an panggungan dia merambah wilayah pantai utara Jabar. Hingga era 1990-an jelajah panggungannya cukup meluas, dari Indramayu, Cirebon, Subang, Majalengka, Brebes, Jakarta, Banten, bahkan juga wilayah yang tergolong geokultural Pasundan.
"Orang Sunda banyak pula yang suka. Alasannya, cerita wayang kulit bisa diikuti, tembang-tembangnya disukai," ujar dalang yang terlahir 1 Oktober 1956 itu.
Puluhan kaset pun sudah ia hasilkan, seperti direkam oleh MTR Record maupun Dian Record. Cerita wayang bersama grup “Langen Kusuma” dalam bentuk kaset itu antara lain berjudul “Gatotgaca Difitnah”, “Raden Palasara”, “Jaka Mongkog”, “Lahirnya Anwas dan Anwar”, dll.
**
Perjalanan H. Tomo sebagai dalang wayang kulit memang bagaikan “buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya”. Peribahasa ini tepat untuk menggambarkan sosok dan asal-usulnya. Ayahnya (Rasmin) adalah dalang wayang, ibunya (Suminta) adalah penari topeng yang juga bisa mendalang wayang. Kakek dari ibunya (Darmin) adalah dalang wayang golek cepak.
“Ayah saya adalah seorang ustad, kemudian belajar mendalang. Ternyata mampu, dan bahkan menerima order panggungan,“ ujar H. Tomo.
Di lingkungan keluarga H. Tomo hampir semuanya adalah seniman. Saudara-saudaranya adalah Tarih (pesinden, penati topeng), Rusminih (wiyaga), Darkinih (Pesinden), Darsinih (wiyaga) Encin Rosinta (pesinden), Rusdi (dalang wayang), Erih Suhaeri (pesinden), dan Duiniawati (pesinden, pemain tarling). Beberapa keponakannya juga ada yang menjadi dalang, seperti Wanto, Caca Indra, Didi Rohedi, Dian Pradita Kusuma, Yudi, maupun para panjak (nayaga) wayang, sandiwara, dan tarling.
Salah satu dalang terkenal saat ini adalah H. Anom Rusdi, pimpinan “Langen Budaya” adalah adik kandungnya. Sedangkan adik bungsunya, Duniawati dikenal sebagai pesinden dan pemain tarling dalam “Duniawati Group”.
Kesenimanan H. Tomo turun kepada anak-anaknya, seperti halnya pada diri Dalang Rusmanto yang membawa grup wayang kulit “Langen Kusuma Putra”. Panggungan Dalang Pato, sebutan Rusmanto, cukup siginifikan di daerah pantura Jabar hingga Jateng. Adiknya, Dede Tismala mulai menjadi ‘dalang awan’, sebutan bagi dalang remaja yang menjadi dalang pada siang hari.
Sebagaimana para seniman tradisional Indramayu lainnya, ajaran mendalang memang berlangsung secara informal da nonformal. Tumbuh dalam lingkungan keluarga dalang adalah awalnya. Tomo kecil mulai mendalang saat pertunjukan siang hari yakni sekitar tahun 1975. Pada malam hari yang mendalang adalah bapaknya sendiri.
Ia juga banyak menimba ilmu mendalang dari beberapa senior. Yang paling diserap ilmunya adalah Dalang Sukenda dari Kandanghaur Kab. Indramayu, yang masih terhitung kerabatnya. Sukenda adalah dalang seangkatan Dalang Ramun, Taham (Kab. Indramayu) dan Dalang Abyor, Akirna, Jana (Kab. Cirebon).
**
Hal lain yang menjadikan ketokohan H. Tomo mencuat adalah pegangannya dalam berfilsafat. Seperti halnya saat ia mengupas tokoh Semar, tokoh kesukaannya. “Semar itu sosok yang pura-pura bodoh, tetapi bijaksana,” ungkapnya.
Sosok seperti ini memang seringkali berlawanan dengan zaman. Bahkan sekarang banyak yang kebalikannya. Dikatakannya, “Sekarang, seringkali yang muncul adalah orang-orang yang mengaku pintar. Tetapi ternyata bodoh. Bahkan jauh dari sikap bijaksana pula.”
Penghayatannya pada tokoh-tokoh wayang memang menjadikannya dalang yang berkarakter. Ia adalah salah satu dari dalang yang mampu memainkan wayang secara bagus sesuai pakemnya, dan sekaligus gayanya disukai publik.
Menarik pula ketika ia mengupas tokoh-tokoh Pandawa, yang dalam garis cerita wayang ditempatkan dengan genealogi protagonis. Pandawa, menurutnya, memiliki makna yang penting bagi kehidupan. Ia memiliki penafsiran bahwa Pandawa memiliki arti lain. Secara kirata (dikira-kira terkadang nyata) bahwa Pandawa diartikan sebagai Panutan Dakwah.
Lima tokoh Pandawa, di mata H. Tomo, adalah sebuah perjalanan kehidupan manusia yang lengkap. Ada makna yang dalam agar kehidupan tidak melenceng dari garis kebaikan dan kebenaran dengan memaknai karakteristik tokoh wayang, yang identik dengan sikap yang "kanan" tersebut.
Samiaji atau Yudhistira yang berkarakter suci dan ‘nrima’ apa adanya diartikan sebagai manusia bayi. Bima yang polos, ‘lempeng’, jujur adalah bocah. Arjuna yang sering melanglang dan identik dengan sebutan ‘lelana jagat’ adalah remaja. Si kembar Nakula-Sadewa ibarat sepasang suami-istri, yang harus seia-sekata, senasib-sepenanggungan.
Filsafat semacam itu, bagi Tomo, demikian mendasar dalam memainkan wayang. Tak hanya itu, semua unsur yang mendukung pergelaran wayang bukan hanya tontonan dan hiburan belaka. Lebih dari itu adalah sebuah makna, sebuah intisari, sebuah filsafat dalam kehidupan yang disampaikan melalui media wayang kulit. Penyampaian yang tak hanya dengan raga belaka, akan tetapi dengan rasa dan jiwa.
Tidaklah heran jika H. Tomo merasakan suatu kejanggalan ketika beberapa dalang muda justru tampak lebih mengejar order dibandingkan kesiapan pergelaran. Bahkan beberapa di antaranya ada yang sebenarnya belum siap, kalau tak boleh mengatakan belum layak menjadi dalang. Ilmu mendalang baru sedikit, penguasaan terhadap gamelan masih lemah, nayaga tak punya, gamelan tak punya, tetapi sudah menerima panggungan.
Bagi H. Tomo, puncak kepuasan mendalang bukanlah pada banyaknya panggungan. Kepuasan yang sejati terletak pada kepuasan batin, yakni ketika penonton sangat antusias dan apresian. Tetapi ketika sekarang, penonton lebih menitikberatkan pada unsur "yang penting ramai", Tomo merasakannya sebagai sesuatu yang pahit tetapi harus ditelan.
Fenomena itu pernah ia rasakan pada suatu pentas di sebuah desa. Penonton sangat banyak. Bahkan beberapa di antaranya membawa pesinden sendiri, hingga pesinden berjumlah delapan orang. Penonton mengatur pementasan. Sampai-sampai waktu pertunjukan habis oleh tembang pesinden, karena kesempatan untuk dalang hanya sedikit.
“Dalang seperti patung yang duduk manis di bagian depan nayaga. Harusnya sutradara adalah dalang. Justru sutradaranya adalah pentonton. Mereka mengatur dan memonopoli dengan kekuatan uang sawer,” ungkapnya termenung.
Kekuatan pasar seperti itu sulit dilawan. Akan tetapi sepanjang bisa dilawan, Tomo pun melakukannya. Seperti halnya saat ia bersama grupnya ‘manggung’ di sebuah desa dalam acara adat Ngunjung. Panitia menginginkan lakon tentang Sunan Gunungjati.
Dengan berbagai kalimat yang halus agar tak menyinggung perasaan, Tomo melakukan penolakan. Dikatakan H. Tomo, “Lakon seperti itu bukanlah pakem wayang kulit, tetapi wayang golek cepak.”
Secara formal, pengakuan terhadap kemampuan Tomo pernah diperoleh saat ia menyabet Juara I Binojakrama (Festival Dalang) se Jawa Barat Tahun 1988 di Bekasi. Saat itu lakon yang dibawakan adalah "Jabang Tutuka" selama satu jam.
Biografi | H. Tomo - Dalang Itu ‘Pengéran’ bagi Wayang-wayang
Ki Dalang Tomo. Foto/Supali Kasim |
Oleh : Supali Kasim
Ada hal prinsip yang menjadi pegangan Ki Dalang H. Tomo, yang juga pimpinan grup wayang kulit “Langen Kusuma”, Lohbener Indramayu. “Peran dalang dalam pergelaran wayang itu seperti ‘Pengéran’ (Tuhan) bagi wayang-wayang,” ujarnya.
Untuk mencapai tingkatan “pengéran” bagi wayang tentu saja bukan orang sembarangan. Dalang juga wajib memiliki kelebihan ilmu, baik dari segi kemampuan seni mendalang, memahami kebudayaan, kemasyarakatan, hingga perilaku dan agamanya. Dalang juga, selain memainkan wayang, ia pun harus mampu menguasai semua alat gamelan pengiring.
“Jika dalang sudah mampu menguasai ilmu-ilmu tersebut, tak pelak apapun bisa dimainkan,” ungkapnya.
Wawasan mendalang H. Tomo boleh dikatakan cukup luas. Apalagi ia juga ditunjang dengan pendidikan formal, yang pernah mengecap bangku SMP di SMPN Lohbener Indramayu. Bangku SMP pada zamannya termasuk pengalaman informal yang tinggi.
Mungkin hal ini pula yang menjadikan H. Tomo merupakan sosok dalang yang disegani pada zamannya. Ia mencuat dalam blantika wayang kulit, serta mampu menjadi panutan bagi dalang-dalang lainnya. Termasuk juga dalam lingkungan keluarga besarnya, yang hampir semuanya terjun dalam dunia wayang kulit.
Kiprah H. Tomo sebagai sebagai dalang memang tidak diragukan lagi. Sejak pertengahan dasawarsa 1970-an panggungan dia merambah wilayah pantai utara Jabar. Hingga era 1990-an jelajah panggungannya cukup meluas, dari Indramayu, Cirebon, Subang, Majalengka, Brebes, Jakarta, Banten, bahkan juga wilayah yang tergolong geokultural Pasundan.
"Orang Sunda banyak pula yang suka. Alasannya, cerita wayang kulit bisa diikuti, tembang-tembangnya disukai," ujar dalang yang terlahir 1 Oktober 1956 itu.
Puluhan kaset pun sudah ia hasilkan, seperti direkam oleh MTR Record maupun Dian Record. Cerita wayang bersama grup “Langen Kusuma” dalam bentuk kaset itu antara lain berjudul “Gatotgaca Difitnah”, “Raden Palasara”, “Jaka Mongkog”, “Lahirnya Anwas dan Anwar”, dll.
**
Perjalanan H. Tomo sebagai dalang wayang kulit memang bagaikan “buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya”. Peribahasa ini tepat untuk menggambarkan sosok dan asal-usulnya. Ayahnya (Rasmin) adalah dalang wayang, ibunya (Suminta) adalah penari topeng yang juga bisa mendalang wayang. Kakek dari ibunya (Darmin) adalah dalang wayang golek cepak.
“Ayah saya adalah seorang ustad, kemudian belajar mendalang. Ternyata mampu, dan bahkan menerima order panggungan,“ ujar H. Tomo.
Di lingkungan keluarga H. Tomo hampir semuanya adalah seniman. Saudara-saudaranya adalah Tarih (pesinden, penati topeng), Rusminih (wiyaga), Darkinih (Pesinden), Darsinih (wiyaga) Encin Rosinta (pesinden), Rusdi (dalang wayang), Erih Suhaeri (pesinden), dan Duiniawati (pesinden, pemain tarling). Beberapa keponakannya juga ada yang menjadi dalang, seperti Wanto, Caca Indra, Didi Rohedi, Dian Pradita Kusuma, Yudi, maupun para panjak (nayaga) wayang, sandiwara, dan tarling.
Salah satu dalang terkenal saat ini adalah H. Anom Rusdi, pimpinan “Langen Budaya” adalah adik kandungnya. Sedangkan adik bungsunya, Duniawati dikenal sebagai pesinden dan pemain tarling dalam “Duniawati Group”.
Kesenimanan H. Tomo turun kepada anak-anaknya, seperti halnya pada diri Dalang Rusmanto yang membawa grup wayang kulit “Langen Kusuma Putra”. Panggungan Dalang Pato, sebutan Rusmanto, cukup siginifikan di daerah pantura Jabar hingga Jateng. Adiknya, Dede Tismala mulai menjadi ‘dalang awan’, sebutan bagi dalang remaja yang menjadi dalang pada siang hari.
Sebagaimana para seniman tradisional Indramayu lainnya, ajaran mendalang memang berlangsung secara informal da nonformal. Tumbuh dalam lingkungan keluarga dalang adalah awalnya. Tomo kecil mulai mendalang saat pertunjukan siang hari yakni sekitar tahun 1975. Pada malam hari yang mendalang adalah bapaknya sendiri.
Ia juga banyak menimba ilmu mendalang dari beberapa senior. Yang paling diserap ilmunya adalah Dalang Sukenda dari Kandanghaur Kab. Indramayu, yang masih terhitung kerabatnya. Sukenda adalah dalang seangkatan Dalang Ramun, Taham (Kab. Indramayu) dan Dalang Abyor, Akirna, Jana (Kab. Cirebon).
**
Hal lain yang menjadikan ketokohan H. Tomo mencuat adalah pegangannya dalam berfilsafat. Seperti halnya saat ia mengupas tokoh Semar, tokoh kesukaannya. “Semar itu sosok yang pura-pura bodoh, tetapi bijaksana,” ungkapnya.
Sosok seperti ini memang seringkali berlawanan dengan zaman. Bahkan sekarang banyak yang kebalikannya. Dikatakannya, “Sekarang, seringkali yang muncul adalah orang-orang yang mengaku pintar. Tetapi ternyata bodoh. Bahkan jauh dari sikap bijaksana pula.”
Penghayatannya pada tokoh-tokoh wayang memang menjadikannya dalang yang berkarakter. Ia adalah salah satu dari dalang yang mampu memainkan wayang secara bagus sesuai pakemnya, dan sekaligus gayanya disukai publik.
Menarik pula ketika ia mengupas tokoh-tokoh Pandawa, yang dalam garis cerita wayang ditempatkan dengan genealogi protagonis. Pandawa, menurutnya, memiliki makna yang penting bagi kehidupan. Ia memiliki penafsiran bahwa Pandawa memiliki arti lain. Secara kirata (dikira-kira terkadang nyata) bahwa Pandawa diartikan sebagai Panutan Dakwah.
Lima tokoh Pandawa, di mata H. Tomo, adalah sebuah perjalanan kehidupan manusia yang lengkap. Ada makna yang dalam agar kehidupan tidak melenceng dari garis kebaikan dan kebenaran dengan memaknai karakteristik tokoh wayang, yang identik dengan sikap yang "kanan" tersebut.
Samiaji atau Yudhistira yang berkarakter suci dan ‘nrima’ apa adanya diartikan sebagai manusia bayi. Bima yang polos, ‘lempeng’, jujur adalah bocah. Arjuna yang sering melanglang dan identik dengan sebutan ‘lelana jagat’ adalah remaja. Si kembar Nakula-Sadewa ibarat sepasang suami-istri, yang harus seia-sekata, senasib-sepenanggungan.
Filsafat semacam itu, bagi Tomo, demikian mendasar dalam memainkan wayang. Tak hanya itu, semua unsur yang mendukung pergelaran wayang bukan hanya tontonan dan hiburan belaka. Lebih dari itu adalah sebuah makna, sebuah intisari, sebuah filsafat dalam kehidupan yang disampaikan melalui media wayang kulit. Penyampaian yang tak hanya dengan raga belaka, akan tetapi dengan rasa dan jiwa.
Tidaklah heran jika H. Tomo merasakan suatu kejanggalan ketika beberapa dalang muda justru tampak lebih mengejar order dibandingkan kesiapan pergelaran. Bahkan beberapa di antaranya ada yang sebenarnya belum siap, kalau tak boleh mengatakan belum layak menjadi dalang. Ilmu mendalang baru sedikit, penguasaan terhadap gamelan masih lemah, nayaga tak punya, gamelan tak punya, tetapi sudah menerima panggungan.
Bagi H. Tomo, puncak kepuasan mendalang bukanlah pada banyaknya panggungan. Kepuasan yang sejati terletak pada kepuasan batin, yakni ketika penonton sangat antusias dan apresian. Tetapi ketika sekarang, penonton lebih menitikberatkan pada unsur "yang penting ramai", Tomo merasakannya sebagai sesuatu yang pahit tetapi harus ditelan.
Fenomena itu pernah ia rasakan pada suatu pentas di sebuah desa. Penonton sangat banyak. Bahkan beberapa di antaranya membawa pesinden sendiri, hingga pesinden berjumlah delapan orang. Penonton mengatur pementasan. Sampai-sampai waktu pertunjukan habis oleh tembang pesinden, karena kesempatan untuk dalang hanya sedikit.
“Dalang seperti patung yang duduk manis di bagian depan nayaga. Harusnya sutradara adalah dalang. Justru sutradaranya adalah pentonton. Mereka mengatur dan memonopoli dengan kekuatan uang sawer,” ungkapnya termenung.
Kekuatan pasar seperti itu sulit dilawan. Akan tetapi sepanjang bisa dilawan, Tomo pun melakukannya. Seperti halnya saat ia bersama grupnya ‘manggung’ di sebuah desa dalam acara adat Ngunjung. Panitia menginginkan lakon tentang Sunan Gunungjati.
Dengan berbagai kalimat yang halus agar tak menyinggung perasaan, Tomo melakukan penolakan. Dikatakan H. Tomo, “Lakon seperti itu bukanlah pakem wayang kulit, tetapi wayang golek cepak.”
Secara formal, pengakuan terhadap kemampuan Tomo pernah diperoleh saat ia menyabet Juara I Binojakrama (Festival Dalang) se Jawa Barat Tahun 1988 di Bekasi. Saat itu lakon yang dibawakan adalah "Jabang Tutuka" selama satu jam.
Penampilannya dianggap bagus oleh juri, dari segi cerita maupun harmonisasi gamelan. Tahun 2005 ia juga memperoleh Anugerah Seni dari Dewan Kesenian Indramayu (DKI) atas eksistensinya dalam seni tradisional.
***
***
Via
Tokoh
Posting Komentar