Tokoh
Oleh: Supali Kasim
Orang akan selalu mengingatnya sebagai sosok seniman panggung yang "total" ketika menembangkan lagu-lagu klasik daerah Dermayu-Cerbon. Wajahnya sangat ekspresif, suara emasnya melengking tinggi, dan tangannya menepak-nepak alat musik rebana (genjring) yang digenggam mengikuti irama. Bahkan matanya pun seringkali terpejam lama, seakan-akan ikut larut dalam penghayatan lagu yang ditembangkannya.
Jayana, nama seniman tarling itu, memang ekspresif sekaligus eksentrik. Suaranya hingga kini masih bisa diperdengarkan lewat nomor-nomor tembang kiser pada tarling-klasik (misalnya bersama pesinden Dadang Darniah), seperti Kiser Manunggal, Kiser Sunyaragi, Banjaran Solo, Kidang Mas, Darma Bhakti, Layung Sari, Segagang Melati, dan puluhan tembang klasik lainnya.
**
Tak banyak wirasuara yang mampu menembangkan lagu-lagu klasik. Di antara yang sedikit itu adalah Jayana. Bahkan dia merupakan maestronya. Tembang klasik pada tarling, mungkin bisa dipadankan sebagai tembang balada atau elegi. Tentang narasi tunggal biografinya, atau tentang kerinduan, kemesraan, cinta yang dalam, bahkan juga kesedihan dan ratapan.
Jayana, yang berasal dari Karangampel Kabupaten Indramayu, sejak masa remaja seringkali melakukan pengembaraan di pelosok desa-desa Indramayu hingga Cirebon. Pada dekade 1940-an itu langkah kesenimanannya makin mantap, meskipun ia berasal dari keluarga pejabat zaman itu. Ia memang terlahir dari seorang camat di Karangampel.
Menurut pengakuan Sugra –sebagai pelopor seni tarling, pada sekitar tahun 1950-an Jayana pernah bergabung dengan rombongan Tarling Sugra. Saat pertama kali datang, suaranya dianggap masih belum bagus. Keakrabannya dengan kelompok Sugra membuat Jayana makin terlatih, termasuk suaranya pun menjadi lebih baik.
Suara dan petikan gitar Jayana bahkan mampu menghanyutkan orang lain. Fenomena ini memiliki cerita tersendiri yang cukup menarik pada tahun 1950-an. Syahdan suatu malam Jayana yang masih tergolong remaja dan berambut gondrong, seperti biasanya keluyuran sambil menyandang gitar. Ia menyusuri jalan, tak tentu arah tujuan. Tiba-tiba ia disergap pasukan DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia). Saat itu memang kemerdekaan Indonesia tengah diguncang pemberontakan dalam negeri, di antaranya DI/TII di Jawa Barat.
Pemuda gondrong itu tak mampu menjawab secara meyakinkan atas pertanyaan para penyergap. Tak pelak ia segera dibawa ke tempat persembunyian DI/TII di sekitar wilayah Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu. Beberapa sumber lain menyebutkan peristiwa itu terjadi di sekitar Kecamatan Karangampel, Kabupaten Indramayu.
Jayana merasa sangat takut. Ia sedih, batinnya merintih. Bayangannya antara hidup atau mati. Apalagi kemudian ia dijebloskan ke sebuah bangunan semacam penjara. Kepada penjaga, Jayana memohon agar sebelum hukuman dijatuhkan atas dirinya, ia menyampaikan satu permohonan. Permintaannya bukanlah sesuatu yang mahal. Ia hanya minta agar diizinkan menyanyi sambil memetik gitar.
Mengalunlah suaranya yang menyayat diiringi petikan gitar membelah kesunyian dan kepekatan malam. Rintihan suaranya seolah-olah ekspresi diri yang akan melangkah menjalani hukuman maha berat. Lalu, bagaimana reaksi para penjaga?
Tak dinyana dan tak diduga, ternyata mereka amat tersentuh. Bahkan salah seorang di antaranya kemudian berkata, "Kalau kau masih ingin hidup, begini saja, saya pura-pura tertidur, lalu kau segera lari. Cepat!"
Jayana pun selamat. Lebih dari itu suara dan tembangnya makin terkenal dengan lagu-lagu klasik Dermayonan dan Cerbonan melalui kesenian tarling hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada dekade 1990-an setelah melewati masa keemasan dan menyaksikan perkembangan tarling yang cukup cepat.
**
Latar belakang Jayana, ternyata bukan hanya sebagai seniman tarling. Pertama kali justru masuk rombongan sandiwara "Irama Sari" di Lohbener Indramayu. Jayana juga pernah bergabung bersama seniman sandiwara, seperti Domo Suraji, Demba, Wartaka, Salmin, Mukmin, Gendut Ramli, Lengser dalam grup sandiwara "Panca Tunggal".
Jayana juga pernah bergabung dengan Uci Sanusi, seniman tarling dari Desa Jemaras, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon pada tahun-tahun menjelang 1960. Saat itu mereka menamakan tarling sebagai "Melodi Kota Udang".
Sejak kurun waktu tersebut setiap pergelaran tarling ditempatkan di atas panggung kayu dalam acara hajatan. Sebelumnya hanya bermain di emperan rumah secara ‘lesehan’ di atas tikar pandan. Grup tarling itu juga dilengkapi dengan alat perkusi yang lebih lengkap menjadi semacam "orkestra".
Jayana ternyata juga pernah bergabung dengan Abdul Adjib dan Sunarto Marta Atmadja, yang membentuk grup "Putra Nada Jaya" pada tahun 1977. Nama itu merupakan gabungan dari latar belakang masing-masing. "Putra" diambil dari nama grup Abdul Adjib, "Putra Sangkala". Sedangkan "Nada" berasal dari grup Sunarto, "Nada Budaya", sementara "Jaya" diambil dari nama "Jayana". Grup ini tidak bertahan lama. Masing-masing kemudian kembali ke grupnya masing-masing.
Di kemudian hari, Jayana yang memiliki nama panggung, Jhon Jayana, kembali ke desanya di Karangampel, Kabupaten Indramayu. Di panggung tarling, acapkali para pesinden memanggil lewat tembangan dengan sebutan khas, “Kang Jhoooooon.........”
Pada masa itu ia kemudian membentuk grup tarling sendiri, yang diberi nama "Melodi Kota Ayu". Hingga dekade 1980-an namanya makin eksis sebagai wirasuara tarling yang menembangkan lagu-lagu klasik secara khas. Boleh dikatakan belum ada seniman tarling lain yang mampu menandingi suaranya yang melengking tinggi.
**
Pamor panggungnya mulai surut seirama usianya yang meninggi, sementara kesenian tarling juga mulai terpengaruh aliran dangdut. Para seniman tarling muda-usia yang banyak bermunculan seakan-akan menepikan sosok Jayana.
Meski demikian segmen penggemar Jayana tetap ada, seperti halnya para penikmat seni yang ingin benar-benar apresiatif terhadap tarling. Hal itu diperoleh dari penampilan Jayana, dengan suguhan klasiknya, saat tampil di Hotel Kartika Plaza, Jakarta (1996). Ia mendapatkan sambutan hangat dari para penggemar yang kebanyakan adalah masyarakat Indramayu-Cirebon yang ada di Jakarta.
Jayana meninggal dunia pada tahun 1997. Meninggalkan seorang istri, Mimi Eti, yang juga seorang pesinden tarling, dan seorang anak. Ia dikebumikan di Tegalsemaya, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu. Pada pusaranya tertera sebuah patung gitar dan suling, yang terbuat dari semen. Seperti menembangkan suara lengkingan khas, “Kang Jhoooon.......”. Seperti mengabarkan kedekatan dan kelekatannya dengan tarling yang tak dapat dipisahkan. Pun sampai akhir hayat.
***
Biografi | Jayana - Tembang Menyayat sampai Akhir Hayat
Jayana sedang manggung. Foto/Supali Kasim |
Orang akan selalu mengingatnya sebagai sosok seniman panggung yang "total" ketika menembangkan lagu-lagu klasik daerah Dermayu-Cerbon. Wajahnya sangat ekspresif, suara emasnya melengking tinggi, dan tangannya menepak-nepak alat musik rebana (genjring) yang digenggam mengikuti irama. Bahkan matanya pun seringkali terpejam lama, seakan-akan ikut larut dalam penghayatan lagu yang ditembangkannya.
Jayana, nama seniman tarling itu, memang ekspresif sekaligus eksentrik. Suaranya hingga kini masih bisa diperdengarkan lewat nomor-nomor tembang kiser pada tarling-klasik (misalnya bersama pesinden Dadang Darniah), seperti Kiser Manunggal, Kiser Sunyaragi, Banjaran Solo, Kidang Mas, Darma Bhakti, Layung Sari, Segagang Melati, dan puluhan tembang klasik lainnya.
**
Tak banyak wirasuara yang mampu menembangkan lagu-lagu klasik. Di antara yang sedikit itu adalah Jayana. Bahkan dia merupakan maestronya. Tembang klasik pada tarling, mungkin bisa dipadankan sebagai tembang balada atau elegi. Tentang narasi tunggal biografinya, atau tentang kerinduan, kemesraan, cinta yang dalam, bahkan juga kesedihan dan ratapan.
Jayana, yang berasal dari Karangampel Kabupaten Indramayu, sejak masa remaja seringkali melakukan pengembaraan di pelosok desa-desa Indramayu hingga Cirebon. Pada dekade 1940-an itu langkah kesenimanannya makin mantap, meskipun ia berasal dari keluarga pejabat zaman itu. Ia memang terlahir dari seorang camat di Karangampel.
Menurut pengakuan Sugra –sebagai pelopor seni tarling, pada sekitar tahun 1950-an Jayana pernah bergabung dengan rombongan Tarling Sugra. Saat pertama kali datang, suaranya dianggap masih belum bagus. Keakrabannya dengan kelompok Sugra membuat Jayana makin terlatih, termasuk suaranya pun menjadi lebih baik.
Suara dan petikan gitar Jayana bahkan mampu menghanyutkan orang lain. Fenomena ini memiliki cerita tersendiri yang cukup menarik pada tahun 1950-an. Syahdan suatu malam Jayana yang masih tergolong remaja dan berambut gondrong, seperti biasanya keluyuran sambil menyandang gitar. Ia menyusuri jalan, tak tentu arah tujuan. Tiba-tiba ia disergap pasukan DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia). Saat itu memang kemerdekaan Indonesia tengah diguncang pemberontakan dalam negeri, di antaranya DI/TII di Jawa Barat.
Pemuda gondrong itu tak mampu menjawab secara meyakinkan atas pertanyaan para penyergap. Tak pelak ia segera dibawa ke tempat persembunyian DI/TII di sekitar wilayah Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu. Beberapa sumber lain menyebutkan peristiwa itu terjadi di sekitar Kecamatan Karangampel, Kabupaten Indramayu.
Jayana merasa sangat takut. Ia sedih, batinnya merintih. Bayangannya antara hidup atau mati. Apalagi kemudian ia dijebloskan ke sebuah bangunan semacam penjara. Kepada penjaga, Jayana memohon agar sebelum hukuman dijatuhkan atas dirinya, ia menyampaikan satu permohonan. Permintaannya bukanlah sesuatu yang mahal. Ia hanya minta agar diizinkan menyanyi sambil memetik gitar.
Mengalunlah suaranya yang menyayat diiringi petikan gitar membelah kesunyian dan kepekatan malam. Rintihan suaranya seolah-olah ekspresi diri yang akan melangkah menjalani hukuman maha berat. Lalu, bagaimana reaksi para penjaga?
Tak dinyana dan tak diduga, ternyata mereka amat tersentuh. Bahkan salah seorang di antaranya kemudian berkata, "Kalau kau masih ingin hidup, begini saja, saya pura-pura tertidur, lalu kau segera lari. Cepat!"
Jayana pun selamat. Lebih dari itu suara dan tembangnya makin terkenal dengan lagu-lagu klasik Dermayonan dan Cerbonan melalui kesenian tarling hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada dekade 1990-an setelah melewati masa keemasan dan menyaksikan perkembangan tarling yang cukup cepat.
**
Latar belakang Jayana, ternyata bukan hanya sebagai seniman tarling. Pertama kali justru masuk rombongan sandiwara "Irama Sari" di Lohbener Indramayu. Jayana juga pernah bergabung bersama seniman sandiwara, seperti Domo Suraji, Demba, Wartaka, Salmin, Mukmin, Gendut Ramli, Lengser dalam grup sandiwara "Panca Tunggal".
Jayana juga pernah bergabung dengan Uci Sanusi, seniman tarling dari Desa Jemaras, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon pada tahun-tahun menjelang 1960. Saat itu mereka menamakan tarling sebagai "Melodi Kota Udang".
Sejak kurun waktu tersebut setiap pergelaran tarling ditempatkan di atas panggung kayu dalam acara hajatan. Sebelumnya hanya bermain di emperan rumah secara ‘lesehan’ di atas tikar pandan. Grup tarling itu juga dilengkapi dengan alat perkusi yang lebih lengkap menjadi semacam "orkestra".
Jayana ternyata juga pernah bergabung dengan Abdul Adjib dan Sunarto Marta Atmadja, yang membentuk grup "Putra Nada Jaya" pada tahun 1977. Nama itu merupakan gabungan dari latar belakang masing-masing. "Putra" diambil dari nama grup Abdul Adjib, "Putra Sangkala". Sedangkan "Nada" berasal dari grup Sunarto, "Nada Budaya", sementara "Jaya" diambil dari nama "Jayana". Grup ini tidak bertahan lama. Masing-masing kemudian kembali ke grupnya masing-masing.
Di kemudian hari, Jayana yang memiliki nama panggung, Jhon Jayana, kembali ke desanya di Karangampel, Kabupaten Indramayu. Di panggung tarling, acapkali para pesinden memanggil lewat tembangan dengan sebutan khas, “Kang Jhoooooon.........”
Pada masa itu ia kemudian membentuk grup tarling sendiri, yang diberi nama "Melodi Kota Ayu". Hingga dekade 1980-an namanya makin eksis sebagai wirasuara tarling yang menembangkan lagu-lagu klasik secara khas. Boleh dikatakan belum ada seniman tarling lain yang mampu menandingi suaranya yang melengking tinggi.
**
Pamor panggungnya mulai surut seirama usianya yang meninggi, sementara kesenian tarling juga mulai terpengaruh aliran dangdut. Para seniman tarling muda-usia yang banyak bermunculan seakan-akan menepikan sosok Jayana.
Meski demikian segmen penggemar Jayana tetap ada, seperti halnya para penikmat seni yang ingin benar-benar apresiatif terhadap tarling. Hal itu diperoleh dari penampilan Jayana, dengan suguhan klasiknya, saat tampil di Hotel Kartika Plaza, Jakarta (1996). Ia mendapatkan sambutan hangat dari para penggemar yang kebanyakan adalah masyarakat Indramayu-Cirebon yang ada di Jakarta.
Jayana meninggal dunia pada tahun 1997. Meninggalkan seorang istri, Mimi Eti, yang juga seorang pesinden tarling, dan seorang anak. Ia dikebumikan di Tegalsemaya, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu. Pada pusaranya tertera sebuah patung gitar dan suling, yang terbuat dari semen. Seperti menembangkan suara lengkingan khas, “Kang Jhoooon.......”. Seperti mengabarkan kedekatan dan kelekatannya dengan tarling yang tak dapat dipisahkan. Pun sampai akhir hayat.
***
Via
Tokoh
Posting Komentar