Tokoh
Oleh: Supali Kasim
Era keemasan pernah dicapai kesenian bernama wayang golek menak --atau lebih populer dengan sebutan wayang golek cepak-- pada dasawarsa 1950-an hingga 1970-an di daerah pantai utara Jawa Barat hingga Jawa Tengah.
Era itulah yang benar-benar dirasakan dan dinikmati dalang populer pada saat itu, Ki Tayut. Pada masa itu dalang yang berdomisili di Desa Juntinyuat, Kec. Juntinyuat, Kab. Indramayu itu seperti kewalahan menerima order panggungan. Bukan hanya seputar Kab. Indramayu, akan tetapi juga melebar ke Cirebon, Majalengka, Brebes, dan Tegal.
Panggungannya juga tidak pada acara hajatan khitanan atau adat desa semacam ngunjung dan baritan, juga untuk acara Tahun Baru Imlek. Acara yang diadakan masyarakat keturunan Tionghoa itu seringkali mengundang Ki Tayut untuk mendalang golek. “Beberapa kali saya manggung di klenteng, di Cirebon dan Jatiwangi pada tahun baru Cina,” ungkapnya saat itu, seperti ditirukan para keturunannya.
Secara keseluruhan dalam sebulan, orderan bisa mencapai mencapai 20 kali. Suatu angka yang cukup tinggi dibandingkan masa kini yang seperti berada di titik nadir. Ki Tayut menyebut hal ini sebagai ridho Gusti Allah. Sebagai amanat yang harus dijalankan dalam memaparkan gambaran babad, legenda, atau sejarah desa dan daerah lokal melalui cerita golek. Ketika ia meninggal, sekitar seperempat abad yang lalu, amanat itu pula yang ia embankan kepada anak-cucunya.
Wayang golek menak atau cepak merupakan salah satu kesenian tradisional yang berkembang di Indramayu. Wayang tersebut berbeda dengan wayang kulit purwa atau wayang golek purwa (Sunda) yang mengambil cerita berdasar Mahabharata dan Ramayana. Wayang golek cepak atau menak merujuk sumber cerita pada “serat menak” dan babad atau legenda atau sejarah lokal.
Latar cerita “serat menak” itu adalah cerita kepahlawanan Islam, sehingga terdapat nama-nama seperti Umar Maya (Amar bin Amaya atau Abu Jahal), Umar Mahdi (sahabat Umar), Menak Kambyah (sahabat Hamzah), dll. Cerita tersebut merupakan transformasi dari sastra Melayu pada abad ke-17 yang dilakukan kalangan Keraton Surakarta. Hikayat tersebut berinduk dari sastra Parsi, “Qissa il Emir Hamza”, cerita kepahlawanan Parsi yang meriwayatkan Amir Hamzah yang gagah berani dalam menyebarkan agama kebenaran.
Menurut Sedyawati (2001, dalam Rochkyatmo, 2002 : x) kesenian tersebut berkorelasi dengan perkembangan sastra Jawa. Fase-fasenya adalah (a) berkembangnya sastra pesisiran tahun 1511-1625, (b) masa Mataram tahun 1587-1677, (c) Masa Kertasura tahun 1678-1755, dan (d) Masa Surakarta dan Yogyakarta tahun 1755-1920.
Perkembangan tersebut juga melebar hingga daerah pantai utara, termasuk di Keraton Cirebon. Agaknya itu pula yang diingat Ki Tayut. Berdasar tutur-tinular dari orangtuanya, ia memiliki silsilah sebagai penerus generasi ke-15 dalang wayang golek, yang berasal dari Keraton Cirebon. Orangtua Tayut adalah dalang wayang golek cepak bernama Ki Jana alias Ki Jali dan istrinya Dewi Ngabehi, yang berasal dari Kebagusan Palimanan Kabupaten Cirebon.
Tidak heran pula menurut para cucunya, Ki Tayut juga memberikan warisan kesenian wayang golek. Juga ilmu berkesenian. Bahkan juga termasuk seperangkat gamelan pelog lengkap dan wayang golek cepak. Itu diwariskan kepada masing-masing anaknya.
"Éh, Nang, kerna réang ngopéni sira-sira karo ridho Gusti Allah lan susah-senengé sing golék cepak, dadi terusaken!" Wasiat itu yang selalu diingat para cucunya hingga kini, yang maksudnya adalah, “Hai, Nak, karena saya membesarkan kalian dengan ridho Allah Swt dan suka-duka dari usaha wayang golek cepak, jadi teruskan!.
**
Ki Tayut memiliki nama asli sebagai Taya. Dari nama Taya, kemudian lebih terkenal dengan sebutan Tayut. Bagi masyarakat desa tempatnya tinggal, ia sudah menjadi legenda seniman. Tapak dan jejaknya sangat membekas sebagai dalang wayang golek, serta pengaruhnya dalam hal berkesenian. Tidak heran jika secara informal, orang mengenal sebuah nama blok di Desa Juntinyuat sebagai Blok Ki Tayut atau Jalan Ki Tayut.
Memang pada dekade kehidupan Ki Tayut dengan grup wayang golek menak/cepak "Sri Budi Karya" sangat populer. Tontonan bernama wayang itu menjadi seekan-akan menjadi hiburan utama dalam merefleksikan kehidupan secara historis maupun filosofis.
Kini, sudah sekitar seperempat abad ia meninggal, tetapi jejak itu tetap membekas. Hingga akhir hayatnya sekitar tahun 1980-an, kesenimanan Ki Tayut menurun pada anak-anaknya, seperti Tarkam (dalang wayang kulit), Taram (dalang wayang golek cepak), Ratinah (tari topeng), Durja (dalang wayang kulit). Anak ketiga, yakni Taswiyem, darah seninya mengalir ke anaknya.
Selain anak, cucu-cucu Tayut juga meneruskan profesi senimannya, yaitu Warcita (dalang wayang kulit), Asmara (pengendang, dalang wayang golek cepak), Asniti (tari topeng), Tarjaya (dalang wayang golek cepak), dan Sujaya yang berupaya menghidupkan kembali wayang golek cepak/menak. Juga beberapa cucu lain sebagai nayaga. Adik Tayut, yakni Raminten, juga seorang seniwati, yaki penari topeng. Selain itu Warsad, dalang wayang golek cepak asal Gadingan Sliyeg Indramayu, dianggap sebagai anak angkat, karena kedekatannya.
Ketokohan Tayut di bidang seni-budaya mendapatkan tempat di hati Kuwu Desa Juntinyuat saat itu, Ki Arsitem. Penghargaan diberikan berupa gelar kepada Tayut yakni Ki Nataperdika.
**
Beruntunglah Ki Tayut, karena regenerasi tak putus. Taram, putranya, meneruskan karier mendalang. Namun ternyata, dekade Taram ternyata berbeda. Saat-saat era keredupan wayang golek cepak/menak mulai nyata. Pada dasawarsa 1980-an hingga 1990-an itu order panggungan menurun drastis. Sebulan pernah mencapai 5 sampai 10 kali panggungan, tetapi tahun-tahun berikutnya terus merosot.
Taram memang pernah berjaya juga untuk meneruskan ayahnya. Dia beberapa kali manggung bukan hanya di Indramayu dan Cirebon. Juga beberapa kali diundang di Jatiwangi Majalengka, Songgom, Pekalongan (Jateng). Bahkan juga beberapa kali pula ia tampil secara ‘live’ di RRI Cirebon.
Penurunan panggungan mulai terasa seiring masuknya kesenian yang lebih nge-pop. Ia merasakan betul kepahitan itu sejak dekade 1990-an. Namun di tengah penurunan itu, ada geregap tersendiri ketika Dosen STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia, kini ISBI) Bandung yang juga peneliti kesenian tradisional, Endo Suanda, meminta kesediaan Taram untuk tampil di Jepang. Semangat baru tampak muncul. Ada wajah sumringah dan hati yang berbunga-bunga.
Taram, yang biasa tampil di lingkungan orang hajatan atau lingkungan kuburan (Ngunjung) harus tampil di gedung kesenian di luar negeri. Taram, yang jika tak ada panggungan, biasa macul di sawah atau nyuduh mencari ikan di laut, harus bersiap dengan dunai baru, yang terasa asing. Ada debar sendiri, antara percaya dan tak percaya.
Di balik itu juga muncul sebuah pertanyaan, kenapa orang asing kok suka wayang golek cepak. Sampai-sampai dari Indramayu diundang pentas ke Jepang. Pertanyaan yang tak terjawab dalam pikiran sederhana dia.
Wayang-wayangnya pada dekade 1990-an pernah didokumentasikan Yayasan Budaya Indonesia (YBI). Penggiatnya, yakni Arif Yudi dan Dedi ‘Kijoen’ Junaedi dengan telaten memotret setiap sosok wayang golek khas pantura tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman, Taram yang mendapat wasiat Ki Tayut, berbenah untuk menyiapkan generasi berikutnya dalam melestarikan golek cepak. Tarjaya, keponakannya dan Asmara, anaknya, "diprogram" untuk menjadi dalang. Beberapa anak dan keponakan lainnya dididik untuk menabuh gamelan atau menari topeng.
Saat ada panggungan, dua dalang muda itu seringkali menggantikannya pada waktu tampil siang hari. Program seperti itu sebagai sesuatu yang alamiah, seperti yang dulu juga ia lakoni saat dididik ayahnya, Tayut.
Tak terasa proses itu seakan menjadi isyarat ketika ia meninggal dunia dalam usia yang belum terlalu tua, belum 60 tahun. Sementara Tarjaya dan Asmara belum matang betul untuk mandiri menjadi dalang dan pemimpin di atas panggung. Mereka berdua harus lebih banyak lagi menuntut ilmu mendalang dan meraih pengalaman dalam kehidupan berkesenian melalui dalang segenerasi Taram, seperti Dalang Warsad (Gadingan Sliyeg Indramayu) ataupun adik angkatan Taram, yakni Ahmadi (Paoman Indramayu).
Era keemasan yang berlanjut dengan era keredupan seni wayang golek cepak/menak memang kini terasa nyata. Beruntunglah Ki Tayut, yang pernah merasakan dan menikmati era keemasan itu.
***
Biografi | Ki Tayut - Ketika Wayang Golek pada Era Keemasan
Ki Tayut & Lamsijan. Foto/Supali Kasim |
Era keemasan pernah dicapai kesenian bernama wayang golek menak --atau lebih populer dengan sebutan wayang golek cepak-- pada dasawarsa 1950-an hingga 1970-an di daerah pantai utara Jawa Barat hingga Jawa Tengah.
Era itulah yang benar-benar dirasakan dan dinikmati dalang populer pada saat itu, Ki Tayut. Pada masa itu dalang yang berdomisili di Desa Juntinyuat, Kec. Juntinyuat, Kab. Indramayu itu seperti kewalahan menerima order panggungan. Bukan hanya seputar Kab. Indramayu, akan tetapi juga melebar ke Cirebon, Majalengka, Brebes, dan Tegal.
Panggungannya juga tidak pada acara hajatan khitanan atau adat desa semacam ngunjung dan baritan, juga untuk acara Tahun Baru Imlek. Acara yang diadakan masyarakat keturunan Tionghoa itu seringkali mengundang Ki Tayut untuk mendalang golek. “Beberapa kali saya manggung di klenteng, di Cirebon dan Jatiwangi pada tahun baru Cina,” ungkapnya saat itu, seperti ditirukan para keturunannya.
Secara keseluruhan dalam sebulan, orderan bisa mencapai mencapai 20 kali. Suatu angka yang cukup tinggi dibandingkan masa kini yang seperti berada di titik nadir. Ki Tayut menyebut hal ini sebagai ridho Gusti Allah. Sebagai amanat yang harus dijalankan dalam memaparkan gambaran babad, legenda, atau sejarah desa dan daerah lokal melalui cerita golek. Ketika ia meninggal, sekitar seperempat abad yang lalu, amanat itu pula yang ia embankan kepada anak-cucunya.
Wayang golek menak atau cepak merupakan salah satu kesenian tradisional yang berkembang di Indramayu. Wayang tersebut berbeda dengan wayang kulit purwa atau wayang golek purwa (Sunda) yang mengambil cerita berdasar Mahabharata dan Ramayana. Wayang golek cepak atau menak merujuk sumber cerita pada “serat menak” dan babad atau legenda atau sejarah lokal.
Latar cerita “serat menak” itu adalah cerita kepahlawanan Islam, sehingga terdapat nama-nama seperti Umar Maya (Amar bin Amaya atau Abu Jahal), Umar Mahdi (sahabat Umar), Menak Kambyah (sahabat Hamzah), dll. Cerita tersebut merupakan transformasi dari sastra Melayu pada abad ke-17 yang dilakukan kalangan Keraton Surakarta. Hikayat tersebut berinduk dari sastra Parsi, “Qissa il Emir Hamza”, cerita kepahlawanan Parsi yang meriwayatkan Amir Hamzah yang gagah berani dalam menyebarkan agama kebenaran.
Menurut Sedyawati (2001, dalam Rochkyatmo, 2002 : x) kesenian tersebut berkorelasi dengan perkembangan sastra Jawa. Fase-fasenya adalah (a) berkembangnya sastra pesisiran tahun 1511-1625, (b) masa Mataram tahun 1587-1677, (c) Masa Kertasura tahun 1678-1755, dan (d) Masa Surakarta dan Yogyakarta tahun 1755-1920.
Perkembangan tersebut juga melebar hingga daerah pantai utara, termasuk di Keraton Cirebon. Agaknya itu pula yang diingat Ki Tayut. Berdasar tutur-tinular dari orangtuanya, ia memiliki silsilah sebagai penerus generasi ke-15 dalang wayang golek, yang berasal dari Keraton Cirebon. Orangtua Tayut adalah dalang wayang golek cepak bernama Ki Jana alias Ki Jali dan istrinya Dewi Ngabehi, yang berasal dari Kebagusan Palimanan Kabupaten Cirebon.
Tidak heran pula menurut para cucunya, Ki Tayut juga memberikan warisan kesenian wayang golek. Juga ilmu berkesenian. Bahkan juga termasuk seperangkat gamelan pelog lengkap dan wayang golek cepak. Itu diwariskan kepada masing-masing anaknya.
"Éh, Nang, kerna réang ngopéni sira-sira karo ridho Gusti Allah lan susah-senengé sing golék cepak, dadi terusaken!" Wasiat itu yang selalu diingat para cucunya hingga kini, yang maksudnya adalah, “Hai, Nak, karena saya membesarkan kalian dengan ridho Allah Swt dan suka-duka dari usaha wayang golek cepak, jadi teruskan!.
**
Ki Tayut memiliki nama asli sebagai Taya. Dari nama Taya, kemudian lebih terkenal dengan sebutan Tayut. Bagi masyarakat desa tempatnya tinggal, ia sudah menjadi legenda seniman. Tapak dan jejaknya sangat membekas sebagai dalang wayang golek, serta pengaruhnya dalam hal berkesenian. Tidak heran jika secara informal, orang mengenal sebuah nama blok di Desa Juntinyuat sebagai Blok Ki Tayut atau Jalan Ki Tayut.
Memang pada dekade kehidupan Ki Tayut dengan grup wayang golek menak/cepak "Sri Budi Karya" sangat populer. Tontonan bernama wayang itu menjadi seekan-akan menjadi hiburan utama dalam merefleksikan kehidupan secara historis maupun filosofis.
Kini, sudah sekitar seperempat abad ia meninggal, tetapi jejak itu tetap membekas. Hingga akhir hayatnya sekitar tahun 1980-an, kesenimanan Ki Tayut menurun pada anak-anaknya, seperti Tarkam (dalang wayang kulit), Taram (dalang wayang golek cepak), Ratinah (tari topeng), Durja (dalang wayang kulit). Anak ketiga, yakni Taswiyem, darah seninya mengalir ke anaknya.
Selain anak, cucu-cucu Tayut juga meneruskan profesi senimannya, yaitu Warcita (dalang wayang kulit), Asmara (pengendang, dalang wayang golek cepak), Asniti (tari topeng), Tarjaya (dalang wayang golek cepak), dan Sujaya yang berupaya menghidupkan kembali wayang golek cepak/menak. Juga beberapa cucu lain sebagai nayaga. Adik Tayut, yakni Raminten, juga seorang seniwati, yaki penari topeng. Selain itu Warsad, dalang wayang golek cepak asal Gadingan Sliyeg Indramayu, dianggap sebagai anak angkat, karena kedekatannya.
Ketokohan Tayut di bidang seni-budaya mendapatkan tempat di hati Kuwu Desa Juntinyuat saat itu, Ki Arsitem. Penghargaan diberikan berupa gelar kepada Tayut yakni Ki Nataperdika.
**
Beruntunglah Ki Tayut, karena regenerasi tak putus. Taram, putranya, meneruskan karier mendalang. Namun ternyata, dekade Taram ternyata berbeda. Saat-saat era keredupan wayang golek cepak/menak mulai nyata. Pada dasawarsa 1980-an hingga 1990-an itu order panggungan menurun drastis. Sebulan pernah mencapai 5 sampai 10 kali panggungan, tetapi tahun-tahun berikutnya terus merosot.
Taram memang pernah berjaya juga untuk meneruskan ayahnya. Dia beberapa kali manggung bukan hanya di Indramayu dan Cirebon. Juga beberapa kali diundang di Jatiwangi Majalengka, Songgom, Pekalongan (Jateng). Bahkan juga beberapa kali pula ia tampil secara ‘live’ di RRI Cirebon.
Penurunan panggungan mulai terasa seiring masuknya kesenian yang lebih nge-pop. Ia merasakan betul kepahitan itu sejak dekade 1990-an. Namun di tengah penurunan itu, ada geregap tersendiri ketika Dosen STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia, kini ISBI) Bandung yang juga peneliti kesenian tradisional, Endo Suanda, meminta kesediaan Taram untuk tampil di Jepang. Semangat baru tampak muncul. Ada wajah sumringah dan hati yang berbunga-bunga.
Taram, yang biasa tampil di lingkungan orang hajatan atau lingkungan kuburan (Ngunjung) harus tampil di gedung kesenian di luar negeri. Taram, yang jika tak ada panggungan, biasa macul di sawah atau nyuduh mencari ikan di laut, harus bersiap dengan dunai baru, yang terasa asing. Ada debar sendiri, antara percaya dan tak percaya.
Di balik itu juga muncul sebuah pertanyaan, kenapa orang asing kok suka wayang golek cepak. Sampai-sampai dari Indramayu diundang pentas ke Jepang. Pertanyaan yang tak terjawab dalam pikiran sederhana dia.
Wayang-wayangnya pada dekade 1990-an pernah didokumentasikan Yayasan Budaya Indonesia (YBI). Penggiatnya, yakni Arif Yudi dan Dedi ‘Kijoen’ Junaedi dengan telaten memotret setiap sosok wayang golek khas pantura tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman, Taram yang mendapat wasiat Ki Tayut, berbenah untuk menyiapkan generasi berikutnya dalam melestarikan golek cepak. Tarjaya, keponakannya dan Asmara, anaknya, "diprogram" untuk menjadi dalang. Beberapa anak dan keponakan lainnya dididik untuk menabuh gamelan atau menari topeng.
Saat ada panggungan, dua dalang muda itu seringkali menggantikannya pada waktu tampil siang hari. Program seperti itu sebagai sesuatu yang alamiah, seperti yang dulu juga ia lakoni saat dididik ayahnya, Tayut.
Tak terasa proses itu seakan menjadi isyarat ketika ia meninggal dunia dalam usia yang belum terlalu tua, belum 60 tahun. Sementara Tarjaya dan Asmara belum matang betul untuk mandiri menjadi dalang dan pemimpin di atas panggung. Mereka berdua harus lebih banyak lagi menuntut ilmu mendalang dan meraih pengalaman dalam kehidupan berkesenian melalui dalang segenerasi Taram, seperti Dalang Warsad (Gadingan Sliyeg Indramayu) ataupun adik angkatan Taram, yakni Ahmadi (Paoman Indramayu).
Era keemasan yang berlanjut dengan era keredupan seni wayang golek cepak/menak memang kini terasa nyata. Beruntunglah Ki Tayut, yang pernah merasakan dan menikmati era keemasan itu.
***
Via
Tokoh
Posting Komentar