Opini
Bulan puasa di desa saya, selalu diramaikan
dengan obrog. Aku punya kerinduan yang sangat dengan obrog, yang tak kurasakan
saat tinggal dengan mertuaku. Kerinduan itu akhirnya terobati ketika bulan
puasa tahun berikutnya saya dan istri pindah ke rumah orangtua.
Perbedaan Pendapat
Berdebat. Foto/Marianne |
Perasaan seperti itu juga pernah saya alami
sewaktu merantau di Jakarta. Selama lima tahun bulan puasa, sepi. Saya mewajari
itu, tinggal di Jakarta memang beda budaya dengan di kampung. Lain lubuk lain
ilalang.
Bulan puasa kemaren lusa, saya dapati juga
ramadhan tanpa obrog. Awalnya mengira pasti sama, ramadhan identik dengan
obrog. Wong, saya dan mertua cuma beda kecamatan. Masih di Indramayu. Faktanya,
hmmmpt tak ada obrog yang lewat satu kali pun selama sebulan penuh.
Karena penasaran, selepas mengimami shalat
taraweh. Waktu itu sebagai mantu baru, saya diberi mandat menjadi imam. Ketika
santri mertua sedang tadarus di mushalla. Saya mencoba mendekat dan mengajak
diskusi.
“Kang,
kenapa di sini nggak ada obrog?"
"Memang,
kami MUI bersama pamanmu juga melakukan pendekatan kepada Kuwu untuk melarang
obrog masuk ke desa ini."
"Kalo
boleh tahu apa alasannya?"
"Bulan
puasa untuk ibadah, bukan untuk ramai-ramai dan nyanyi-nyanyi."
"Hmmmpt,
begitu ya."
Saya tak melanjutkan dan mendebat mertua.
Saya mengalah, utamanya menghormati sebagai mertua. Saya nggak mau di-cap mantu
yang suka complain dan protes.
Tak terasa, kemudian selesailah bulan puasa.
Kini tibalah hari raya yang ditunggu-tunggu semua orang itu. Termasuk saya dan
istri. Pada suatu siang, kami sedang duduk-duduk sambil menyantap hidangan
lebaran.
“Kuwu ini
kurang tegas. Mengijinkan panggung organ di tengah jalan. Mengganggu orang yang
sedang lebaran, silaturahmi."
“Oh begitu,
terus".
"Ya,
kakang sudah SMS Kuwu. Coba Kuwu bisa menyelesaikan masalah ini".
Saya pun tak menanggapi keluhan mertua soal
masalah metode meramaikan hari raya dengan nyanyian dan musik. Apalagi soal
memindahkan kesalahan tersebut kepada Kuwu.
Tak lama, saya pun anjangsana ke rumah
orangtua. Selesai sungkem, saya dan istri makan ketupat bareng.
“Betul kah
itu? Sah kah cara meramaikan bulan puasa dan lebaran dengan nyanyian dan main
musik?”
tanya istri.
"Kalo
betul atau sah, ya balik lagi ke kaidah hukum. Cara orang mewujudkan rasa
senang datangnya bulan puasa dan hari kemenangan itu bermacam-macam. Nah,
tinggal cenderung pada kaidah mana".
"Kaidah
hukum agama atau metodenya?".
"Kan
kamu paham sendiri soal hukum nyanyian dan musik. Kalo soal cara mewujudkan
rasa senang kehadiran puasa dan lebaran, ekspresifnya tiap orang ya
beda-beda."
“Itulah.
Macam-macam saja mereka ini. Problem solving kadang malah membuat onar. Bukan
konstruktif. Bahkan, ada seniman dan pecinta musik sampe perang urat syaraf.
Malah ada yang sampai malas berjamaah lagi di mushalla dan menjauh dari masjid.
Karena olok-olok pendakwah yang menyatakan perbuatan mereka salah dan haram.”
Kadang saya terkejut, melihat rusaknya nilai
silaturahim hanya karena klaim kebenaran pada kaidah hukum. Dulunya akur,
sekarang bak minyak dan air. Pada satu sisi justru tujuan dakwah untuk
merangkul orang takwa beragama, malah menjauhkannya dari centrum ritual agama
seperti mushalla dan masjid.
“Maka,
sebagai orang yang berilmu, kita seringlah jadi pendengar. Kita dikirim ke
sekolah untuk berilmu. Nah, saat sudah punya ilmu, gunakan daya nalar pikirmu.
Bagaimana solusi terhadap fenomena-fenomena sosial dan permasalahan umat."
Suatu waktu, saat sehabis makan siang. Ada
mertua. Saya ditanya, katanya semalam habis ngisi acara di kebuyutan. Saya
katakan iya benar. Lanjut saya. Lahan dakwah itu luas. Nggak melulu di mimbar,
panggung, pengajian, pesantren, sekolah agama.
Seniman yang agamis, pedagang yang jujur,
dokter yang menolong. Dan bahkan perilaku islami yang kita teladankan itu juga
adalah dakwah kita. Dewan wali saja mengislamkan tanah Jawa dengan tiga metode.
Metode politik, budaya dan pendidikan.
Begitupun dulu Nabi di Arab, mengajak
suku-suku untuk memeluk Islam melalui perilaku keteladanan. Orang-orang mabuk didekati,
orang-orang zina didekati. Diajak, bahwa dosanya akan diampuni. Kecuali syirik.
Orang-orang berilmu biasanya beradu
argumentasi, bukan beradu celaan dan makian. Bahkan kontak fisik dalam Islam
sangat dihindari. Kecuali untuk membela diri.
Di masa berikutnya mertua tak pernah lagi
keberatan dengan perbedaan pendapat. Dan tidak pernah memaksakan pandanganya.
Hanya saja kalau soal ekspresi rasa senang bulan puasa dan lebaran dengan organ
tunggal, yakni nyanyi-nyanyi dan musik ia tetap kukuh dengan pendapat lamanya.
Lalu pada suatu hari, ketika mertua sedang
agak letih dan tak jamaah di mushalla. Kami ngobrol bertiga.
"Pi,
mengko yen sira hajatan nanggap apa?
Istriku menjawab, “Nanggap sandiwara lan organ”.
Mertua dan saya pun, ketawa cekikikan.
***
Via
Opini
Posting Komentar