Opini
Membangun Peradaban Via Habitus
Habitus. Foto/Steam |
"Pekara kuh tahunan ning Korea, apamaning yen kanda majue
wong kana. Sing laka sampah, dalane bagus, wong disiplin. Tapi, balik ning desa
ya kegawa arus budaya wong kene maning. Kuh, masih sering kari tekane.
Hhhe."
Padahal,
saya pribadi terinspirasi cerita teman-teman buruh migran tentang karakter
orang Korea dalam bekerja. Hayugah sing bagus-bagus ditiru.
Meskipun
jujur, mengubah habitus itu susahnya minta ampun. Saya pernah tinggal di
Jakarta. Saya lima tahun belum bisa mengubah karakter diri. Misalnya, kalo jalan
saya masih pelan. Orang Jakarta itu kalo jalan cepet banget.
Beberapa
saya ubah, misalnya saat lampu merah saya pasti stop. Sebab saya pernah diomong
oleh teman saat melabrak lampu merah. Teman kuliah menyindir.
"Kalo lu jalan pas lampu merah, lu udah nunjukin kalo kelas
lu anak kampung dan bukan orang berpendidikan."
Jujur saya
malu sekali. Begitu juga saat antre dan naik busway. Saya malu diplototin orang
karena menyerobot. Apalagi kernet busway
bilang.
"Bang, tolong ke belakang ya. Penuhin dulu. Biar yang naik
belakangan mudah."
Kawan saya,
bisikin. Sambil ngecengin.
"Ah lu mah biasa. Malu-maluin gue sebagai temen lu. Gaya
kampung lu Indramayu jangan bawa-bawa dimari."
Selepas
peristiwa itu saya langsung mengubah habitus. Dan menaikkan kelas saya sebagai
anak Jakarte dan berpendidikan. Jujur, saya bahagia punya gang dan diterima
sebagai temannya di kota metropolitan. Saya nggak mau kehilangan gang saya.
Lebih-lebih argumentasinya masuk akal.
***
Via
Opini
Posting Komentar