Opini
Saya itu
tidak pernah menulis atau mengatakan bahwa memakai jilbab itu tidak wajib.
Selalu saya tulis bahwa memakai jilbab itu wajib bagi yang beriman. Beriman
artinya percaya bahwa itu perintah Allah.
Tafsiran Jilbab Menyesuaikan Jaman
Pengurus Asiyah Ormas Muhammadiyah. Foto/Istimewa |
Namun, saya
juga masih membuka ruang perbedaan pandangan terkait hal ini. Jilbab sebagai
rebelling yakni cara berpakaian tidak seragam. Persis, seperti seragam sekolah.
Misalnya, seragam SMA substansinya adalah putih abu-abu.
Prakteknya
sesuai tafsir sekolahnya. Bentuknya beragam. Ada yang dilengkapi rompi/jas.
Panjang atau pendek. Dasi atau nggak. Demikian juga tataran tafsiran jilbab
dalam pandangan ulama fikih. Ada yang landung, cadar, maupun hanya sebatas
kudung.
Islam
beserta pernak-perniknya termasuk jilbab adalah kebaikan. Di luar itu tidak
baik. Maka manusia yang baik harus pakai jilbab. Duh aduh aduduh. Saya nggak
sependapat soal kebenaran tunggal begini. Lalu, yang tak berjilbab dinilai tak
baik.
Jika ada
yang menganggap wajib hukumnya berjilbab. Tidak ada yang salah dengan pandangan
itu. Banyak pendapat ulama yang mendukungnya, disertai sejumlah dalil. Maka,
pakailah jilbab, sesuai dengan yang dituntunkan oleh para ulama. Ajaran itu
saya ajarkan pada istri.
Tapi saya
perlu memberi catatan. Ada klaim bahwa kewajiban berjilbab itu adalah pendapat
jumhur atau sebagian besar ulama. Benarkah demikian? Coba kita ingat, kapan
Islam masuk ke Indonesia? Berdasarkan berbagai referensi, diperkirakan Islam
masuk ke Indonesia antara abad VIII - XIII. Artinya, orang Indonesia sudah
berislam setidaknya 13 abad yang lalu.
Nah, coba
perhatikan, bagaimana muslimah Indonesia berpakaian sejak dulu? Adakah yang
memakai jilbab? Tidak. Bahkan di daerah-daerah yang dikenal ketat berpegang
pada ajaran Islam seperti Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan, kita
tidak temukan jilbab sebagai pakaian adat. Yang ada hanyalah pakaian yang
menutup hampir seluruh tubuh, berupa sarung ditambah baju (kebaya atau baju
kurung) lengan panjang, dan penutup kepala.
Kenapa tidak
berjilbab? Ada yang bilang, para penyebar Islam dulu tidak tuntas mengajarkan
syariat. Ini sebenarnya pendapat konyol. Sudah seribu tahun, kok dianggap tidak
tuntas. Ada entah berapa puluh ribu ulama yang hidup selama seribu tahun itu,
kenapa mereka tak kunjung membuat seluruh muslimah berjilbab?
Coba
perhatikan ulama-ulama kita, yang menjadi tokoh nasional. Sebut saja Buya
Hamka. Siapa yang meragukan kefakihan beliau? Dari kalangan NU, ada Wahid
Hasjim. Berjilbabkah istri dan anak-anak mereka? Tidak. Mereka ini ulama, bukan
orang biasa. Tidak mungkin mereka berpandangan A, sementara anak istrinya
mengamalkan B.
Tidak hanya
mereka berdua. Saat saya belajar mengaji, nyai atau istri kyai saya juga tidak
berjilbab. Termasuk istri Gus Dur, yang sampai sekarang tidak berjilbab. Ah,
Gus Dur itu kan sekuler liberal. Ya. Tapi apakah Anda mau bilang Buya Hamka
juga sekuler?
Saya tak
hendak mementahkan pandangan bahwa berjilbab itu wajib. Saya hanya menunjukkan
bahwa pandangan soal jilbab itu tidak tunggal. Bahkan mungkin bukan pula
jumhur, seperti klaim yang ada. Perbedaan pandangan fiqh itu biasa. Yang pernah
belajar ushul fiqh akan tahu bahwa suatu pendapat fiqh tidak boleh menyalahkan
pendapat lain. Pendapat-pendapat itu hadir bersama, tanpa perlu saling
mengeliminasi.
Sikap itulah
yang patut untuk dijalankan dalam soal jilbab. Biarkan setiap muslimah memilih
busana mereka, sesuai pandangan fiqh ulama yang mereka pilih. Karena mereka
paham tidak ada kebenaran tunggal.
Masalahnya,
sekarang banyak orang yang tidak sanggup menerima perbedaan. Mereka menganggap
hanya ada satu hukum, wajib. Saya tidak heran. Kebanyakan dari mereka ini
bahkan tidak kenal, apa itu ushul fiqh. Jadi mereka hanya merekam satu sumber,
dan menjadikan yang mereka rekam itu sebagai suara Tuhan.
Ada pula
yang mengerti dan paham soal ushul fiqh. Tapi pengetahuan mereka itu tidak
dipraktekkan menjadi sikap harian. Maka, jalankan sesuai pilihan masing-masing.
Toh setiap orang akan bertanggung jawab sendiri atas amal yang mereka lakukan.
Kenapa repot mengurusi orang lain?
Tapi kami
wajib melakukan amar ma’ruf, dalih mereka. Amar ma’ruf itu mengajak kepada
kebaikan. Amar ma’ruf harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf juga. Ma’ruf
bagaimana? Dengan akhlak yang benar.
Kakek dan Nenek Buyut Meneer Panqi, Ki Durma & Ni Darsinih. |
Yang sering
terjadi, orang-orang berjilbab, dan para penganjur jilbab, menganggap pendapat
yang mereka anut sebagai kebenaran tunggal. Pendapat lain salah. Ulama yang
berpendapat berbeda, adalah ulama sesat. Contoh nyatanya adalah bagaimana orang
memperlakukan Quraish Shihab. Mulai dari celaan sampai fitnah, ditimpakan pada
beliau. Lucunya, itu dilakukan pula oleh orang yang mengajinya saja masih
gagap.
Itu yang
dinamakan tidak berakhlak. Ushul fiqh tidak paham, atau kaidahnya diabaikan,
sehingga akhlak terkait perbedaan pendapat ditinggalkan.
Orang yang
tidak berjilbab otomatis dianggap melanggar perintah Allah. Pelanggar perintah
Allah adalah orang yang sombong, kata mereka. Orang sombong layak diperlakukan
secara sombong, dalih mereka. Maka mereka merasa berhak menghina dan melecehkan
orang yang tidak berjilbab.
Itulah
dakwah yang tidak ma'ruf. Mereka tidak tahu, atau tidak peduli bahwa orang
punya dasar berpikir yang berbeda. Di mata mereka, orang tidak berjilbab itu
adalah orang yang ingkar terhadap perintah Allah. Padahal, dalam sudut pandang
lain, orang itu hanya memilih pandangan fiqh yang berbeda. Penganut pandangan
fiqh berbeda tidak boleh dihina dan dilecehkan. Itulah akhlak Islam.
Alangkah
sayangnya, bila niat untuk mendakwahkan Islam justru berubah jadi tindakan yang
justru melanggar nilai-nilai Islam. Amal baik memakai jilbab, jadi tertutupi
oleh amal buruk, yaitu menghina dan melecehkan orang lain.
Di atas ada foto pengurus Muhammadiyah dan buyut saya. Pada tahun sebelum 1990 tafsiran
soal jilbab, cukup memakai kudung. Bahkan, orang-orang yang sudah berhaji
khususnya wanita. Di desa saya cukup memakai contong kaji tanpa jilbab rapat.
So, nggak
usah klaim kebenaran tunggal, berjilbab harus macam begini. Tafsiran berjilbab
juga menyesuaikan jaman. Wallahualam
***
Via
Opini
Posting Komentar