Opini
Terhina
Foto/Anakabah.com |
Waktu saya
baru menikah, saya sedang mengkoordinasi penyantunan anak yatim sekitar 200
anak dengan nilai penggalangan dana sekitar 50 jutaan. Istri saya komentarnya
cuma satu.
"Mas tuh korupsi ya!"
"Maksud kamu apa, sayang?"
"Mas bilang sedang bokek, tapi duitnya ada terus. Mas pasti
korupsi dari dana panitia yatim".
Saya sempat
tersinggung, dan ingin menjawab, membantah bahwa pernyataan itu salah. Tapi
sejenak kemudian saya sadar bahwa hal itu tidak perlu. Sejuta kata mungkin tak
akan bisa membuat orang yakin. Tapi satu tindakan mungkin akan lebih kuat
efeknya.
Tanpa
berargumen lebih lanjut, saya mulai bekerja menyelesaikan program tersebut.
Perlahan sikap istri saya berubah.
Situasinya
mirip dengan tuduhan terhadap Islam. Ada pihak yang mengatai Islam sebagai
agama kekerasan atau bahkan agama teror. Kita mungkin akan jengkel dengan
pernyataan itu. Lantas, tindakan apa yang akan kita ambil?
Kita bisa
saja merasa terluka, mengeluh, merintih, dan marah, lalu membenci orang-orang
itu. Kita perlakukan mereka sebagai musuh. Kita waspadai mereka.
Lalu, apa
akibatnya? Tanpa sadar kita justru makin menguatkan stigma yang mereka
ungkapkan tadi. Kita mendemonstrasikan bahwa umat Islam memang suka marah dan
memusuhi.
Kita bisa
memilih tindakan sebaliknya. Kita tunjukkan bahwa kita ramah, suka membantu,
bisa bergaul akrab dengan umat lain atau tidak korupsi. Maka mereka akan
melihat keindahan Islam. Stigma tadi mungkin akan terhapus dengan sendirinya.
Tapi
bukankah kata-kata mereka itu menyakitkan? Tidak. Kitalah yang memilih untuk
merasa disakiti. Apapun yang terjadi di sekitar kita, terhadap kita, adalah
hal-hal yang netral saja. Kitalah yang memberinya makna.
Tuduhan,
hinaan, fitnahan, dan apapun bentuk lainnya. Saat stigmanya tidak seperti yang
kita yakini. Nggak usah digubris. Yang menuduh maling, ia tahu ilmu maling.
Yang memfitnah korupsi, ia tahu ilmu korupsi. Iya sedang mempertontonkan tabiat
aslinya ke kita.
Setelah
acara selesai, saya sengaja menggoda istri dengan pertanyaan.
"Kok kesimpulanmu tempo hari suamimu korupsi, kamu tahu ilmu
korupsi? Metode korupsinya seperti apa".
"Hehehehe, iya mas. Dulu saya sering korupsi duit spp
pesantren."
"Oh pantes nuduh mas korupsi. Kamu jago nilep duit mertua.
Dikira suami kamu juga suka nilep seperti dirimu. Kamu sungguh dholim sama
suami, menilai sesuatu sama dengan tabiat diri."
"Aku salah menilaimu mas. Ampuni dosa istrimu."
***
Via
Opini
Posting Komentar