guyon
Menjelang pemilihan anggota DPRD, Talkiban
datang ke sebuah masjid di desa Tegal Grubug. Dia sengaja tidak membawa tim
kampanye karena ada misi yang ia anggap rahasia. Desa itu merupakan basis lawan
politiknya. Dalam hitung-hitungan Talkiban, jika bisa mendapat 20 persen suara
di desa tersebut maka dia akan terpilih menjadi anggota DPRD.
Wejangan Kemit Masjid - The Series of Talkiban [43]
Foto/Istimewa |
“Saya mau
minta tolong bagikan korma dengan gambar saya ini kepada jamaah taraweh,” ujar
Talkiban kepada kemit masjid.
“Mengapa
Bapak menyuruh saya?” tanya kemit masjid.
“Saya tidak
menyuruh, Sampeyan,” ujarnya dengan nada dipaksa agar terdengar berwibawa.
“Saya hanya minta tolong. Saya yakin, Bapak akan amanah.”
“Oh,” sahut
kemit masjid sambil senyum. “Maafkan ketidaktahuan saya.”
“Tidak
apa-apa,” jawab Talkiban.
“Bagaimana?
Apakah Bapak mau membantu saya? Sebelum ini saya sudah menyuruh beberapa orang
tetapi saya belum melihat hasil kerja mereka. Jika sampeyan bisa melaksanakan
amanah ini, dan saya terpilih menjadi anggota DPRD maka seluruh karpet masjid
akan saya ganti dengan yang baru.”
Kemit masjid itu mengangguk.
Beberapa bulan kemudian Talkiban terpilih
menjadi anggota DPRD. Salah satu desa penyumbang suara terbesar adalah desa
tersebut. Perolehan suara untuknya lebih dari 30 persen dari total suara
pemilih.
Setelah dilantik, awalnya dia masih
mengunjungi beberapa orang yang dulu membantu mengkampanyekan dirinya. Namun
seiring waktu, Talkiban mulai menghindar. Sebab dalam hitungannya orang-orang
itu sudah mendapat bayaran sesuai kerjanya. Ia pun mengganti nomor HP dan
kepada sekretarisnya berpesan untuk menolak telepon atau tamu yang datang dari
daerah pemilihannya.
“Saban
datang minta sumbangan terus. Lama-lama mereka malas kerja karena sudah nikmat
menadahkan tangan,” ujar Talkiban memberi alasan.
Waktu berganti. Kura-kura tetap diam, angin
pun pergi tanpa pamit. Hingga suatu waktu tiba lagi masa pemilihan. Talkiban
pun mencalonkan diri lagi. Ia yakin akan menang. Apalagi saat ini ia punya
segalanya. Logistik, amunisi, dan jaringan yang lebih luas.
Lalu, tibalah masa pencoblosan. Malam hari
sebelum pencoblosan, ia begitu gembira. Ia pasti akan menang lagi. Itu terlihat
dari matanya yang berbinar.
Sore hari, tim suksesnya melaporkan bahwa
suara yang ia dapat cukup memuaskan. Hampir menguasai 15% suara pada embung
basis konstituennya. Ia pun tersenyum bangga kepada ketua Tim pemenangan, dan
seketika memerintahkan untuk membeli kambing sebagai bentuk syukurannya.
Saat mereka asyik sedang berpesta dengan
kambing guling. Talkiban mendapatkan SMS dari ketua pemenangan partainya. SMS
tersebut menginformasikan bahwa Talkiban gagal menjadi anggota DPRD selisih
suaranya dikalahkan partai sebelah. Sebagai pemenang ke-3 di dapilnya,
kesempatannya kecil.
Talkiban diam lama, hancur mentalnya. Bagai
disambar petir. Ia tertunduk lesu. Tim suksesnya kaget. Mereka pun desas-desus
penuh tanya. Ketua tim mencoba mendekat. Lalu bertanya.
"Ada
apa bos?"
"Bubaaaaar,
bubaaaaar"
Mereka pun satu persatu beranjak
meninggalkan. Dalam kesendiriannya ia tersadar akan dosa-dosanya. Ada satu hal
yang sangat mengganggu. Ia teringat pada kemit masjid di desa itu. Ia belum
pernah menemuinya, apalagi mengganti karpet masjid seperti yang dijanjikan.
Anehnya dulu si kemit masjid itu juga tidak
mau menghubunginya. Saat itu Talkiban senang karena si kemit tidak menagih
janji. Namun kini menjadi beban yang maha berat setelah 5 tahun berlalu.
Seminggu kemudian, setelah kabar kegagalannya
menjadi anggota DPRD fix. Ia pun berkunjung ke si kemit masjid. Sambil berurai
air mata, ia meminta maaf.
“Saya merasa
sangat berdosa. Apa yang saya alami pasti berkat doa bapak-bapak dan ibu-ibu
yang kecewa karena saya tidak menepati janji.” ujar
Talkiban sambil sesegukan.
Kemit masjid itu hanya tersenyum.
“Tentu tidak
begitu, Pak. Masjid ini dan isinya tidak pernah mengajarkan untuk mendoakan hal
yang buruk kepada siapa pun. Apalagi sampai mendendam begitu,” ujarnya
lembut.
“Tetapi saya
merasa begitu…”
“Saya tidak
menyalahkan perasaan Bapak,” potong si kemit masjid. “Setiap orang punya penilaian dan cara pandang masing-masing. Saya pun
tidak memaksa Bapak untuk percaya dengan apa yang saya katakan. Tetapi saya
merasa harus menyampaikan apa yang saya ketahui.”
“Apakah
Bapak mau memaafkan saya?”
“Sebentar,” ujar kemit
masjid. “Apa kesalahan Bapak pada saya
sehingga saya harus memaafkan?”
“Dulu saya
minta tolong kepada Bapak untuk memenangkan saya di desa ini dan berjanji akan
mengganti karpet masjid. Namun setelah menang, saya malah melupakannya, padahal
saya tahu Bapak sudah melakukan sosialisasi, membagikan korma dan gambar saya”
Tiba-tiba kemit masjid itu tertawa. “Maaf,” ujarnya di sela-sela tawanya. “Bapak percaya Tuhan? Gusti Allah?”
Talkiban mengangguk.
“Bapak
menang dan kemudian menjadi anggota DPRD itu karena Allah subhanahu wa ta'ala.
Bukan karena saya atau jamaah di sini. Tidak ada itu.”
“Tetapi
lantarannya melalui Bapak yang membagikan korma…”
“Apa yang
saya lakukan hanya menjalankan amanat,” potong kemit masjid. Kali ini suaranya
terdengar tegas. “Bapak memberi sekarung
korma dan gambar. Karena saya menyanggupi, saya laksanakan sesuai permintaan
Bapak. Saya malah merasa terbebani karena masih ada sisa gambar yang belum
sempat saya kembalikan ke Bapak. Sampai sekarang gambar masih ada di rumah,
tetapi mungkin sudah rusak.”
Talkiban melongo. “Jadi…jadi Bapak tidak marah, tidak mengharap saya mengganti karpet
masjid?”
Kemit masjid menggeleng. “Yang punya niat untuk ibadah itu Bapak, bukan saya. Jika Bapak tepati
janji, Bapak beli karpet baru dan digunakan untuk ibadah, Bapak yang mendapat
pahala, bukan saya.”
Tubuh Talkiban terguncang. Tatapannya kian
nanar.
***
Via
guyon
Posting Komentar