esai
Perkudung, Ganti Rugi Gagal Nikah di Indramayu
Baru-baru ini
ada topik rembugan di grup RRD –Rembug Rakyat Dermayu-- yaitu soal tidak ditepatinya
janji kawin. Tidak menepati janji kawin bagi sebagian orang mungkin hal yang
biasa, tapi bukan berarti bisa disepelekan. Bahkan bagi sebagian rembuger agak kaget
ada hukum adat yang mengharuskan calon mempelai mengembalikan sebesar 21 kali lipat
dari nilai maskawin yang diterima.
Maksud saya ikutan
berembug bukan ingin mencampuri urusan orang, melainkan saya ingin mengungkapkan
persaksian saya bahwasanya peristiwa adat ini ada di Indramayu. Hukuman ini disebut
“perkudung”. Hal ini saya dapatkan dari beberapa informan dan pelaku. Salah satunya
adalah orangtua dan bibi saya sendiri. Dan menurut mereka, “perkudung” sudah ada
sebelum mereka lahir. Besaran nilai dihitung berdasar kepatutan dan kewajaran.
Lembaga arbitrase
yang menanganinya adalah desa atau pihak ketiga yang dipercaya. Sebab, secara hukum
positif di Indonesia berdasar Pasal 58 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(“KUHPerdata”) sudah diatur :
“Janji kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka Hakim
berlangsungnya perkawinan, juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut
penggantian biaya, kerugian dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu,
semua persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal”.
Jadi, ini murni
adalah hukum adat. Bagi masyarakat yang kuat memegang adatnya. Tidak menepati janji
nikah akan berakibat fatal. Bukan hanya pasangan calon penganten, namun juga akan
merembet ke dalam hubungan dua keluarga besar. Intinya, kalo ada calon penganten
yang dianggap melanggar adat “perkudung” akan kena sanksi memberikan ganti rugi.
Adat seperti
ini saya kira adalah bentuk keadilan. Bagi pelanggar atau calon penganten yang maen-maen
perkara kawin dan nikah agar dihukum. Nilai sakral pernikahan dijungjung tinggi.
Ini adalah keadilan bagi calon penganten yang sudah dipermalukan di depan keluarga
dan umum. Wallahu a’lam.
***
Via
esai
Posting Komentar