esai
Pranata Perkawinan Indramayu [2]
Ini tulisan
jawaban untuk teman, bukan didasarkan atas riset. Jadi, validitasnya kurang.
Mohon jangan dijadikan acuan. Sebutlah ini sekedar catatan pribadi dengan
pendekatan budaya. Bukan iman.
Saya pernah
menulis di blog tentang pranata perkawinan di Indramayu. Mulai dari proses
"tetakon", "nari", "tetalen", dan kemudian akad
nikah.
Seusai resmi
memegang buku garuda, sepasang penganten di Indramayu akan dibombardir
pertanyaan "niburi mendi?". Nah, fokus tulisan ini mau
"ngoceki" soal tersebut.
Dibanding
adat atau budaya lainnya, menarik untuk dibincangkan perkara ini. Ada semacam
perbedaan kedudukan, kewajiban, keumuman yang berlaku di Indramayu.
Keluarga
yang baru menikah bagi orang Indramayu merupakan langkah sakral dan
kemandirian. Karenanya, perlu dipersiapkan segala tetek bengek untuk memulai
kehidupan baru.
Anggapan
sebagai peristiwa sakral, maka soal "niburi" bukan soal sepele.
Pertama, dihitunglah hari dan waktunya. Bagi yang percaya petungan, momentum
ini selain pas harus juga dihitung waktu baiknya.
Kedua, agar
kehidupan sepasang penganten ini mandiri dan tidak kesusahan. Maka dua keluarga
besar yang "warang/besanan" ikut membantu. Memberikan modal rumah
tangga. Implementasinya berupa "pasrahan" dan "banda
gawan".
Misalnya,
sepasang penganten baru diberikan hadiah seperangkat perabotan dapur,
seperangkat perabotan kamar tidur, dan perabotan ruang keluarga/tamu. Kemudian,
bagi keluarga mampu umumnya dikasih banda gawan semisal sepetak-dua petak sawah
untuk bekal hidupnya.
Tidak
mengherankan misalnya seorang istri yang ikut mertua, ia membawa pasrahan macam
perabotan dapur dan almari baju. Lantas, ada yang nanya wajibkah? Ya namanya
juga adat. Jika tidak dilaksanakan ya paling "ngadat". Dapat
gunjingan, cemooh dan "dirasani" tetangga.
Solusinya
bagaimana? Rembugan. Gimana baiknya? Jangan sampe usia rumah tangga baru seumur
jagung sudah menanam bibit konflik. Kan bisa berabe, hidup menahan beban
psikologis. Harmonis yang dituju, baru jadi menantu, dapat omelan melulu. Aduh,
kasihan hidupmu kok sendu!
***
Via
esai
Posting Komentar