Opini
Warisan Budaya Kuliner Indramayu
Saat saya
kecil, ketertarikan diajak berkeliling ke sanak saudara adalah sajian panganan yang disuguhkan di meja tamu. Lebih girang, saat pulang dijadikan hadiah oleh-oleh. Dari klepon, geblog, nagasari, koci, tape,
rengginang dan lainnya.
Menariknya, kuliner Indramayu itu tidak semua siap sedia. Ada momen-momennya. Tidak sembarang
waktu. Misalnya, kue “kembang pari” yang terbuat dari tepung ketan hanya ada
saat padi sedang bunting. Juga, “bubur sura” berbahan beras dan gula jawa hanya
ada di bulan Sura. Apalagi “cimplo”, ya hanya ditemukan di bulan Bala.
Makanya,
jika ingin merasakan kelezatan kue-kue itu lagi saya harus menahan hingga
berbulan-bulan. Itulah sebabnya kuliner Indramayu bagi saya terasa istimewa. Namun, keistimewaan tersebut hari ini mulai surut, tandanya saya
sedikit kesusahan melacak keberadaannya.
Dulu, pedagang
keliling jajanan kuliner mudah ditemukan. Mungkin pedagangnya sudah meninggal.
Mungkin juga karena tak laku dagangannya, mereka pun berhenti jualan. Entah
bisa juga karena kuliner lokal kalah bersaing dengan kuliner impor.
Tren itu
saya rasakan saat Bulan Bala, di mana kue cimplo berubah wujud. Sebagian masih
mempertahankan tradisi membuat kue cimplo, lainnya mulai diganti. Ada banyak
faktornya. Bisa dianggap makanan luar lebih tahan lama dan prestisius. Sedang,
kuliner lokal itu kampungan dan tidak modern.
Panganan lokal
yang disuguhkan sebenarnya masih lumayan banyak. Itu tersedia saat ada orang
hajatan, kawinan, atau hari raya. Panganan wajib antaranya rengginang, tape,
geblog, kacang gawil, kripik mlinjo, emping masih eksis. Ditambah turunan
kue-kuean dari tepung beras dan ketan. Betul-betul beragam.
Jaman lalu berubah kemudian menggeser selera dan citarasa lidah orang Indramayu. Pergeseran itu menguak karena berbagai
musabab. Mulai dari soal kepraktisan, kemudahan, hingga prestise atau sistem
pengetahuan yang mengikuti jamannya.
Menyuguhkan
kaleng biskuit khong guan selain kemudahan tinggal beli di toko namun juga
karena prestise agar dianggap "modernitas"-nya dengan tetangga atau
"orang kota", atau tamu yang datang.
Cara pandang
terakhir inilah penyumbang tergesernya kekayaan kuliner lokal. Padahal
telah berjaya berabad-abad lamanya. Sekilas Kitab Primbon Aboge karangan Ki Nata Suwarga yang dialih-basakan oleh Ki Tarka (2001) merekam soal
ragam kuliner yang dijadikan menu wajib “slametan”.
Singkatnya, ragam
menu kuliner yang dihidangkan tidak sedikit. Momentum syukuran itu adalah saat
di mana terjadi transfer pengetahuan. Tentang makanan apa saya yang harus
disiapkan, bahan bakunya, cara memasaknya dan untuk kepentingan apa
kuliner tersebut mesti disajikan. Bahkan, hingga filosofinya.
Dalam primbon
tersebut banyak kuliner yang sudah asing di telinga orang Indramayu masa kini.
Misalnya bubur kuning, sega pudar, cara abang, cara putih, kupat lepet tangtang
angin, wedang kawah, wajik kompyang, sega
langgi, bubur lolos dan lainnya.
Apalagi jika
mengeksplor lebih jauh soal bahan bakunya. Pasti lebih pusing. Mengingat hari
ini, di Indonesia didominasi oleh tepung terigu yang berasal dari gandum.
Akibatnya tepung beras cenderung jadi minoritas. Buntutnya varietas padi lokal
pun ikut lenyap. Sebab, tepung beras bukan kebutuhan pokok lagi.
Peristiwa
ritus keluarga seperti “nyunati” dan “ngawinaken” bisa dijadikan panggung
kultural menghimpun kembali kekayaan khasanah kuliner Indramayu dan bahan
pangan. Jika memang itu dianggap penting sebagai identitas kuliner Indramayu
yang sudah ada berabad-abad lalu?
***
Via
Opini
Posting Komentar