esai
Belajar dari Masa Lalu, Konflik di Desa [1]
Konflik Blok Bojong Desa Curug Kandanghaur Indramayu. Foto/Istimewa. 2017. |
Sebelumnya ijinkan saya membagi perspektif yang pernah saya alami. Melihat langsung peristiwa tersebut. Perspektif pada saat itu. Dan perspektif saya yang berubah di kemudian hari. Tentu ada yang keberatan, tidak setuju dengan perubahan pandangan tersebut. Hal wajar. Sungguh, saya berharap dijadikan bagian studi analisis wacana. Jadi, mohon diterima.
Saya tumbuh kembang di sebuah desa. Desa yang terkenal dengan tawuran. Ada beberapa peristiwa yang saya saksikan sendiri. Yakni, tahun 1993 konflik Tugu-Segeran, tahun 1997 Tugu-Sudimampir, tahun 1999 Tugu-Gadingan dan tahun 2000 Tugu-Tinumpuk. Peristiwa konflik tersebut terjadi berjilid-jilid. Hingga meredup pada akhir 2002.
Dulu, peristiwa konflik seperti ini saya anggap sebuah karma. Artinya tindakan menjarah, membakar dan membunuh adalah sebuah harga yang harus dibayar atas apa yang telah dilakukan oleh orang/klan lain terhadap pribadi/klan lainnya. Jadi, mirip hukum rimba. Sah-sah saja. Tampar pipi kiri balas tampar pipi kanan. Klan desa lain yang telah merugikan klan desa saya, sudah menjadi resikonya. Mereka harus membayar perbuatannya.
Penyelesaian yang dilakukan bukan melalui meja hukum. Tapi melalui ideologi solidaritas klan. Ikatan persaudaraan yang mengakar di desa menjadi norma bersama di antara warga kampung. Wujud dari norma tersebut bisa dilihat dalam sistem hajatan—duwe gawe. Nilai-nilai itu diperkuat dengan sistem buwuhan—tolong menolong baik dalam rangka hajatan atau musibah ; baik yang profit maupun nonprofit.
Akar budaya inilah yang menyuburkan praktek-praktek ideologi solidaritas klan. Secara kategori dibagi dua. Ada yang bersifat pribadi dan komunal. Pribadi diwujudkan dalam syukuran sunatan dan kawinan. Komunal diwujudkan dalam acara hajat desa, sedekah bumi, nadran, mapag sri dan mapag tamba atau unjungan.
Pesta tersebut bisa dianggap seperti ritual adat. Bahkan, posisinya bisa disetarakan dengan ritual agama. Masyarakat desa rela mengeluarkan biaya ratusan juta hanya untuk menyelenggarakannya. Mereka berpikir bahwa apa yang diperoleh secara ekonomi tunduk pada kepentingan ritual (nilai) sosial budaya baik yang sifatnya acara hiburan maupun upacara adat.
Akibatnya nilai ekonomi mereka tidak berorientasi pada kepentingan peningkatan produktivitas masa depan. Kegiatan ekonomi seperti usaha tani atau menjadi tenaga kerja di luar negeri lebih termotivasi oleh budaya buwuhan. Harapan agar dapat melangsungkan hajatan atau melunasi utang buwuhan.
Hal demikian dapat pula dianggap sebagai bentuk apresiasi prestise. Secara adat, mereka yang tidak melaksanakan ritual akan mendapat sanksi, berupa cemooh maupun cibiran dari masyarakat desa. Disebabkan ketidak-umuman.
Benih-benih nilai solidaritas di atas diperkuat juga dengan norma yang "longgar" seperti menganggap minuman keras sebagai menu pelengkap dari suatu hajatan. Nilai-nilai ini sudah mengakar sejak jaman kolonial. Pesta tayuban dilengkapi dengan acara minum-minuman. Misalnya genever. (wawancara dengan Sapin, 2009).
Tawuran antar desa pada umumnya terkait dengan dua unsur penting di atas. Nilai solidaritas tinggi dan gampang emosi pengaruh dari alkohol. Memudahkan antar pihak terpancing konflik.
*
Via
esai
Posting Komentar