Cermis
Ini kisah pengakuan bapaknya teman. Namanya Wa Kamid. Awal 2011 ia pernah mengantar seorang teman ke pantura Indramayu, satu jam perjalanan yang ditempuh dari Jalan Nasional. Beginilah kisahnya:
Saya tidak begitu akrab dengannya tapi ia memang mengenal saya sejak lama. Dia hidupnya sangat melarat, makan pun cuma sekali dalam sehari, istrinya meninggal karena sakit parah.
Sekarang ia hidup dengan seorang anak satu-satunya, badannya kurus, kurang gizi. Di lingkungan sekitar, ia sering dihina, dicaci-maki dan diejek. Hanya kata-kata menyakitkan yang didengar tiap hari.
Kami satu desa, tapi kampungnya berjauhan. Suatu waktu ia jauh-jauh datang sengaja mau menemui saya. Menurutnya, saya-lah yang paling berani ke tempat tersebut. Profesi saya memang tukang ngobor kepiting.
Saya memang sering ke tempat yang ia mau tuju. Jarang yang berani, tukang ngobor datang ke situ. Saya malah senang, sering dapat banyak kepiting. Di tempat lain satu kembu, di situ saya bisa dapat sekarung karung. Sampai-sampai saya bisa beli tanah, dari jual kepiting yang saya peroleh dari tempat angker itu.
Saking melaratnya, saking terlalu banyaknya sakit hati sampai hilang iman sama akal sehatnya, sehingga ia mencari kekayaan dengan cara pintas yaitu pesugihan. Sore hari, ia datang ke rumah, setelah basa-basi ia langsung bicara inti.
"Mid, saya udah jual rumah reot saya ke tetangga. Sisa bayar utang, ini ada 3 juta, saya mau minta tolong sama kamu. Pokoknya mesti tolongin saya, sekarang kamu pengojek saya. Anterin ke Asem Rungkad. Saya sewa motornya, bensin, makan, rokok, kopi, dan tinggalan untuk anak istrimu selama saya tirakat. Kamu temenin. Duit sisa tadi buat kamu semua".
"Saya udah banyak sakit hati mid, saya udah banget kenyang dihina, diejek, dicaci-maki sama sodara sama tetangga sama semua orang. Saya udah nggak kuat hidup melarat, miskin susah segala-galanya tolong anter saya sekarang juga ke tempat itu saya percaya sama kamu mid. Kamu tahu tempatnya, sebab orang kampung tahu, cuma kamu yang berani. Dan sering ngobor ke tempat tersebut".
Cermis | Pecanden Asem Rungkad - Kepatihan Nyi Ratu Laut Lor
Pecanden Asem Rungkad. Foto/Istimewa |
Saya tidak begitu akrab dengannya tapi ia memang mengenal saya sejak lama. Dia hidupnya sangat melarat, makan pun cuma sekali dalam sehari, istrinya meninggal karena sakit parah.
Sekarang ia hidup dengan seorang anak satu-satunya, badannya kurus, kurang gizi. Di lingkungan sekitar, ia sering dihina, dicaci-maki dan diejek. Hanya kata-kata menyakitkan yang didengar tiap hari.
Kami satu desa, tapi kampungnya berjauhan. Suatu waktu ia jauh-jauh datang sengaja mau menemui saya. Menurutnya, saya-lah yang paling berani ke tempat tersebut. Profesi saya memang tukang ngobor kepiting.
Saya memang sering ke tempat yang ia mau tuju. Jarang yang berani, tukang ngobor datang ke situ. Saya malah senang, sering dapat banyak kepiting. Di tempat lain satu kembu, di situ saya bisa dapat sekarung karung. Sampai-sampai saya bisa beli tanah, dari jual kepiting yang saya peroleh dari tempat angker itu.
Saking melaratnya, saking terlalu banyaknya sakit hati sampai hilang iman sama akal sehatnya, sehingga ia mencari kekayaan dengan cara pintas yaitu pesugihan. Sore hari, ia datang ke rumah, setelah basa-basi ia langsung bicara inti.
"Mid, saya udah jual rumah reot saya ke tetangga. Sisa bayar utang, ini ada 3 juta, saya mau minta tolong sama kamu. Pokoknya mesti tolongin saya, sekarang kamu pengojek saya. Anterin ke Asem Rungkad. Saya sewa motornya, bensin, makan, rokok, kopi, dan tinggalan untuk anak istrimu selama saya tirakat. Kamu temenin. Duit sisa tadi buat kamu semua".
"Saya udah banyak sakit hati mid, saya udah banget kenyang dihina, diejek, dicaci-maki sama sodara sama tetangga sama semua orang. Saya udah nggak kuat hidup melarat, miskin susah segala-galanya tolong anter saya sekarang juga ke tempat itu saya percaya sama kamu mid. Kamu tahu tempatnya, sebab orang kampung tahu, cuma kamu yang berani. Dan sering ngobor ke tempat tersebut".
Saya bilang. "Eh Mang Samin mau ngapain ke sono tirakat? Jalannya juga ke dalemnya parah angker sama rawan. Saya ngobor juga nggak sampe pas lokasi. Deket-deketnya aja. Saya nggak mau ah, nungguin tirakat tiga hari tiga malam, terlalu berat resikonya. Mending itu duit pake modal usaha aja, nyebut mang...istigfar mang..."
Ia tetap sama pendiriannya, ia sudah papak pesagi berbuat nekad. Ia mohon-mohon ke saya supaya mau dianterin, mau nggak mau saya mengantarnya. Jam 4 sore kami berangkat ke tempat itu, boncengan. Mau menjelang maghrib kita sudah berada di desa terakhir. Saya minta istirahat, ngopi dan makan. Sama beli bekal. Sementara saya istirahat, Mang Samin menemui kuncen.
Kami lalu melanjutkan dengan berjalan kira-kira satu jam lamanya masuk ke hutan bakau pesisir dan empang-empang, saya jalan di belakangnya mengikuti, tibalah kami di situs keramat. Dari kejauhan saya mencium bau kemenyan. Di pecanden, saya hanya duduk rebahan di teras sambil merokok, saya tidak meminum dan memakan apapun.
Selama saya di situ si kuncen tidak pernah menegur dan menyapa saya bahkan melihat saya pun pandangannya begitu aneh, sorot matanya tajam seram. Entah apa yang mereka bicarakan di dalam. Dini hari jam satu pagi dimulailah proses ritual. Entah ada apa dalam diri saya, entah kenapa mata saya selalu saja melihat hal yang tidak masuk akal dan nalar.
Melihat Mang Samin makan, saya langsung terasa mual. Rasanya mau muntah, saya langsung keluar. Saya muntah-muntah, saya jijik melihatnya makan nasi dan lauk-pauk. Saya lihat betapa lahap ia makan.
Apa yang saya lihat, awalnya saya lihat lontong tapi pas dibuka olehnya, saya lihat dalam daun pisang itu ulat tanah sebesar betis, ia begitu lahap memakannya. Saya juga lihat ikan teri tapi nyatanya belatung. Belatung mayat. Saya jijik melihat semua yang ia makan, saya langsung mau muntah melihatnya.
Di pekarangan pecanden, saya melihat sosok tinggi besar dekat pepohonan, lidahnya panjang menjulur keluar. Matanya melotot, badannya berbulu kasar, baunya bangkai, saya jijik melihatnya, makhluk apa yang saya lihat itu. Idih... amit.... amiiiiiiitttt jabang bayi. Astaghfirullah. Merinding.
Selesai makan, ia disuruh menyembelih seekor jago, saat ia menyembelih jago itulah saya menangis melihatnya. Dalam hati saya bergumam, "Ya Allah, di mana hatinya Mang Samin itu, ditaruh di mana otaknya, bener-bener bejat, rusak, haram jadah, jahanam itu orang, haus sama harta kekayaan sampai hati menukar imannya demi harta"
Ia melihat cuma seekor jago tapi saya lihat anaknya yang disembelih. Anaknya menjerit, anaknya meronta meregang nyawa. Ya Allah ya robbi batin saya menjerit, hati saya menangis, anak kecil yang tidak berdosa harus meregang nyawa menjadi tumbal demi harta. Saya menyesal, saya merasa berdosa karena saya terpaksa harus mengantar dia ke tempat itu.
Semalaman telinga saya yang sebelah cuma mendengar suara tangisan dan jeritan-rintihan. Suasana hutan bakau, empang dan suara deburan angin laut begitu mengerikan. Saya takut, saya khawatir, hati saya tidak enak, batin tidak tenang. Saya ingin segera pulang, saya tidak kuat lagi di tempat itu. Pagi-pagi saya pamit. Ke pemukiman mengambil motor. Si kuncen cuma menatap tajam saya, entah apa yang ia lihat.
*
Hari ke tiga saya datang lagi. Menjemput Mang Samin. Dalam perjalanan pulang, badan mang Samin bau ayam. Saya tidak bilang apa-apa. Saya cukup diam.
Saat perjalanan di kaca spion saya melihat sosok hitam mengikuti di belakang, bola matanya melotot keluar, sepanjang jalan saya istighfar dan bertasbih dalam hati tanpa henti.
Sesampainya di desa saya langsung berangkat, saya jijik melihat teman saya itu, saya benci, saya muak, kalau saja saya tidak ingat hukum, rasanya saya ingin menjotosnya.
Mang Samin minta diantar ke rumah saudaranya. Tempatnya menitipkan anak semata wayang. Saya agak kaget, ramai juga di rumah saudaranya itu. Banyak tetangga yang berkumpul. Saya masuk ke dalam. Ikut melihat. Anaknya telah meninggal mendadak. Saya sih biasa saja, tahu penyebabnya.
Mang Samin menggendong anaknya yang mati. Menangis keras sekali. Melihat perilakunya makin benci saya. "Pengabdi setan. Wongedan, yang digendong itu ayam jago bukan anakmu".
Saya tanpa basa-basi, tanpa pamit saya langsung pulang. Sosok hitam yang mengikuti juga entah ke mana. Sampai sekarang saya tidak pernah mendengar lagi kabarnya. Mungkin sudah mampus atau lagi menikmati kekayaannya.
Semelarat-melaratnya diri, semiskin-miskinnya hidup, saya merasa lebih baik hidup apa adanya. Daripada saya tukar akidah dan keimanan. Cuma demi harta kekayaan.
Miskin bukan pilihan, kaya bukan juga keberuntungan, kita bisa mengubah hidup, nasib dan takdir dengan usaha ikhtiar dan doa. Jangan sampai seperti Mang Samin.
***
Ia tetap sama pendiriannya, ia sudah papak pesagi berbuat nekad. Ia mohon-mohon ke saya supaya mau dianterin, mau nggak mau saya mengantarnya. Jam 4 sore kami berangkat ke tempat itu, boncengan. Mau menjelang maghrib kita sudah berada di desa terakhir. Saya minta istirahat, ngopi dan makan. Sama beli bekal. Sementara saya istirahat, Mang Samin menemui kuncen.
Kami lalu melanjutkan dengan berjalan kira-kira satu jam lamanya masuk ke hutan bakau pesisir dan empang-empang, saya jalan di belakangnya mengikuti, tibalah kami di situs keramat. Dari kejauhan saya mencium bau kemenyan. Di pecanden, saya hanya duduk rebahan di teras sambil merokok, saya tidak meminum dan memakan apapun.
Selama saya di situ si kuncen tidak pernah menegur dan menyapa saya bahkan melihat saya pun pandangannya begitu aneh, sorot matanya tajam seram. Entah apa yang mereka bicarakan di dalam. Dini hari jam satu pagi dimulailah proses ritual. Entah ada apa dalam diri saya, entah kenapa mata saya selalu saja melihat hal yang tidak masuk akal dan nalar.
Melihat Mang Samin makan, saya langsung terasa mual. Rasanya mau muntah, saya langsung keluar. Saya muntah-muntah, saya jijik melihatnya makan nasi dan lauk-pauk. Saya lihat betapa lahap ia makan.
Apa yang saya lihat, awalnya saya lihat lontong tapi pas dibuka olehnya, saya lihat dalam daun pisang itu ulat tanah sebesar betis, ia begitu lahap memakannya. Saya juga lihat ikan teri tapi nyatanya belatung. Belatung mayat. Saya jijik melihat semua yang ia makan, saya langsung mau muntah melihatnya.
Di pekarangan pecanden, saya melihat sosok tinggi besar dekat pepohonan, lidahnya panjang menjulur keluar. Matanya melotot, badannya berbulu kasar, baunya bangkai, saya jijik melihatnya, makhluk apa yang saya lihat itu. Idih... amit.... amiiiiiiitttt jabang bayi. Astaghfirullah. Merinding.
Selesai makan, ia disuruh menyembelih seekor jago, saat ia menyembelih jago itulah saya menangis melihatnya. Dalam hati saya bergumam, "Ya Allah, di mana hatinya Mang Samin itu, ditaruh di mana otaknya, bener-bener bejat, rusak, haram jadah, jahanam itu orang, haus sama harta kekayaan sampai hati menukar imannya demi harta"
Ia melihat cuma seekor jago tapi saya lihat anaknya yang disembelih. Anaknya menjerit, anaknya meronta meregang nyawa. Ya Allah ya robbi batin saya menjerit, hati saya menangis, anak kecil yang tidak berdosa harus meregang nyawa menjadi tumbal demi harta. Saya menyesal, saya merasa berdosa karena saya terpaksa harus mengantar dia ke tempat itu.
Semalaman telinga saya yang sebelah cuma mendengar suara tangisan dan jeritan-rintihan. Suasana hutan bakau, empang dan suara deburan angin laut begitu mengerikan. Saya takut, saya khawatir, hati saya tidak enak, batin tidak tenang. Saya ingin segera pulang, saya tidak kuat lagi di tempat itu. Pagi-pagi saya pamit. Ke pemukiman mengambil motor. Si kuncen cuma menatap tajam saya, entah apa yang ia lihat.
*
Hari ke tiga saya datang lagi. Menjemput Mang Samin. Dalam perjalanan pulang, badan mang Samin bau ayam. Saya tidak bilang apa-apa. Saya cukup diam.
Saat perjalanan di kaca spion saya melihat sosok hitam mengikuti di belakang, bola matanya melotot keluar, sepanjang jalan saya istighfar dan bertasbih dalam hati tanpa henti.
Sesampainya di desa saya langsung berangkat, saya jijik melihat teman saya itu, saya benci, saya muak, kalau saja saya tidak ingat hukum, rasanya saya ingin menjotosnya.
Mang Samin minta diantar ke rumah saudaranya. Tempatnya menitipkan anak semata wayang. Saya agak kaget, ramai juga di rumah saudaranya itu. Banyak tetangga yang berkumpul. Saya masuk ke dalam. Ikut melihat. Anaknya telah meninggal mendadak. Saya sih biasa saja, tahu penyebabnya.
Mang Samin menggendong anaknya yang mati. Menangis keras sekali. Melihat perilakunya makin benci saya. "Pengabdi setan. Wongedan, yang digendong itu ayam jago bukan anakmu".
Saya tanpa basa-basi, tanpa pamit saya langsung pulang. Sosok hitam yang mengikuti juga entah ke mana. Sampai sekarang saya tidak pernah mendengar lagi kabarnya. Mungkin sudah mampus atau lagi menikmati kekayaannya.
Semelarat-melaratnya diri, semiskin-miskinnya hidup, saya merasa lebih baik hidup apa adanya. Daripada saya tukar akidah dan keimanan. Cuma demi harta kekayaan.
Miskin bukan pilihan, kaya bukan juga keberuntungan, kita bisa mengubah hidup, nasib dan takdir dengan usaha ikhtiar dan doa. Jangan sampai seperti Mang Samin.
***
Via
Cermis
Posting Komentar