Opini
Nasib Wong Mlarat ditentukan dalam Sehari
Rumah tidak layak huni. Foto/Anton |
Nanti tanggal 5 Desember 2020, wong mlarat tidak selamanya diacuhkan. Mereka akan direbut simpatinya. Keberadaan mereka tidak selamanya dilupakan.
Tak diacuhkan bagaimana? Suara mereka akan diperah secara politis. Di penghujung tahun ini calon-calon bupati akan merebut simpatinya. Mereka akan dimanja dan diperhatikan, untuk mendulang kemenangan pesta demokrasi lima tahunan itu.
Masa sih? Berapa memang jumlah wong mlarat di Indramayu? Sampai cabup-cabup harus berebut perhatian mereka. Jumlahnya 13,67% dari 2.001.520 penduduk berdasarkan data BPS 2018.
Kabupaten produsen beras terbesar nasional ini merupakan kantong kemiskinan di Jawa Barat. Dari data di atas setidaknya ada 260.000 jiwa orang miskin. Prosentase ini dibawah angka standar kemiskinan propinsi sebesar 8,71% atau nasional sebesar 10,64%.
Pada masa-masa tersebut, para kandidat akan tebar pesona sana-sini. Calon bupati akan menjadi pengemis suara. Senyum mereka menawan, tegur-sapanya hangat. Antusiasmenya menyenangkan.
Namun siapapun yang terpilih, halaaaaah bakalan lupa ingatan setelah kursi bopati diduduki. Begitulah teman saya si Dadap ikut menyela diskusi si Waru dan Si Semanggen.
Bupati baru, dipastikan programnya tidak pro wong mlarat. Indramayu akan tetap jadi runner up kompetisi kabupaten/kota termiskin di Jawa Barat. Kecuali, ada gebrakan super dahsyat.
Keramahan pada mereka akan segera ilang tanpa krana. Hanya menyisakan gremombyong jeprat-jepret bidikan kamera di status media sosial.
Wong mlarat ini tidak akan bisa bersalaman atau mengadu ke bupati. Padahal, si mlarat yang belok, bodoh, mambu apek juga gemar merokok ini ikut bayar pajak untuk gaji sang bopati.
Memang malang nasib wong mlarat. Kesetaraan mereka di hadapan negara hanya saat datang ke TPS. Nasibnya, jelas bukan nasib wong agung. Setelah pilbup, bopati baru belum tentu memikirkan kesulitan mereka.
***
Via
Opini
Posting Komentar