Tokoh
Biografi | Tiplok, Bapane sing Njoged Anake sing Ngendang
Oleh: Supali Kasim
Bagi publik Indramayu hingga akhir dekade 1980-an, pasti mengenal nama Tiplok sebagai pemain tarling. Perannya sangat khas: orang miskin, orang rewel, kata-katanya panjang seperti kereta api, kalimat-kalimatnya nyerocos terus seperti tak pernah berhenti, tapi juga menimbulkan kelucuan.
Lawan mainnya dalam grup tarling “Nada Bhayangkara”, biasanya Kosim ataupun Wa Kaji Sawud. Kata-kata yang nyerocos dan spontan itulah yang menjadi tipikal khasnya. Hingga kini peran dia seperti tak tergantikan.
Ada plesetan kata, ada kata yang mirip disatukan, dan membuat bingung atau dongkol lawan bicaranya. Ketika Tiplok ditanya surat ijin mengemudi (SIM), ia menjawab sekenanya, “Ora duwé erbowés, ora duwé rembusa!” (tidak punya erbowes, tidak punya rembusa).
Tentu saja lawan bicaranya bingung, sebab Tiplok seperti menyatukan antara kata “erbowes” dengan “rembusa”. Kosakata “erbowes” adalah nama lain untuk SIM (mungkin berasal dari bahasa Belanda), yang sudah biasa disebut orang Indramayu sejak dulu untuk makna SIM.
Sedangkan “rembusa” adalah nama bahan campuran warna. Nah itu lucunya, dua kata yang mirip, tetapi disatukan denga cerdas oleh Tiplok.
Tiplok malang-melintang selama puluhan tahun sebagai peran pembantu dalam drama-tarling. Tetapi hampir tak ada masyarakat yang mengenal nama sebenarnya. Tiplok adalah nama panggung, yang ternyata lebih populer.
Selama berpuluh tahun, nama Tiplok lebih akrab di telinga masyarakat ketimbang nama Darja, nama yang tertera di KTP. Mungkin hanya keluarga dan kerabat terdekat saja yang tahu nama Darja.
Bagi Tiplok, agaknya bukan hanya nama yang dikenal masyarakat. Aktingnya di panggung tarling dan terutama vokalnya yang meninggi dan nyerocos seperti tak akan berhenti jika berdialog atau bertengkar, mudah dikenali dan menjadi trade mark dia.
**
Namanya mulai dikenal luas sejak dekade 1970-an karena akting dan suara khas dia saat bertengkar dalam pementasan tarling "Nada Bhayangkara". Biasanya ia berperan menjadi tokoh yang dibenci (majikan yang kasar, misalnya), tetapi terkadang menjadi orang miskin yang nelangsa tetapi pinter tukaran (pandai bertengkar).
Keberhasilan dia banyak pula ditunjang lawan mainnya, yang juga memiliki karakter kuat bermain, seperti Kaji Sawud, Kosim, dan Karmi. Keberhasilan "Nada Bhayangkara" yang dipimpin H.W. Ismail, seorang anggota kepolisian, banyak ditentukan oleh faktor pemain-pemain berkarakter tersebut.
Salah satunya adalah Tiplok. Beruntung pula Tiplok termasuk tipe pemain yang setia. Sejak pertama kali main di grup tarling yang kemudian mampu menembus "papan atas" dunia tarling di Indramayu-Cirebon, ibaratnya Tiplok tak pernah ke lain hati.
Ketika regenerasi pimpinan berganti, dari H.W. Ismail kepada H. Supriyadi, Tiplok tetap setia berada dalam grup yang sama. Ketika regenerasi di posisi wirasuara (penembang pria utama) berganti -dari Asmadi, kemudian kepada Sadi, lalu Ipang Supendi, dst.— ia juga tetap menjadi pemain dengan peran yang sama.
Grup yang kemudian berganti nama menjadi "Bhayangkara Putra Buana" itu beruntung memiliki ‘icon’ bernama Tiplok. Pentas-pentas grup tarling tersebut tak hanya beredar luas dalam acara-acara masyarakat Cirebon-Indramayu.
Mereka juga acapkali manggung ke luar daerah, seperti Brebes, Tegal, Subang, Karawang, Jakarta, bahkan hingga ke Pulau Sumatera. Sayang sekali, tarling "Bhayangkara" harus pecah menjadi dua kelompok di awal 1990-an ketika pimpinan lama meninggal dunia.
Produksi kaset rekaman, berupa drama-tarling, jumlahnya sangat banyak. Wajah Tiplok yang mungil dengan sorot mata yang keras dan khas desa, banyak menghiasai sampul-sampul kaset tersebut, bersama para pemain lainnya.
**
Perjalanan Tiplok sebagai seniman tarling, ternyata dimulai sebagai bodor dan bukan dalam seni tarling. Ia memulai perjalanan pentas di grup sandiwara “Sukma Tunggal". Bakat yang luar biasa dalam akting dan bodor membawanya merambah dunia seni tradisional lainnya.
Hingga ia ‘kecantol’ dalam grup tarling "Nada Bhayangkara". Bakat tersebut konon berasal dari kakeknya, yang juga seorang seniman tradisional. Darah seni itu tak seluruhnya mengalir pada tiga anaknya.
Hanya salah satu anak sulungnya yang bernama Kasim, yang biasa dipanggil Cici yang mewarisi bakat seninya. Cici memiliki peran penting di grup tarling "Nada Bhayangkara", yakni sebagai pengendang. Ketika pentas, kedua sosok itu, bapak dan anak, seperti bahu-membahu dalam menghidupkan suasana pentas.
Seperti tak ada hubungan keluarga, yang ada hanyalah hubungan antara pemain dan tukang kendang. Seringkali beberapa temannya berkata, "Bapané sing njogéd, anaké sing ngendang" (bapaknya menari, anaknya yang menabuh gendang).
Di luar kesibukan pentas, Tiplok memiliki hobi yang suka mengasingkan diri dari keramaian, yakni memancing. Bahkan kegemarannya itu seringkali dilakukan saat-saat menjelang pentas.
Jika pentas tarling dijadwalkan malam, siangnya ia mancing dulu. Mungkin untuk mencari inspirasi, atau mungkin juga mencari ketenangan dulu.
Tak disangka-sangka jika dari pelampiasan hobi seperti itu, kemudian menjadi akhir perjalanan hidup Tiplok. Suatu hari di tahun 1989, grup tarling itu akan manggung di Desa Samakrombeng.
Saat sampai di perempatan Legok Kecamatan Lohbener, Tiplok yang naik rombongan mobil grup itu meminta turun saja di perempatan itu, karena jadwal mainnya malam hari.
Ia ingin mancing terlebih dahulu di wilayah Cantigi. Dari Legok, ia akan naik ojek motor, dan beberapa menit kemudian akan sampailah di perairan Cantigi. Saat itulah sepeda motor yang memboncengkan Tiplok diseruduk sebuah truk.
Peristiwa itu menewaskan Tiplok. Pada usia 60-an tahun ia meninggalkan dunia tarling, yang selama dua pertiga hidupnya berada di panggung-panggung kesenian tersebut dalam drama-drama yang menyedihkan, mengharukan, sekaliggus menghibur.
Dunia tarling pun seperti kehilangan sosoknya. Publik pun merasa kehilangan peran khasnya, yang mampu menghibur dengan celotehannya yang khas.
Darja alias Tiplok dikubur di Desa Tamansari Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu, desa tempat tinggalnya terakhir. Ia sendiri kelahiran Widasari Kabupaten Indramayu.
***
Bagi publik Indramayu hingga akhir dekade 1980-an, pasti mengenal nama Tiplok sebagai pemain tarling. Perannya sangat khas: orang miskin, orang rewel, kata-katanya panjang seperti kereta api, kalimat-kalimatnya nyerocos terus seperti tak pernah berhenti, tapi juga menimbulkan kelucuan.
Lawan mainnya dalam grup tarling “Nada Bhayangkara”, biasanya Kosim ataupun Wa Kaji Sawud. Kata-kata yang nyerocos dan spontan itulah yang menjadi tipikal khasnya. Hingga kini peran dia seperti tak tergantikan.
Ada plesetan kata, ada kata yang mirip disatukan, dan membuat bingung atau dongkol lawan bicaranya. Ketika Tiplok ditanya surat ijin mengemudi (SIM), ia menjawab sekenanya, “Ora duwé erbowés, ora duwé rembusa!” (tidak punya erbowes, tidak punya rembusa).
Tentu saja lawan bicaranya bingung, sebab Tiplok seperti menyatukan antara kata “erbowes” dengan “rembusa”. Kosakata “erbowes” adalah nama lain untuk SIM (mungkin berasal dari bahasa Belanda), yang sudah biasa disebut orang Indramayu sejak dulu untuk makna SIM.
Sedangkan “rembusa” adalah nama bahan campuran warna. Nah itu lucunya, dua kata yang mirip, tetapi disatukan denga cerdas oleh Tiplok.
Tiplok malang-melintang selama puluhan tahun sebagai peran pembantu dalam drama-tarling. Tetapi hampir tak ada masyarakat yang mengenal nama sebenarnya. Tiplok adalah nama panggung, yang ternyata lebih populer.
Selama berpuluh tahun, nama Tiplok lebih akrab di telinga masyarakat ketimbang nama Darja, nama yang tertera di KTP. Mungkin hanya keluarga dan kerabat terdekat saja yang tahu nama Darja.
Bagi Tiplok, agaknya bukan hanya nama yang dikenal masyarakat. Aktingnya di panggung tarling dan terutama vokalnya yang meninggi dan nyerocos seperti tak akan berhenti jika berdialog atau bertengkar, mudah dikenali dan menjadi trade mark dia.
**
Namanya mulai dikenal luas sejak dekade 1970-an karena akting dan suara khas dia saat bertengkar dalam pementasan tarling "Nada Bhayangkara". Biasanya ia berperan menjadi tokoh yang dibenci (majikan yang kasar, misalnya), tetapi terkadang menjadi orang miskin yang nelangsa tetapi pinter tukaran (pandai bertengkar).
Keberhasilan dia banyak pula ditunjang lawan mainnya, yang juga memiliki karakter kuat bermain, seperti Kaji Sawud, Kosim, dan Karmi. Keberhasilan "Nada Bhayangkara" yang dipimpin H.W. Ismail, seorang anggota kepolisian, banyak ditentukan oleh faktor pemain-pemain berkarakter tersebut.
Salah satunya adalah Tiplok. Beruntung pula Tiplok termasuk tipe pemain yang setia. Sejak pertama kali main di grup tarling yang kemudian mampu menembus "papan atas" dunia tarling di Indramayu-Cirebon, ibaratnya Tiplok tak pernah ke lain hati.
Ketika regenerasi pimpinan berganti, dari H.W. Ismail kepada H. Supriyadi, Tiplok tetap setia berada dalam grup yang sama. Ketika regenerasi di posisi wirasuara (penembang pria utama) berganti -dari Asmadi, kemudian kepada Sadi, lalu Ipang Supendi, dst.— ia juga tetap menjadi pemain dengan peran yang sama.
Grup yang kemudian berganti nama menjadi "Bhayangkara Putra Buana" itu beruntung memiliki ‘icon’ bernama Tiplok. Pentas-pentas grup tarling tersebut tak hanya beredar luas dalam acara-acara masyarakat Cirebon-Indramayu.
Mereka juga acapkali manggung ke luar daerah, seperti Brebes, Tegal, Subang, Karawang, Jakarta, bahkan hingga ke Pulau Sumatera. Sayang sekali, tarling "Bhayangkara" harus pecah menjadi dua kelompok di awal 1990-an ketika pimpinan lama meninggal dunia.
Produksi kaset rekaman, berupa drama-tarling, jumlahnya sangat banyak. Wajah Tiplok yang mungil dengan sorot mata yang keras dan khas desa, banyak menghiasai sampul-sampul kaset tersebut, bersama para pemain lainnya.
**
Perjalanan Tiplok sebagai seniman tarling, ternyata dimulai sebagai bodor dan bukan dalam seni tarling. Ia memulai perjalanan pentas di grup sandiwara “Sukma Tunggal". Bakat yang luar biasa dalam akting dan bodor membawanya merambah dunia seni tradisional lainnya.
Hingga ia ‘kecantol’ dalam grup tarling "Nada Bhayangkara". Bakat tersebut konon berasal dari kakeknya, yang juga seorang seniman tradisional. Darah seni itu tak seluruhnya mengalir pada tiga anaknya.
Hanya salah satu anak sulungnya yang bernama Kasim, yang biasa dipanggil Cici yang mewarisi bakat seninya. Cici memiliki peran penting di grup tarling "Nada Bhayangkara", yakni sebagai pengendang. Ketika pentas, kedua sosok itu, bapak dan anak, seperti bahu-membahu dalam menghidupkan suasana pentas.
Seperti tak ada hubungan keluarga, yang ada hanyalah hubungan antara pemain dan tukang kendang. Seringkali beberapa temannya berkata, "Bapané sing njogéd, anaké sing ngendang" (bapaknya menari, anaknya yang menabuh gendang).
Di luar kesibukan pentas, Tiplok memiliki hobi yang suka mengasingkan diri dari keramaian, yakni memancing. Bahkan kegemarannya itu seringkali dilakukan saat-saat menjelang pentas.
Jika pentas tarling dijadwalkan malam, siangnya ia mancing dulu. Mungkin untuk mencari inspirasi, atau mungkin juga mencari ketenangan dulu.
Tak disangka-sangka jika dari pelampiasan hobi seperti itu, kemudian menjadi akhir perjalanan hidup Tiplok. Suatu hari di tahun 1989, grup tarling itu akan manggung di Desa Samakrombeng.
Saat sampai di perempatan Legok Kecamatan Lohbener, Tiplok yang naik rombongan mobil grup itu meminta turun saja di perempatan itu, karena jadwal mainnya malam hari.
Ia ingin mancing terlebih dahulu di wilayah Cantigi. Dari Legok, ia akan naik ojek motor, dan beberapa menit kemudian akan sampailah di perairan Cantigi. Saat itulah sepeda motor yang memboncengkan Tiplok diseruduk sebuah truk.
Peristiwa itu menewaskan Tiplok. Pada usia 60-an tahun ia meninggalkan dunia tarling, yang selama dua pertiga hidupnya berada di panggung-panggung kesenian tersebut dalam drama-drama yang menyedihkan, mengharukan, sekaliggus menghibur.
Dunia tarling pun seperti kehilangan sosoknya. Publik pun merasa kehilangan peran khasnya, yang mampu menghibur dengan celotehannya yang khas.
Darja alias Tiplok dikubur di Desa Tamansari Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu, desa tempat tinggalnya terakhir. Ia sendiri kelahiran Widasari Kabupaten Indramayu.
***
Via
Tokoh
Posting Komentar